OLEH : BUNG KARNO
Zaman “senang dengan apa adanya”, sudahlah lalu.
Zaman baru : jaman muda, sudahlah dating sebagai fajar yang terang cuaca.
Jaman teori kaum kuno, yang mengatakan bahwa “siapa yang ada dibawah,
harus terima senang, yang ia anggap cukup harga duduk dalam
perbendaharaan riwayat, yang barang kemas-kemasnya berguna untuk
memelihara siapa yang lagi berdiri dalam hidup”, kini sudahlah tidak
mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia itu. Pun makin lama
makin tipislah kepercayaan rakyat-rakyat itu, bahwa rakyat-rakyat yang
mempertuankannya itu, adalah sebagai “voogd” yang kelak kemudian hari
akan “ontvoogden” mereka makin lama makin tipislah kepercayaannya, bahwa
rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu ada sebagai “saudara tua”, yang
dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah
“dewasa”, “akil-baligh”, atau “masak”.
Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi
keyakinan, bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada
kemahsyuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan
merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan
kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk sebagai yang
telah diajarkan oleh Gustav Klemm, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah
teristimewa soal rezeki.
“ Yang pertama – tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya
kekurangan bekal hidup dalam tanah airnya sendiri “, begitulah Dietrich
Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat –
rakyat eropah mencari rezeki dinegeri lain !. Itulah pula yang menjadi
sebab rakyat-rakyat ibu menjajah negeri-negeri, dimana mereka bisa
mendapat rezeki itu. Itulah pula yang membikin ”ontvoodging”-nya
negeri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang menjajahnya itu, sebagai
suatu barang yang sukar dipercayainya. Orang tak akan gampang-gampang
melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya.
Begitulah bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat eropah itu
mempertuankan negeri-negeri Asia. Berwindu-windu rezeki-rezeki Asia
masuk ke negerinya. Teristimewa eropah-baratlah yang bukan main tambah
kekayaannya.
Begitulah tragiknya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan! Dan
keinsyafan akan tragic inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan
itu, sebab walaupun lahirnya sudah kalah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah
kekal. Roh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan
akan tragic inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat
Indonesia kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga
sifat : NASIONALISTIS, ISLAMISTIS, dan MARXISTIS-lah adanya.
Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu membuktikan
bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan
satu sama lain, membuktikan pula bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja
bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu
ombak taufan yang tidak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang
kita semua harus memikulnya.
Akan hasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan
semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak
boleh putus-putus berdaya upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar
menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tadi itu!
Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa
kita kearah terkabulnya impian kita, Indonesia-Merdeka !.
Entah bagaimana tercapainya persatuan itu, entah juga bagaimana
rupanya persatuan itu, akan tetapi tetaplah bahwa kapal yang membawa
kita ke-Indonesia-Merdeka itu, ialah kapal persatuan adanya!. Mahatma,
jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan kapal persatuan itu kini
barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak
kemudian hari mestilah dating saatnya, yang Sang-Mahatma itu berdiri
ditengah kita.
Itulah sebabnya kita dengan besar hati mempelajari dan ikut meratakan
jalan yang menuju persatuan itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek
ini.
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.
Inilah azaz-azas yang dipeluk oleh
pergerakan-pergerakan rakyat diseluruh Asia. Inilah paham-faham yang
menjadi rohnya pergerakan – pergerakan di Asia itu. Rohnya pula
pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini.
Partai Budi Utomo, “marhum” Nationaal Indische Partij yang kini masih
“hidup”, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis
Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain, itu masing-masing
mempunyai roh Nasionalisme, Roh Islamisme, atu roh Marxisme adanya.
Dapatkan roh-roh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi
satu roh yang besar, roh persatuan?. Roh persatuan, yang akan membawa
kita ke lapang kebesaran?.
Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan nasionalisme itu dirapatkan
dengan pergerakan islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan
pergerakan marxisme yang bersifat perjuangan internasional?
Dapatkah islamisme itu, ialah sesuatu agama dalam politik jajahan
bekerja bersama-sama dengan nasionalisme yang mementingkan bangsa,
dengan materialismenya marxisme yang mengajar perbendaan?.
Akan hasilkah usaha kita merapatkan Budi Oetomo yang begitu
sabar-halus (gematigd), dengan Partai Komunis Indonesia yang begitu
keras sepaknya, begitu radical-militant terjangnya? Boedi Oetomo yang
begitu evolusioner, Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil
sekali, oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, oleh sebab
rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan peringatan Al Chartill, bahwa
“yang mendatangkan pemberontakan – pemberontakan itu biasanya
bagian-bagian terkecil, dan bagian-bagian yang terkesil sekali”?
Nasionalisme! Kebangsaan!
Dalam tahun 1962 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang paham
“bangsa” itu. “Bangsa” itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu
azas akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya
harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang
harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis
(ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh,
bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan “bangsa” itu.
Dari tempo-tempo belakangan, maka selainnya penulis-penulis lain,
sebagai Karl Kautsky dan Karl Radek, teristimewa Otto Bauer lah yang
mempelajari soal “bangsa” itu.
“Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari
persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, begitulah
katanya.
Nasionalisme itu jalan suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa”!
Bagaimana juga bunyinya keterangan-keterangan yang telah diajarkan
oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan diatas tadi, maka
tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu rasa percaya
akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk
mempertahankan diri didalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan, yang
mau mengalahkan kita.
Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang member keteguhan hati pada
kaum Boedi Oetomo dalam usahanya mencari Djawa-Besar, rasa percaya akan
diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum
revolusioner-nasionalis dalam perjuangannya mencari Hindia-Besar atau
Indonesia-Merdeka adanya.
Apakah rasa Nasionalisme, yang oleh kepercayaan akan diri sendiri itu
begitu gampang menjadi kesombongan bangsa, dan begitu gampang mendapat
tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan ras, walaupun paham ras (jenis)
ada setinggi langit bedanya dengan faham bangsa, oleh karena ras itu
ada suatu faham biologis, sedang nasionaliteit itu suatu faham
sosiologis (ilmu pergaulan hidup), apakah nasionalisme itu dalam
pejuangan jajahan bisa bergandengan dengan islamisme yang dalam
hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk bermacam-macam
bangsa dan bermacam-macam ras, apakah nasionalisme itu dalam politik
colonial bisa rapat diri dengan marxisme yang internasional, interracial
itu?
Dengan ketetapan hati kita menjawab, bisa!
Sebab, walaupun nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan
segala fihak yang tidak ikut mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”
dengan rakyat itu, walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan
segala golongan yang tak merasa “satu golongan, satu bangsa” dengan
rakyat itu, walaupun kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala
perangai yang terjadinya tidak “persatuan hal ikhwal yang telah dijalani
oleh rakyat itu”, maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang
menjadikan pergerakan islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia
kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan
Nasionalisme itu semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu” bahwa
mereka dengan kaum nasionalis itu merasa “ satu golongan, satu bangsa”.
Bahwa segala fihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis maupun
Islamis, maupun pula Marxis, berates-ratus tahun lamanya ada persatuan
“hal ikhwal”, berates-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak
merdeka! Kita tak boleh lalai bahwa teristimewa “persatuan hal-ikhwal”,
persatuan nasib inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul
“rasa golongan” ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu
sama lain, betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh
diantara fihak-fihak pergerakan di Indonesia kita ini, akan tetapi
bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu
tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, ambrol, tak
sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!
Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persahabatan bisa tercapai!
Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala
pergerakan yang tak terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan
sabda Karamchan Gandhi : “Buat saya, maka cinta saya pada tanah air itu,
masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot,
oleh karena saya seorang manusia dan bercara manusia, saya tidak
mengecualikan siapa juga”. Inilah rahasianya, yang Gandhi cukup kekuatan
mempersatukan fihak islam dengan fihak hindu, pihak parsi, pihak jain,
dan pihal sikh yang jumlahnya lebih dari tiga ratus juta itu, lebih dari
enam kali jumlah putera Indonesia, hampis seperlima dari jumlah manusia
yang ada dimuka bumi ini!
Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerja
bersama-sama dengan kaum Islamis da Marxis. Lihatlah kekalnya
perhubungan antara Nasionalis-Gandhi dengan Pan-Islamis Maulana Muhammad
Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang waktu pergerakan
non-cooperation India sedang menghaibat, hampir tiada pisahnya satu sama
lainnya. Lihatlah geraknya Partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok,
yang dengan ridha hati menerima faham-faham Marxis: tak setuju pada
Kemiliteran, tak setuju pada Imperialisme, tak setuju pada Kemodalan!
Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berubah paham
jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan
Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah
kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.
Bahwa sesungguhnya asal mau saja, tak kuranglah jalan kearah
persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain,
keinsyafan akan pepatah “rukun membikin sentosa” (Itulah sebaik-baiknya
jembatan kearah persatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala
perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam pergerakan kita
ini.
Kita ulangi lagi: Tidak adalah halangan Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersam-sama dengan Islamis dan Marxis.
Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi
pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan riwayat, dan bukan
semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, nasionalis yang bukan
chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengecualian
yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu
bukan semata-mata suatu copy atau turunan dari Nasionalisme Barat, akan
tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis
yang menerima rasa nasonalismenya itu sebagai suatu wahyu dan
melaksanakan rasa itu sebagai suatu bhakti, adalah terhindar dari
segalam faham kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka rasa cinta bangsa
itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu,
sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap
sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar