Oleh :
Daud Ginting
Materi Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD) Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI)
Komisariat FKIP Universitas Darma Agung (UDA)
Medan, Oktober 2012
Term of Reference yang diberikan panitia untuk “materi kaderisasi” ini pada intinya
terdiri dari dua “indikator”, yaitu Menjelaskan
Konsepsi Tri Sakti Ajaran Bung Karno dan Menjelaskan Konsep Tri Sakti Bung Karno
Pada Konteks Realita Bangsa.
Kedua
indikator ini sangat menarik dan relevan diaktualisasikan sebagai bahan
pemberdayaan kemampuan analisa kader GMNI dalam memahami kondisi kontemporer
kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mencermati arah perkembangan atmosfir
kehidupan sosial, politik dan ekonomi global kontemporer.
Untuk
memahami ajaran Bung Karno tentang Tri Sakti dibutuhkan kemauan untuk menyelami
“endapan” pemikiran dan hasil refleksi
Bung Karno yang telah dilakukan beliau sejak masa mudanya ketika menjadi
mahasiswa, karena Konsepsi Tri Sakti tidak dapat dipisahkan dengan arus
pemikiran Bung Karno sejak awal, dan Tri Sakti merupakan salah satu ajaran Bung
Karno yang kemudian muncul sebagai produk pemikiran sesuai dengan tuntutan
zaman ketika itu.
Konsep Tri
Sakti dikumandang Bung Karno dalam Pidato menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1964 dengan judul “Tahun Vivere Pericoloso”
yang kemudian terkenal dengan sebutan “TAVIP”, antara lain mengungkapkan tiga paradigma besar
yang bisa membangkitkan Indonesia menjadi bangsa yang besar baik secara politik
maupun ekonomi. Vivere pericoloso, adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Italia yang artinya kurang lebih adalah, "hidup secara
berbahaya".
I. KONSEP TRI SAKTI BUNG KARNO
Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam Pidato
Trisakti tahun 1963 menegaskan:
- Berdaulat secara politik
- Berdikari secara ekonomi
- Berkepribadian secara sosial budaya
Dalam
bidang politik, Memperjuangkan Pancasila sebagai ideologi negara sendiri. Soekarno berhasil mempertahankan persatuan dengan
menumpas setiap pemberontakan yang terjadi seperti Permesta, PRRI, DI/NII. Dalam
politik luar negeri, Soekarno menerapkan politik bebas aktif, tidak berpihak pada salah satu blok dunia,
sosialis atau kapitalis, namun ikut proaktif dalam mendorong terciptanya
perdamaian dunia,.Soekarno mengadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA)
Dalam
bidang sosial budaya,
Soekarno
secara tegas menolak budaya asing.
Dalam bidang ekonomi, Soekarno menegaskan lebih baik potensi
sumberdaya alam Indonesia dibiarkan, hingga para putra bangsa mampu untuk
mengelolanya. Bung Karno menolak eksploitasi atau penjajahan oleh kekuatan
asing. Pada masa ini, semangat nasionalisme mengarahkan pada nasionalisasi
perusahaan asing menjadi perusahaan milik negara. PandanganlLiberalisasi
ekonomi sebagai musuh Negara.
II. BUNG KARNO MELAWAN IMPERIALISME
Gerakan politik yang diusung oleh Soekarno adalah penyebaran
gagasan-gagasan yang mengancam eksistensi kekuasaan kolonial.
Soekarno denga gerakan aliran nasionalisme progressif menganalisa watak imperialisme dan cara-cara melawannya.
Soekarno denga gerakan aliran nasionalisme progressif menganalisa watak imperialisme dan cara-cara melawannya.
EMPAT STRATEGI IMPERIALISME
Pada tahun 1930, di dalam penjara kolonial, Bung Karno menyusun sebuah pidato pembelaannya (pledoi). Salah satu analisa Bung Karno yang sangat menarik adalah empat strategi imperialisme untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia :
Pertama, sistem imperialisme melahirkan politik divide et impera, yakni politik memecah-belah.
Menurut Soekarno, imperialisme di mana saja, apapun bentuknya, punya slogan yang sama: “Verdeel en heers”—pecahkan dan kuasai! Dengan menggunakan mantra itu, kolonialisme bisa membangun kekuasaan di negara lain.
Itu pula yang terjadi di Indonesia. Ada banyak cara untuk menjalankan politik adu domba ini: menggunakan media massa untuk meniupkan perpecahan. Di sini, pers-pers belanda selalu merendahkan, bahkan melemahkan, setiap upaya pembangkitan nasionalisme kaum bumiputra, menjalankan politik memecah belah administrasi pemerintahan.
Kedua, Imperialisme menjadikan bangsa Indonesia ke arah kemunduran, yaitu melalui penghancuran fikiran-fikiran (akal budi) rakyat. Politik kolonial mengubah rakyat Indonesia menjadi rakyat kecil, “nrimo”, rendah pengetahuannya, lembek kemauannya, sedikit nafsu-nafsunya, hilang keberaniannya.
Ketiga, Kolonialisme di mana saja, kata Bung Karno, selalu berusaha menutupi maksudnya, bahkan menciptakan teori manis untuk mencapai tujuan mereka. Kaum imperialismengatakan misi kolonialisme adalah “misi suci” (mission sacree): penyebaran agama, menyebarkan pencerahan, dan membuat rakyat jajahan menjadi “beradab”.
Keempat, sistem imperialisme membangun kepercayaan di dalam hati dan fikiran rakyat, bahwa kepentingan rakyat akan sejalan dengan kepentingan imperialisme. Imperialisme juga sangat piawai menutupi adanya pertentangan kepentingan antara pihaknya dengan rakyat di negara jajahan. Di bidang ekonomi, misalnya, dikatakan bahwa imperialisme memberi keuntungan, seperti adanya industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain.
Penanaman modal asing, sebagai salah satu ciri imperialisme, dipropagandakan membawa keuntungan bagi rakyat jajahan: ada proses pembangunan, ada pembukaan lapangan kerja, ada pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya.
Dengan keempat senjata di atas, kolonialisme Belanda sanggup mempertahankan kekuasannya ratusan tahun di Indonesia.
EMPAT STRATEGI KONTRA IMPERIALISME
Dengan berpegan pada analisa di atas, Bung Karno pun merumuskan dasar politik anti-imperalismenya.
Pertama, menjalankan politik kontra pecah
belah, dengan menyadari bahwa kemerdekaan tidak mungkin tercapai tanpa adanya
persatuan seluruh rakyat Indonesia. Tahun 1926, Bung Karno sudah merumuskan konsep persatuan “Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme”.
Bung Karno menegaskan :
“Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,”
Kedua, Melakukan gerakan kontra dekadensi akal-budi, perlunya memperluas pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, dan mengurangi buta-huruf di kalangan rakyat, perlu adanya kursus politik, penciptakan mesin propaganda berupa koran, dan pembentukan “massa aksi”.
Setelah Indonesia merdeka, Bung Karno menyadari bahwa mental warisan kolonial belum sepenuhnya menghilang. Karenanya, ia pun menggagas apa yang disebut sebagai pembangunan bangsa dan karakternya (nation and character building). Dengan revolusi mental semacam itu, kita berharap bisa menjebol fikiran kolot dan fikiran-fikiran rendah diri.
Ketiga, Menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa besar, bukan bangsa tempe, oleh karena ditekankan
Azas “self-reliance” -jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri-, dan “self help” -jiwa berdikari- bagi rakyat Indonesia. Memberantas segala sikap inferioriteit ini, Bung Karno juga membongkar kebohongan-kebohongan di balik teori penghalusan kolonialisme,supaya tidak terperangkap kembali dalam jebakan imperialisme.
Keempat, Menentang kolaborasi dengan kaum imperialis, karena ada pertentangan kepentingan yang tak terdamaikan antara negara jajahan dan imperialism,negara jajahan tidak akan bisa melakukan emansipasi, bahkan dalam derajat paling minimum sekalipun, jika tidak menghancur-leburkan kolonialisme dan imperialisme hingga ke akar-akarnya. Oleh karena itu, dalam strategi perjuanganBung Karno menganjurkan sikap radikalisme (non-koperasi), yakni perjuangan yang tidak setengah-setengah, apalagi tawar-menawar, yakni perjuangan hendak menjebol kapitalisme-imperialisme hingga ke akar-akarnya
Bung Karno menegaskan :
“Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,”
Kedua, Melakukan gerakan kontra dekadensi akal-budi, perlunya memperluas pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, dan mengurangi buta-huruf di kalangan rakyat, perlu adanya kursus politik, penciptakan mesin propaganda berupa koran, dan pembentukan “massa aksi”.
Setelah Indonesia merdeka, Bung Karno menyadari bahwa mental warisan kolonial belum sepenuhnya menghilang. Karenanya, ia pun menggagas apa yang disebut sebagai pembangunan bangsa dan karakternya (nation and character building). Dengan revolusi mental semacam itu, kita berharap bisa menjebol fikiran kolot dan fikiran-fikiran rendah diri.
Ketiga, Menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa besar, bukan bangsa tempe, oleh karena ditekankan
Azas “self-reliance” -jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri-, dan “self help” -jiwa berdikari- bagi rakyat Indonesia. Memberantas segala sikap inferioriteit ini, Bung Karno juga membongkar kebohongan-kebohongan di balik teori penghalusan kolonialisme,supaya tidak terperangkap kembali dalam jebakan imperialisme.
Keempat, Menentang kolaborasi dengan kaum imperialis, karena ada pertentangan kepentingan yang tak terdamaikan antara negara jajahan dan imperialism,negara jajahan tidak akan bisa melakukan emansipasi, bahkan dalam derajat paling minimum sekalipun, jika tidak menghancur-leburkan kolonialisme dan imperialisme hingga ke akar-akarnya. Oleh karena itu, dalam strategi perjuanganBung Karno menganjurkan sikap radikalisme (non-koperasi), yakni perjuangan yang tidak setengah-setengah, apalagi tawar-menawar, yakni perjuangan hendak menjebol kapitalisme-imperialisme hingga ke akar-akarnya
III.
SEKILAS ANALISIS KOMPERATIF
TRI SAKTI
|
Bung
Karno
|
Situasi
KontemporerIndonesia
|
|
1
|
Berdaulat Secara Politik
|
Ø
Imperialisme
melalui politik devide et impera
menjajah bangsa lain (Tidak Merdeka/Tidak berdaulat)
Ø
Persatuan
: Nasionalisme, Islamisme, Marxisme
|
Ø
Liberalisme
Ø
Hegemoni
politik Negara barat pada Negara periferi
Ø
Organisasi
atau Institusi Internasional didominasi kepentingan Negara Barat
Ø
Berkurangnya
peranan pemerintah dalam ekonomi pasar, dan kepedulian kepada penderitaan
rakyat
|
2
|
Berdikari Di Bidang Ekonomi
|
Ø
Imperialisme
adalah eksploitasi manusia dan sumber daya alam Indonesia
Ø
Self Helf
|
Ø
Runtuhnya
Komunisme
Ø
Kapitalisme
ideology satu-satunya
Ø
Liberalisasi
ekonomi, privatisasi, minim peran pemerintah di pasar (mekanisme pasar), dan
penghapusan subsidi
Ø
Cengkeraman Multi
National Company
Ø
Quo
Vadis Ekonomi Indonesia
|
3
|
Berkepribadian Secara Sosial Budaya
|
Ø
Imperialisme
menjadikan kemunduran, berpikir kerdil
Ø
Bangsa
Inferior
Ø
Self Reliance
Ø
Nation and
Character Building
|
Ø
Westernisasi symbol
modernisasi
Ø
Pungkasan
sejarah ala “ “ dan Perang Peradaban “Samuel Hutington”
Ø
Demokrasi
Liberal dan politik “rent seeker”
Ø
Relevansi
dan aktualisasi Pancasila
|
IV.
ANALISIS LIBERALISASI INDONESIA
Menurut America Heritage Foundation,
Indonesia menduduki posisi 115 dalam daftar 180 negara dengan sistem perekonomian
paling liberal, skor liberalisasi ekonomi Indonesia mencapai 56,4, skor itu
dipicu 10 sektor, diantaranya liberalisasi sistem moneter, perdagangan serta
pembatasan peran pemerintah dalam pembangunan melalui pengetatan anggaran.Indonesia
menduduki rangking 23 dari 41 negara Asia Pasifik yang masuk dalam daftar ini.
Namun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia relatif
tertinggal. Malaysia menduduki posisi 53 dengan skor 66.4, sedangkan Thailand
menempati posisi 60 dengan skor 64.9. Heritage menilai Indonesia berhasil
melakukan reformasi untuk mengatasi berbagai kelemahan struktural dalam
perekonomian serta berupaya meningkatkan daya saing.
SKOR LIBERALISASI EKONOMI INDONESIA
BERDASARKAN
PENILAIAN “HERITAGE FOUNDATION”
KATEGORI
|
SKOR
|
Pembatasan
belanja Negara
|
91.6
|
Liberalisasi
fiscal
|
83.5
|
Liberalisasi
moneter
|
75.2
|
Liberalisasi
perdagangan
|
73.9
|
Kebebasan
berusaha
|
54.6
|
Perburuhan
|
52.1
|
Liberalisasi
Finansial
|
40.0
|
V.
DAMPAK LIBERALISASI “ANTARA PERAN
PEMERINTAH DAN SWASTA”
Paradigma
atau teori tentang peranan negara dalam masyarakat, ada dua kutub berlawanan, kutub
pertama Negara kapitalis barat berpijak pada ide “laisser-faire”, memberikan
peranan terbatas pada negara, dengan kepercayaan bahwa sistem pasar bebas akan
membuahkan efisiensi. Fungsi pemerintah dalam sistem kapitalis hanyalah sebagai
hansip (penjaga malam), sebagai penegak hukum atau pelindung agar mekanisme
pasar bebas dapat berlangsung. Bagi negara kapitalis liberal kekuasaan
birokrasi dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi, sehingga peran birokrasi
dibatasi hanya di bidang pertahanan keamanan
Pada
ujung kutub lain, negara-negara sosialis
atau komunis sangat melecehkan peranan pasar bebas karena dinilai hanya
menguntungkan kaum pemilik modal dan sangat merugikan kaum buruh (proleter).
Dalam sistem komunis, negara mengambil peranan sangat besar sebagai pemilik
faktor-faktor produksi (tanah, sumber daya alam dan manusia, kapital, sarana,
dsb) dan pelaku utama dalam aktivitas ekonomi (menentukan harga dan alokasi
barang dan jasa)..
Kecenderungan memperluas dan
mempersempit peranan birokrasi tidak bisa dilepaskan dari gerak perubahan tatanan ekonomi politik internasional. Ada kondisi
ekonomi politik didominasi oleh sistem ekonomi politik yang pro-pasar
(kapitalis), ada tatanan yang pro-negara
(statisme). Gerak perubahan dari “statisme” ke anti-state” ini jelas
berdampak pada peran negara terhadap administrasi publik. Era saat ini dikenal sebagai era globalisasi, era
perdagangan bebas atau liberalisasi ekonomi. Salah
satu ciri menonjol era liberalisasi ekonomi terjadi pergeseran dari ekonomi
yang dikendalikan negara ke ekonomi yang dikendalikan pasar. Campur tangan
negara dibidang ekonomi dianggap hanya akan membunuh inisiatif masyarakat. Untuk menyesuaikan diri dengan
gelombang liberalisasi, negara “Welfare state” seperti Inggris melakukan
privatisasi besar-besaran. Gelombang privatisasi juga menerpa negara-negara di dunia
lainnya. Selama tahun 1980-an pemerintah Australia dan Selandia Baru melepaskan
kontrol harga, menghapus subsidi, memperkuat kompetisi pasar bebas, serta
mengurangi state intervention dan state ownership. Pemerintah Pakistan
pada tahun 1990 menjual perusahaan-perusahaan negara rekayasa ke swasta. .Privatisasi
di Indonesia mulai marak dilakukan pada tahun 1980-an dengan dilakukannya
deregulasi dan privatisasi BUMN melalui penjualan saham untuk publik. Komitmen
pada kebijakan pro-pasar semakin menguat dengan
ditandatanganinya kesepakatan dengan IMF dimana salah satu butir
kesepakatan tersebut mengurangi peran birokrasi terutama campur tangannya
dibidang ekonomi seperti mengurangi monopoli Bulog, subsidi minyak dan listrik, hambatan
impor dan ekspor. Era sekarang ini peranan sector publik menjadi semakin
berkurang, sebaliknya sector swasta menjadi semakin kuat.
Dalam Megatrends 2000, John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990)
mengemukakan terjadi kecenderungan
sebagai berikut :
-
From public housing to home
ownership.
-
From monolithic national health
service to private option.
-
From government regulation to
market mechanism.
-
From welfare to workfare.
-
From
collectivism to individualism,
-
From government monopoly to
competitive enterprise.
-
From state industries to
privatized companies
-
From state ownership to employee
ownership.
-
From government social securities
plans to private insurance and investment
-
From tax burden to tax reduction.
PENUTUP
1.
Kemandirian
Bangsa Indonesia dewasa ini diuji oleh zaman yang cenderung mengutamakan faham liberalisme
dan kapitalisme. Secara empiris dapat kita cermati dampak negatif aliran
pemikiran ini yang menjadikan Bangsa Indonesia tidak memiliki kemandirian dan
tidak memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam karena terikat consensus kerjasama
ekonomi dengan Negara lain. Hal ini dapat dirasakan dalam cengkeraman “Hegemoni” Amerika.
2.
Kerjasama
ekonomi Internasional yang dilakukan melalui WTO, APEC dll, ternyata tidak
mampu memperjuangkan kepentingan ekonomi nasional, khususnya mengutamakan
kepentingan perekonomian rakyat, bahkan tidak mampu melindungi kebutuhan “pangan”
(Liberalisasi Bulog).
3.
Pemerintah
sering “absen” ditengah-tengah jerit tangis rakyat, contohnya para petani yang
terjerat dalam cengkeraman Multi National
Company karena liberalisasi pasar.
4.
Westernisasi yang hegemonik berlahan tapi
pasti merubah life style masyarakat
sebagai salah satu bentuk penjajahan budaya modernisasi.
5.
Liberalisasi
demokrasi “kebablasan” yang menganut paradigma kapatlisme dan melahirkan elit
politik “rent seeker”.
TERIMA KASIH
MERDEKA…………………!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar