Kekuasaan yang
dimiliki Presiden kedua Indonesia Suharto yang berlangsung selama 32 tahun
selain memperoleh pujian sebagai Bapak Pembangunan dan salah satu tokoh pemimpin
dunia yang berhasil membawa negaranya sebagai salah satu kekuatan Negara berkembang
yang menakjubkan (miracle) dari Asia dan dijuluki sebagai “Macan Asia”,
ternyata di penghujung kekuasaannya sejak tahun 1997 sampai 1998 mengalami
nasib tragis dipecundangi di dalam negeri sendiri, dan kemudian di nista juga
oleh kalangan Internasional. Bagaikan kata sebuah pepatah “Habis manis sepah
dibuang”. Di tahun-tahun akhir kekuasaannya Suharto menjadi pigur yang dianggap
sebagai musuh bersama oleh gerakan reformasi dan masyarakat Indonesia umumnya,
kecenderungan menjadikan Suharto sebagai sasaran utama gerakan reformasi
merupakan catatan sejarah dramatis Bangsa Indonesia yang kemudian menempatkan
Suharto pada posisi rendah berbanding terbalik dengan apa yang dinikmati
Suharto selama kepemimpinannya sebelumnya.
Kekuasaan yang
berlangsung lama, hegemonik, otoriter, serta sarat dengan kepemimpinan yang
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) ternyata akhirnya melahirkan akumulasi
persepsi kebencian dari masyarakat kepada Suharto, dan menjadikan Suharto
menjadi musuh bersama (common anemy),
dalam wacana gerakan reformasi “Suharto dijadikan sebagai sumber masalah”
sehingga menjadi tujuan utama yang dianggap mesti disingkirkan dari tahta
kepemimpinan Bangsa Indonesia, suatu fenomena yang tragis dan memilukan memang.
Namun ditengah arus
pemikiran yang telah mengkristal menjadi gerakan untuk me-lengser-kan ternyata masih ada sikap untuk mempertahankan harga
diri bagi masyarakat Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari sikap masyarakat
Indonesia yang menunjukkan perasaan tidak senang ketika melihat foto Managing Director IMF Michael Camdessus
berdiri dengan posisi tangan dilipat di dada seakan mengawasi di samping Suharto
yang sedang membungkuk menandatangani LOI
(letter of intent) antara IMF dengan pemerintahan Suharto.
Penampilan Michael
Camdessus dalam foto tersebut dianggap masyarakat sebagai ungkapan kecongkakan
lembaga keuangan internasional dan seakan membuktikan bahwa Bangsa Indonesia
sedang berada dalam pengawasan dan kekuasaan IMF, dan Bangsa Indonesia seakan
sedang berada dalam posisi mengemis kepada bantuan Internasional untuk
menyelamatkan keberadaannya dari terpaan krisis keuangan yang sedang melanda
kawasan Asia. Tidak dapat dipungkiri dalam hal ini masyarakat Indonesia merasa
dikerdilkan eksistensinya. Dan apa yang mengemuka ditengah-tengah masyarakat
tersebut merupakan ekspresi sikap yang ingin menunjukkan harga diri bangsa-nya.
Peristiwa ini
menggambarkan bahwa sebenci-bencinya masyarakat Indonesia kepada Suharto,
masyarakat masih memiliki perasaan untuk mempertahankan harga dirinya dan
menunjukkan sikap tidak mau keberadaannya diinjak-injak oleh pihak lain. Secuil
rekaman sejarah ini menjadi sebuah catatan penting untuk dijadikan sebagai
bahan refleksi ketika berbicara tentang keberadaan bangsa Indonesia dalam
kontelasi politik internasional dewasa ini sebagaimana yang pernah dikemukakan
oleh salah seoran Founding Father bangsa Indonesia IR. Sukarno – presiden pertama
Indonesia- pada tahun 1964 dalam pidato memperingati Hari Ulang Tahun
Kemerdekaan Indonesia mengingatkan bangsa Indonesia harus berdaulat secara
politik, mandiri secara ekonomi dan berbudaya (Trisakti).
Kedaulatan dan
kemandirian ini menjadi sangat relevan dan aktual dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dewasa ini, terutama dalam konteks hubungan politik dan ekonomi
internasional yang cenderung semakin mengarah kepada system liberalisme dan
kapitalisme. Dalam setiap bentuk kerjasama dan interaksi politik internasional
dewasa ini tidak dapat dihindarkan dari kepentingan terselubung “keuntungan
ekonomi”. Ibarat kata sebuah pepatah “Tidak ada makan siang gratis” maka setiap
bentuk kerjasama internasional tidak dapat dihindarkan dengan sifat mengutamakan
memperoleh keuntungan ekonomi dari setiap kebijakan yang disepakati.
Peristiwa memilukan
ketika Suharto menandatangani LOI dengan IMF pada bulan Januari 1997 tidak
terlepas dari kepentingan Negara-negara besar dan Trans Nasional Company, hal
ini dapat dilihat secara kasat mata dari hasil kesepakatan tersebut yang
kemudian menjerumuskan bangsa Indonesia untuk me-liberalisasi ekonomi dan
politik, melakukan privatisasi besar-besaran dan menjadikan Indonesia sangat
tergantung kepada hutang luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar