Pemilihan
Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat
layak diberi apresiasi dan respon positif. Momen tersebut merupakan perspektif
kemajuan kehidupan demokrasi yang lahir dari rahim ibu kandung bernama
reformasi. Sebagai produk gerakan perubahan, pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara philosopis bermakna memilih
pemimpin yang sesuai dengan persepsi rakyat dan dilakukan langsung oleh rakyat untuk
kepentingan rakyat.
Kelahiran
system Pilkada merupakan salah satu bentuk gebrakan merubah tatanan kehidupan
politik orde baru yang sentralistik dan kapitalis oligarkis. Pilkada merupakan
atmosfir baru menempatkan rakyat pada posisi sentral . Demokrasi lahir dari alam Renaissance di Italia yang pada
essensinya menjadikan manusia sebagai sentral (antroposentris), kebalikan faham Theosentris –Tuhan sebagai sentral- yang sebelumnya mapan di zaman Yunani
dan Romawi klasik. Ekstrim-nya, Demokrasi lahir sebagai gerakan reformasi
terhadap kehidupan abad tengah yang religius, dogmatis dan menjadikan gereja
sebagai pilar kebenaran.
Dalam
atmosfir kehidupan politik Indonesia kontemporer, peranan dan eksistensi Agama,
termasuk didalamnya Gereja, tidak dapat dipisahkan sebagai realitas masyarakat
Indonesia yang majemuk, dan masih menguatnya aliran pemikiran sekterian.
Sebagai Negara yang memiliki dasar Negara dan Falsafah hidup Pancasila, bangsa
Indonesia memposisikan Agama memiliki
peranan sangat penting sesuai dengan isi dan makna yang terkandung dalam sila
pertama Pancasila.
Berbicara
tentang politik dalam konteks Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan political value of religion, politik
mempertimbangkan nilai-nilai religious, sehingga mempersoalkan hubungan antara
Agama dan Negara menimbulkan pilihan paradoksal. Satu sisi ada wacana yang
mengatakan idealnya Agama menarik jarak dari politik, di sisi lain ada diskursus
berisi sebaiknya Agama melibatkan diri dalam politik. Gereja khususnya dihadapkan
pada posisi dilematis dan dituntut menentukan pilihan yang mampu mengutamakan
kepentingan universal.
Gereja
sebagai persekutuan umat beriman yang percaya kepada Jesus Kristus sebagai
penyelamat yang diutus Allah ke dunia, menurut John
Fuellenbach dalam bukunya “Church :
Community for the Kingdom” menegaskan ada “Panca Tugas Gereja”, yaitu : Koinonia (Persekutuan), Diakonia (Pelayanan), Kerugma (Pewartaan), Liturgy (Perayaan Iman), dan Martiria (Kesaksian). Setiap orang yang
beriman dan terlibat dalam Gereja mengemban misi panca tugas tersebut, termasuk
kaum awam yang aktif dalam dunia politik.
Karl Rahner dalam bukunya “Sendung und Gnade” mengatakan Gereja
bukanlah tujuan melainkan sarana pengudusan dunia, dan gereja melakukan
tugasnya melalui kaum awam. Oleh karena itu dalam Theologi Kristen, Gereja mengemban
tugas sebagai “Sakramen politik”,
yaitu tanda yang kelihatan dari rahmat yang tak kelihatan (the visible sign of an invisible grace). Artinya, kaum awam
memiliki fungsi dan mengemban misi keterlibatan dalam dunia politik
mengaktualisasikan visi gereja sebagai politikus yang memiliki semangat Diakonia
dan Martiria.
Kaum
awam Gereja yang berkecimpung dalam dunia politik, khususnya yang mencoba ikut
bertarung dalam PILGUBSU, merupakan “Putri
Sulung Gereja”, yang dalam sepak terjangnya harus mampu mengemban misi
keselamatan dunia, terutama memiliki kepedulian sosial terhadap penderitaan
rakyat (affirmative action). Dalam
kehidupan dewasa ini, yang identik dengan “modernisasi”, manusia dalam
bertindak cenderung hanya mengandalkan kemampuan rasionalitas, mengabaikan keterampilan emosi (emotional intelligence/EQ) dan spritual,
sehingga sering tidak ber-empati, tidak merasakan apa yang sedang dirasakan orang
lain. Ruang yang hilang tersebut merupakan entry
point / pintu masuk kehadiran para politisi yang memiliki nilai-nilai religius (value
of religious), itulah “kaum awam putri sulung gereja”.
Internalisasi
dan kontaminasi hegemoni liberalisme dan kapitalisme menjadikan umat manusia bangga
(narsis) dengan kemampuan pengetahuan (Sains) yang dimiliki tetapi tidak mampu
memahami gejala atau fenomena penyakit sosial (patologi sosial) dan ekses eksploitasi alam. Masyarakat miskin dan
tertindas masih banyak ditengah gemerlap kemajuan ekonomi dunia, petani
terasing dari lahan pertaniannya sendiri karena muncul hama dan penyakit
tumbuhan yang spesiesnya tidak dapat dipahami, harga komoditi pertanian
berfluktuasi bagaikan gelombang di tengah lautan, ironisnya ditengah turbelensi
kehidupan masyarakat “Pemerintah Sering Absen”.
Kehidupan
modern yang bercirikan “manufactured
uncertainty” (masa yang diliputi oleh ketidakpastian) dan “high risk” (beresiko tinggi) sebagai
akibat kemajuan teknologi dan peradaban manusia, membutuhkan pigur pemimpin
yang mampu memahami kondisi masyarakat, dan konsekuen mengaktualisasikan
program yang berorientasi kepada kesejahteraan umum selaras dengan tujuan Gereja untuk menjadikan setiap pribadi
memiliki kebersamaan dan manusiawi (human),
hidup selaras (hospitable) dan hidup
ber-keadilan serta penuh cinta (compassion).
Ketika
tujuan politik, khususnya motivasi menjadi kepala daerah, selaras dan tidak
bertentangan dengan tujuan Agama, khususnya Gereja, tidak ada yang salah dalam
sikap para politisi kristiani yang begitu antusias ikut dalam Pilgubsu, justru
sebaliknya jadi bumerang apabila pigur itu tidak mumpuni, masyarakat tidak akan
memilih, bahkan akan Golput (tidak memilih), karena “Golput itu bukan merupakan dosa”, justru merasa berdosa
apabila memilih pemimpin yang tidak mampu mewujudkan kesejahteraan umum.
dark.pozadia.org
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar