Dalam adat masyarakat batak toba ada ungkapan yang
mengatakan : Somba marhula-hula, Manat
mardongan tubu, elek marboru, sedangkan dalam adat masyarakat karo berbunyi :
Mehamat erkalimbubu, mediate ersina, metami man anak beru, pada intinya kedua
bahasa ini dan kedua suku ini memliki tujuan yang sama dalam menghargai dan
memelihara bentuk persaudaraan yang erat di antara keluarga besar.
Bentuk jalinan
kekerabatan yang terdiri dari tiga
bagian ini dalam masyarakat batak toba disebut dengan “Dalihan Natolu”
sedangkan dalam masyarakat Karo disebut dengan “Daliken Sitelu” atau “Raku
Sitelu”, istilah ini diambil sebagai symbol bentuk kekerabatan keluarga
diilhami oleh tungku tempat memasak yang terbuat dari batu zaman dahulu yang
umumnya terdiri dari tiga buah batu sebagai tempat meletakkan kuali memasak.
Karena begitu pentingnya fungsi ketiga batu tersebut dalam memasak dan menjaga
keseimbangan kuali ketika memasak, jika hanya terdiri dari dua buah batu saja
maka tidak akan kokoh dan kuat, maka bentuk kekerabatan dalam adat batak toba
dan karo juga dianggap demikian juga pentingnya.
Hula-Hula
(Toba) dan Kalimbubu (Karo) dalam bentuk
kekerabatan kedua adat masyarakat ini memiliki peranan dan derajat sangat
penting serta sangat dihormati dan dihargai kedudukannya yang disebut sebagai
tindakan “Somba” dan “Mehamat”, karena sangat hormat dan menghargai kalimbubu
di kalangan masyarakat karo kalimbubu ini sering juga disebut dengan “Dibata Ni Idah” atau Tuhan yang nampak,
yang dapat dilihat oleh mata, memang pemberian kata Tuhan disini bukan berarti
menduakan Tuhan, tetapi memberi gambaran begitu tingginya kedudukan dan
keberadaan kalimbubu dalam pelaksanaan adat masyarakat karo dan toba. Dalam
masyarakat Toba bahkan hula-hula itu
diangga sebagai wakil dari Batara Guru yang dipercayai bahwa semua berkat yang
ada dibumi ini datang melalui perantaraan Batara Guru, jadi hula-hula itu
dianggap sebagai perantara sumber berkat (Pangalapan Pasu).
Penghargaan
yang tinggi terhadap Hula-hula dan Kalimbubu
dalam masyarakat Toba dan Karo sebenarnya merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap pihak Ibu atau Istri didalam keluarga besar, sehingga fungsi “hula-hula” merupakan posisi
“tertinggi”, mendapat posisi demikian
karena dari marga inilah isteri dipinang, dan karena ibu/isteri yang melahirkan anak-anak dan merawat
keluarga, member pendidikan anak-anak, dan sebagainya.
Dalam masyarakat karo juga
kalimbubu ini sangat memiliki kedudukan yang sangat penting, masyarakat Karo menyakini
bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat, sehingga kalimbubu itu disebut dibata ni idah (Tuhan
yang nampak secara kasat mata ). Peranan dan fungsi Kalimbubu ini dalam
struktur daliken si telu adalah sebagai supremasi keadilan dan pemberi saran kalau
diminta, terutama saran yang obyektif konstruktif membina keutuhan
keluarga. Dalam acara-acara adat, dia
harus hadir, dan masing-masing mendapat peran. Misalnya dalam acara upacara
kematian, ketika jenajah akan dikebumikan, bagian kepala dari jenajah dipanggul
oleh pihak kalimbubu dari yang meninggal. Dalam pesta sukacita, yang berperan
sebagai kalimbubu dilayani sebaik mungkin oleh pihak anak beru dalam hal ini
adalah penyelenggara pesta. Pada dasarnya setiap orang Karo, baik yang belum
menikah maupun yang sudah menikah mempunyai kalimbubu, minimal kalimbubu si mada
dareh. Kemudian bila seorang pria suku karo menikah berdasarkan adat Karo, dia mendapat
kalimbubu si erkimbang.
Penghormatan kepada hula-hula ini
dalam masyarakat toba digambarkan dengan isi ungkapan sebagai berikut : “Martahuak manuk mira, ditoru
bara ni rumah, Halak na burju /somba marhula-hula, gabe jala mamora sahat dina
saur matua”. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar