Sekapur Sirih dari kesainta.blogspot.com

Selamat Datang di kesainta.blogspot.com, wahana kerinduan berziarah kedalam relung hati untuk merajut kata demi kata dari keheningan.

Senin, 15 Oktober 2012

"POLITISI" DI SEKELILING EKSISTENSI GEREJA


Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat layak diberi apresiasi dan respon positif. Momen tersebut merupakan perspektif kemajuan kehidupan demokrasi yang lahir dari rahim ibu kandung bernama reformasi. Sebagai produk gerakan perubahan, pemilihan kepala daerah  (Pilkada) secara philosopis bermakna memilih pemimpin yang sesuai dengan persepsi rakyat dan dilakukan langsung oleh rakyat untuk kepentingan rakyat.
Kelahiran system Pilkada merupakan salah satu bentuk gebrakan merubah tatanan kehidupan politik orde baru yang sentralistik dan kapitalis oligarkis. Pilkada merupakan atmosfir baru menempatkan rakyat pada posisi sentral .  Demokrasi lahir dari alam Renaissance di Italia yang pada essensinya menjadikan manusia sebagai sentral (antroposentris), kebalikan faham Theosentris –Tuhan sebagai sentral- yang sebelumnya mapan di zaman Yunani dan Romawi klasik. Ekstrim-nya, Demokrasi lahir sebagai gerakan reformasi terhadap kehidupan abad tengah yang religius, dogmatis dan menjadikan gereja sebagai pilar kebenaran.
Dalam atmosfir kehidupan politik Indonesia kontemporer, peranan dan eksistensi Agama, termasuk didalamnya Gereja, tidak dapat dipisahkan sebagai realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, dan masih menguatnya aliran pemikiran sekterian. Sebagai Negara yang memiliki dasar Negara dan Falsafah hidup Pancasila, bangsa Indonesia  memposisikan Agama memiliki peranan sangat penting sesuai dengan isi dan makna yang terkandung dalam sila pertama Pancasila.
Berbicara tentang politik dalam konteks Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan political value of religion, politik mempertimbangkan nilai-nilai religious, sehingga mempersoalkan hubungan antara Agama dan Negara menimbulkan pilihan paradoksal. Satu sisi ada wacana yang mengatakan idealnya Agama menarik jarak dari politik, di sisi lain ada diskursus berisi sebaiknya Agama melibatkan diri dalam politik. Gereja khususnya dihadapkan pada posisi dilematis dan dituntut menentukan pilihan yang mampu mengutamakan kepentingan universal.
Gereja sebagai persekutuan umat beriman yang percaya kepada Jesus Kristus sebagai penyelamat yang diutus Allah ke dunia, menurut  John Fuellenbach dalam bukunya “Church : Community for the Kingdom” menegaskan ada “Panca Tugas Gereja”, yaitu : Koinonia (Persekutuan), Diakonia (Pelayanan), Kerugma (Pewartaan), Liturgy (Perayaan Iman), dan Martiria (Kesaksian). Setiap orang yang beriman dan terlibat dalam Gereja mengemban misi panca tugas tersebut, termasuk kaum awam yang aktif dalam dunia politik.
Karl Rahner dalam bukunya “Sendung und Gnade” mengatakan Gereja bukanlah tujuan melainkan sarana pengudusan dunia, dan gereja melakukan tugasnya melalui kaum awam. Oleh karena itu dalam Theologi Kristen, Gereja mengemban tugas sebagai “Sakramen politik”, yaitu tanda yang kelihatan dari rahmat yang tak kelihatan (the visible sign of an invisible grace). Artinya, kaum awam memiliki fungsi dan mengemban misi keterlibatan dalam dunia politik mengaktualisasikan visi gereja sebagai politikus yang memiliki semangat  Diakonia dan Martiria.
Kaum awam Gereja yang berkecimpung dalam dunia politik, khususnya yang mencoba ikut bertarung dalam PILGUBSU, merupakan “Putri Sulung Gereja”, yang dalam sepak terjangnya harus mampu mengemban misi keselamatan dunia, terutama memiliki kepedulian sosial terhadap penderitaan rakyat (affirmative action). Dalam kehidupan dewasa ini, yang identik dengan “modernisasi”, manusia dalam bertindak cenderung hanya mengandalkan kemampuan rasionalitas,  mengabaikan keterampilan emosi (emotional intelligence/EQ) dan spritual, sehingga sering tidak ber-empati, tidak merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Ruang yang hilang tersebut merupakan entry point / pintu masuk kehadiran para politisi yang memiliki nilai-nilai  religius (value of religious), itulah “kaum awam putri sulung gereja”.
Internalisasi dan kontaminasi hegemoni liberalisme dan kapitalisme menjadikan umat manusia bangga (narsis) dengan kemampuan pengetahuan (Sains) yang dimiliki tetapi tidak mampu memahami gejala atau fenomena penyakit sosial (patologi sosial) dan ekses eksploitasi alam. Masyarakat miskin dan tertindas masih banyak ditengah gemerlap kemajuan ekonomi dunia, petani terasing dari lahan pertaniannya sendiri karena muncul hama dan penyakit tumbuhan yang spesiesnya tidak dapat dipahami, harga komoditi pertanian berfluktuasi bagaikan gelombang di tengah lautan, ironisnya ditengah turbelensi kehidupan masyarakat “Pemerintah Sering Absen”. 
Kehidupan modern yang bercirikan “manufactured uncertainty” (masa yang diliputi oleh ketidakpastian) dan “high risk” (beresiko tinggi) sebagai akibat kemajuan teknologi dan peradaban manusia, membutuhkan pigur pemimpin yang mampu memahami kondisi masyarakat, dan konsekuen mengaktualisasikan program yang berorientasi kepada kesejahteraan umum selaras dengan tujuan  Gereja untuk menjadikan setiap pribadi memiliki kebersamaan dan manusiawi (human), hidup selaras (hospitable) dan hidup ber-keadilan serta penuh cinta (compassion).
Ketika tujuan politik, khususnya motivasi menjadi kepala daerah, selaras dan tidak bertentangan dengan tujuan Agama, khususnya Gereja, tidak ada yang salah dalam sikap para politisi kristiani yang begitu antusias ikut dalam Pilgubsu, justru sebaliknya jadi bumerang apabila pigur itu tidak mumpuni, masyarakat tidak akan memilih, bahkan akan Golput (tidak memilih), karena “Golput itu bukan merupakan dosa”, justru merasa berdosa apabila memilih pemimpin yang tidak mampu mewujudkan kesejahteraan umum.
dark.pozadia.org
Wacana ini semakin relevan dan aktual dikemukakan ditengah hiruk pikuk atmosfir Pilgubsu yang berdasarkan nama yang beredar ditengah masyarakat banyak diikuti oleh politisi yang berasal dari umat Gereja. Fenomena ini merupakan kemajuan dan patut diberi apresiasi, namun harus tetap dicermati untuk mengeleminir politisasi gereja, terutama hanya sekedar menjadikan Gereja sebagai palungan atau lumbung memperoleh suara. Dan sebisanya mengabaikan  calon Gubernur yang hanya melakukan pencitraan diri sebagai tokoh religius (Narsisme Religius). Tidak ada salah mendulang suara dari umat gereja apabila calon pemimpin tersebut mampu mengemban misi Gereja, karena sistem demokrasi sebagai bagian integral Politik memiliki tujuan yang sama dengan Gereja mewujudkan kepentingan umum (bonnum commune). Sebagai umat Kristiani, untuk menyikapi Pilgubsu, kaum awam memiliki tugas memilih pemimpin  tidak hanya layak dikagumi tetapi layak dicintai karena mencintai rakyat. Jangan pilih pemimpin “admiranda sed non amanda” –Pantas Dikagumi,Tapi Tidak Pantas Dicintai-.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar