Oleh: Ito Prajna-Nugroho (STF Driyarkara)
Cobalah perhatikan arus informasi di media-media massa
akhir-akhir ini. Segera kita dengar dan lihat berita tentang saling gebuk,
saling injak, saling seruduk, saling memaki, saling makan di antara sesama
orang yang sebetulnya disatukan oleh ikatan politik-spiritual yang sama:
Nusantara (yang di zaman modern menjadi Republik Indonesia). Tetapi orang
boleh-boleh saja meragukan kredibilitas media, sebab media massa tidak lain
dari re-presentasi atau upaya menghadirkan kembali fakta-fakta yang sudah terjadi. Pemberitaan media selalu
telah merupakan penafsiran (interpretasi) atas fakta. Jika demikian halnya, maka
amatilah saja baik-baik relasi antar-manusia di sekililing kita. Dari hubungan
pribadi ataupun profesional, perilaku orang di jalan-jalan raya, terminal,
stasiun dan di pasar-pasar, hingga ke tingkat politik nasional, kita segera
akan menemukan gejala yang sama: saling gebuk, saling injak, saling seruduk,
saling memaki, dan saling makan. Kalau mau dirumuskan dengan singkat, semua
gejala itu tidak lain dari hasrat saling mendestruksi diri. Padahal, seseorang yang punya
kecenderungan untuk mendestruksi dirinya sendiri dan diri orang lain secara
psikologis adalah orang yang jiwanya sakit (orang sakit jiwa). Suatu bangsa (Nation) yang digerakkan oleh gerak
kesadaran-jiwa manusia-manusia di dalamnya secara mendasar juga merupakan
sebuah entitas/satuan spiritual yang ber-jiwa. Suatu bangsa yang hampir di setiap
penjurunya sehari-hari hanya ribut kisruh saling gebuk saling membinasakan
tidak lain adalah bangsa dengan jiwa yang sakit (bangsa sakit jiwa).
Dalam istilah filsafat politik,
manusia-manusia yang hidup bersama di dalam sebuah komunitas politik (polis) yang bersifat publik (res-publica) itu disebut sebagai warga negara (citizen /
citoyens: warga dari sebuah cité atau polis). Istilah polis, cité, dan warga dalam arti asalinya yang muncul di
Zaman Yunani Klasik sekitar abad ke-5 SM sebetulnya memuat satu konsep penting,
yaitu: kesadaran untuk saling merawat-menata-memperhatikan di antara
manusia-manusia yang terlibat. Maka konsep politik dan kewargaan sebenarnya telah selalu memuat di
dalamnya sebuah pengertian dasar yang penting, yaitu: merawat jiwa ( tēs psukhēs
épimeleisthai / caring for the soul, lih. Platon di dalam buku Phaedo dan Politeia). Jiwa (psukhē / anima
/ soul, spirit / l‘ame) oleh Platon dipahami sebagai gerak yang menggerakkan
dirinya sendiri (auto-kineton). Sebagai gerak, jiwa bergerak karena hasrat hidup (Eros) yang selalu sudah menjadi bagian tak
terpisahkan dari dirinya. Hasrat hidup atau eros itu adalah kapasitas internal yang
terdapat dalam diri setiap orang. Sebagai sebuah gerak jiwa itu menentukan bukan saja pilihan
pribadi masing-masing orang, tetapi gerak jiwa itu jugalah yang mendasari
terciptanya tatanan ruang publik-politik. Inilah sebabnya mengapa kata bangsa / nation
selalu memuat
artinya yang bersifat spiritual. Para founding-fathers bangsa kita di awal kemerdekaan
menyadari betul pentingnya dimensi kesadaran kolektif-spiritual dari kata bangsa itu. PANCASILA muncul antara lain
sebagai upaya untuk menegaskan kembali ikatan spiritual bangsa Indonesia yang
secara historis sebenarnya telah terbentuk sejak berabad-abad lalu. Penegasan (Behauptung) adalah sebuah pengingatan (Andenken) atau upaya untuk mengingat
kembali, sebuah upaya
untuk kembali menyatukan-diri (re-member). Yang mau ditegaskan, diingat,
disatukan kembali adalah dasar (Grund) yang memungkinkan masing-masing kita
bisa hidup, berpikir, bersuara, bekerja dan terlibat sebagai warga di dalam komunitas politik yang khas,
dalam hal ini adalah Indonesia. Tetapi, setiap penegasan dan pengingatan memang
akan selalu dibayang-bayangi oleh kemungkinan pelupaan (Vergessenheit /
forgetfulness) dan
ketidakpedulian. Hanya jika manusia bisa melupakan, maka ia bisa
mengingat. Demikian juga setiap ingatan selalu dibangun di atas dasar pelupaan.
Bersama dengan gerak arus waktu, juga
dengan segala kenikmatan, kemewahan, kecanggihan teknologi serta kedangkalan
yang ditawarkan dunia modern, masing-masing dari kita perlahan mulai
lupa/melupakan dasar yang mendefinisikan kita sebagai warga dari suatu bangsa. Relasi di antara
kita di dalam rumah bersama yang disebut Indonesia ini tidak lagi digerakkan
oleh penegasan-diri atau pengingatan-diri (mawas diri) sebagai warga, tetapi lebih
digerakkan oleh pelupaan-diri, pendangkalan-diri, dan destruksi-diri. Bukan
upaya untuk saling merawat dan saling menjaga yang ada dalam kesadaran
kewargaan kita sekarang, melainkan upaya untuk saling menyakiti-membenci dan
saling mematikan. Dari warga polis (ruang hidup
politik) yang sehat-jiwa entah cepat atau perlahan rupanya warga polis Indonesia mulai bergeser terdegradasi
ke tingkat warga polis yang sakit-jiwa. Bacalah koran apa saja, atau
tontonlah berita-berita di saluran tv lokal, atau pergilah ke jalan-jalan raya
di pusat kota atau bahkan pantura pada jam-jam sibuk, maka kita akan
segera berhadapan dengan patologi-patologi psikis-kolektif bangsa ini. Apa yang
pada mulanya adalah hasrat untuk hidup (eros) berbangsa, sekarang rupanya telah
mengalun perlahan berubah bentuk hasrat untuk mati (thanatos) sebagai bangsa.
Jika kita beralih sedikit ke situasi
ekonomi, sosial, dan politik internasional, rupanya kita juga tidak mendapatkan
penghiburan. Merangkaknya ekonomi Amerika Serikat, ekonomi Uni Eropa yang
semakin dihinggapi ketidakpastian, ekonomi Cina yang ultra-agresif seolah tanpa
batas, dengan tingkat jumlah penduduk dunia yang terus berlipat ganda setiap tahunnya,
naiknya tingkat pengangguran usia produktif, dan tingkat kesediaan sumber daya
alam yang makin langka, semuanya hampir bisa dipastikan cepat atau lambat akan
mendesak-menghempas Indonesia. Siap atau tidak, dengan globalisasi yang secara
bersamaan menyatukan sekaligus mengasingkan manusia satu sama lain, bangsa kita
menghadapi deru-desak badai di depannya dengan daya rusak yang juga tidak
terketahui pasti.
Situasi di mana manusia telah terdesak
keluar dari normalitasnya (normalität) yang aman-nyaman dan dituntut untuk
berhadap-hadapan dengan abnormalitas (abnormalität) yang asing-menggelisahkan, situasi
inilah yang disebut dengan situasi batas (Grenzsituation). Dalam situasi-batas ini seluruh pendasaran
hidup (Grund) yang sebelumnya diandaikan begitu saja
sekarang menjadi tanpa-arti, dan manusia mendapati dirinya tanpa pegangan dan tanpa dasar (Ab-grund). Situasi-batas yang di dalamnya
manusia tidak lagi merasa aman-nyaman, tetapi juga belum sepenuhnya terhempas
di dalam pusat badai, inilah yang disebut dengan situasi krisis. Dalam pengertian asalinya di dalam
bahasa Yunani, istilah krisis berasal dari kata kerja krinein (κρινειν) yang berarti memilah-milah,
memutuskan, atau menegaskan suatu keputusan. Maka krisis tidak lain berarti saat untuk
mengambil keputusan atau waktu untuk menegaskan diri di hadapan deru-desak badai yang
segera menerjang.
Tetapi kapasitas/kemampuan/daya untuk
menegaskan keputusan mengandaikan sebelumnya bahwa manusia (atau sebuah bangsa)
mampu terlebih dahulu mendeteksi atau mengenali adanya krisis sebagai krisis.
Artinya, situasi krisis justru menuntut orang untuk berpikir radikal dan
bertindak di luar normalitas/kebiasaannya (über die
Ausnahmezustand). Ini berarti orang harus terlebih dulu mampu mengenali problem di depan
matanya, mampu melihat problem sebagai problem. Mengikuti pola pikir
filsuf-fenomenolog Jerman Martin Heidegger, tuntutan untuk mengambil keputusan
di hadapan ekstremitas selalu berada di antara dua kutub: 1)
keterlibatan/keterjangkaran pada problem-dasar (Grundprobleme) yang melingkupi situasi eksistensial
manusia, 2) keterarahan pada cakrawala kemungkinan yang tidak terbatas. Yang
pertama memungkinkan manusia untuk selalu mempertanyakan,
menggugat, dan mendefiniskan kembali cara beradanya yang secara mendasar bersifat
kontingen/boleh-jadi/tidak pasti. Yang kedua memungkinkan manusia untuk mampu mengambil
tanggung-jawab atas diri, sesama, dan dunianya, memungkinkan manusia untuk berani menanggung
beban masa depan yang tidak diketahuinya, termasuk kematiannya sendiri. Dalam arti ini,
manusia yang tidak dapat memutuskan dan menegaskan diri di hadapan krisis
adalah manusia yang tidak mampu mengenali problem sebagai problem, sekaligus
juga manusia yang selalu cemas-takut dengan dirinya sendiri yang terekspose di
hadapan kemungkinan masa depan yang tidak-terbatas tidak-menentu. Manusia
seperti ini adalah manusia yang tidak otentik, manusia
inferior yang selalu
terus-menerus berusaha lari dari dirinya sendiri, dan lari dari problem-dasar
yang dihadapi dirinya. Deskripsi untuk manusia ini juga berlaku sejajar bagi
bangsa sebagai entitas politik. Anehnya, di Indonesia, entah pejabat atau
warganya, banyak yang tidak merasakan bahwa krisis itu ada. Kesadaran populer
(khususnya kota-kota besar) justru merasa bahwa segala sesuatu baik-baik saja
dan indah adanya, orang bisa berlenggang ke pusat-pusat perbelanjaan di akhir
minggu, makan-minum tertawa-tawa beramai-ramai, membeli telpon genggam paling
baru, dan para punggawa negarapun sibuk dengan urusan kesejahteraan
keluarga-kerabat masing-masing seperti sekawanan saudagar-oligarkis yang dengan munafiknya menganggap diri
ksatria-demokratis. Seperti yang telah dikatakan oleh
Martin Heidegger, dunia keseharian memang begitu membuai dan membuat kita
nyaman, begitu nyamannya sehingga manusia dalam kenyamanan itu terasing dari
dirinya sendiri dan kehilangan dirinya. Sampai akhirnya topan-badai itu telah
terlihat jelas dari jendela rumah masing-masing, barulah semua orang kisruh
ribut panik, saling menyalahkan, saling melempar tanggung jawab. Ekstremitas
situasi yang seringkali niscaya itu memang selalu menelanjangi diri kita.
Krisis selalu membuat keseharian yang normal itu menemui batasnya, tampak
transparan, dan menjadi ab-normal. Dalam bahasa fenomenologi Husserl, krisis
menyadarkan kesadaran manusia bahwa keseluruhan dunia kehidupan yang artifisial
(Gebilde) itu begitu rapuh, tanpa-makna, dan sia-sia. Dalam
bahasa Husserl, krisis menohok-menghentak kesadaran manusia akan sifat
kesementaraan-kerapuhan dari segala konstruksi sistem yang telah terbangun. Di
hadapan krisis, sistem menjadi kehilangan arti dan fungsinya (Bedeutunglos), dan manusia yang telah terbuai di
dalam sistem itupun sekonyong-konyong kehilangan makna diri dan makna hidupnya
(Sinnlos).
Jika filsuf seperti Edmund Husserl dan
Martin Heidegger berbicara tentang krisis, disorientasi, hidup yang nir-makna,
destruksi, dan segala bentuk negativitas lainnya, mereka tentu bukan bermaksud
untuk menakuti atau meneror kita. Jika pemikir seperti Husserl dan Heidegger
berbicara tentang manusia dan bangsa-bangsa dalam alunan nada-nada minor yang
gelap, suram, dan murung, mereka tentu bukan bermaksud untuk membuat semua
orang putus asa dan melankolis. Walaupun tentu saja dalam segala yang gelap,
suram, murung, dan negatif di dalamnya manusia dapat menemukan keindahan serta
kedalaman. Tetapi bukan itulah maksud Husserl dan Heidegger. Justru sebaliknya,
orang seperti Husserl dan Heidegger hendak menghentak, menyadarkan,
membangunkan kesadaran manusia-manusia modern yang semakin menumpul itu akan potensi/kemungkinan
bahaya yang
menghadang di depannya. Maka para fenomenolog seperti Husserl dan Heidegger
sebenarnya hendak melakukan sesuatu yang sebetulnya sederhana namun justru
paling sulit dilakukan, yaitu: memikirkan apa yang tidak-terpikirkan,
mempertanyakan apa yang tidak lagi dipertanyakan oleh manusia modern sebab
segala sesuatu sekadar diterima begitu saja (taken for
granted). Husserl dan
Heidegger hendak mengajak kita untuk melihat apa yang tidak lagi terlihat oleh mata-kesadaran manusia yang telah
terlena di dalam rutinitas materialistik dunia modern. Husserl dan Heidegger
sekadar mau mengajak kita untuk mendengar apa yang tidak lagi mampu
kita dengar karena kita
begitu sibuk-asyik berkutat dalam mekanisme rutinitas praktis-pragmatis kehidupan
modern yang berisik-bising dengan berbagai khotbah komersil omong-kosong
tentang kesuksesan hidup.
Dalam fenomenologi, berpikir terkait erat dengan bertanya. Seseorang baru sungguh-sungguh
disebut berpikir jika ia sebelumnya mampu bertanya. Bertanya/pertanyaan, dalam
tradisi fenomenologi, berarti juga menyibak-menyingkapkan realitas. Pertanyaan
mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkap namun sebetulnya telah selalu ada di
sana. Menyingkap/mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi mengandaikan bahwa orang
mampu secara radikal masuk ke dalam (menyelami) realitas sebagai realitas itu
sendiri. Artinya, seseorang diandaikan mampu mengalami/menghayati realitas
sebagai realitas itu sendiri, dan bukan sebagai penilaian/penafsiran/anggapan
dia ataupun orang lain tentang realitas tersebut. Dalam hal ini dimensi
penghayatan pengalaman (Erlebniss) menjadi lebih penting daripada
dimensi pengetahuan kognitif (Erkenntnis). Dalam tradisi fenomenologi,
pengetahuan kognitif telah selalu merupakan suatu penafsiran,
abstraksi atau idealisasi yang tertentu atas dunia-kehidupan (Lebenswelt) manusia. Dunia-kehidupan pada mulanya
bersifat pra-reflektif/pra-kognitif dan jauh lebih luas, lebih mendalam, lebih
kaya daripada abstraksi/idealisasi ilmu-ilmu atasnya. Jika dunia-kehidupan adalah dasar yang paling mendasar (Grund), maka pengetahuan kognitif adalah bangunan
yang dibangun di atas dasar itu. Jika dunia-kehidupan adalah horizon
tidak-terbatas yang selalu menyertai pandangan kita, maka pengetahuan kognitif adalah perangkat
kamera yang kita gunakan untuk memotret (membatasi) sebidang sisi dari apa yang
tidak terbatas itu. Jika dunia-kehidupan adalah totalitas/keseluruhan dari segala
yang ada, maka pengetahuan kognitif adalah partikularitas/bagian dari
cara-pandang kita yang terbatas-sementara dalam memahami keseluruhan realitas
yang seringkali sulit dipahami. Dunia-kehidupan (Lebenswelt) selalu bersifat ontologis dan fundamental (ontologis dari kata Yunani το ον, yang artinya apa yang ada). Sementara pengetahuan kognitif
selalu bersifat epistemologis dan sistemik-metodologis (epistemologi dari kata Yunani έπίστημη yang artinya pengetahuan). Di dalam
realitas yang ontologis-fundamental itu tercakuplah alam, ruang, waktu,
kehidupan, termasuk diri dan jiwa manusia. Di dalam cara-pandang yang epistemologis-sistemik itu tercakuplah fisika, geometri, ilmu
sejarah, etika, psikologi dan ilmu-ilmu lainnya.
Maka setiap sistem, apapun itu, selalu
memuat di dalamnya dimensi epistemologis-metodis. Artinya, sistem itu adalah alat bantu atau metode yang selalu kita perlukan/gunakan untuk
memahami serta menata realitas tertentu. Metode yang kemudian terkonstruksi
menjadi suatu sistem itu tidak lain adalah cara bagaimana kita dapat memahami dan menata
realitas kehidupan. Tanpa metode/sistem sebagai alat bantu, realitas hadir di
hadapan kita sebagai suatu daya omnipotentis yang serba terserak kacau balau (chaos) dan sulit dipahami. Pemahaman manusia
selalu mengandaikan sistem dan metodologi untuk menata pikiran kita sendiri,
menata dunia pengalaman, dan menata hidup bersama. Contoh paling
nyata-sederhana adalah kalender penanggalan yang kita gunakan sehari-hari.
Kalender adalah sistem-metodologi penghitungan waktu yang dibuat untuk menjinakkan serta menata arus waktu yang mengalir deras dari
masa lalu ke arah masa depan. Entah sistem kalender apapun yang kita gunakan,
waktu itu sendiri akan tetap berlalu begitu saja tanpa mempedulikan kita yang
bergumul di dalamnya. Sistem penanggalan adalah cara yang kita gunakan dalam memahami dan
memanfaatkan waktu. Tetapi Sang Waktu itu sendiri bukanlah kalender
penanggalan itu, Sang Waktu sendiri tidaklah tergantung dari ada atau tidaknya
kalender penanggalan yang kita pakai. Sistem penanggalan (entah Masehi,
Muharam, ataupun Jawa) menunjukkan cara berada atau bentuk relasi manusia yang khas dalam mengarungi arus
waktu.
Namun demikian, dalam perspektif
Husserl dan Heidegger, persis dalam hal sistem-metodologis itulah terletak akar
permasalahannya. Dalam hal sistem cara-pandang metodologis itulah bermukim
asal-usul (genesis) dari segala krisis yang mendera kehidupan manusia
(bangsa-bangsa) modern. Dalam konteks pemahaman Husserl-Heidegger, konsep
‚sistem‘ terkait erat dengan kata ‚modern‘. Kata ‚modern‘ yang secara harfiah
berarti bentuk-baru/kebaruan (modere), ternyata bermakna lebih dari sekadar
kata-kata, sebab di dalam kata tersebut termuat suatu cara-pandang yang khas
atas manusia dan dunia. Cara-pandang tersebut ternyata juga tidak tinggal sekadar
sebagai sebuah cara-pandang, sebab di dalam cara-pandang tersebut bermukim
gagasan atau bahkan program politik-kebudayaan tertentu yang perlahan-lahan
mengeras menjadi sebuah pola pemahaman yang baku (ideologi). Cara pandang baru itu muncul sebagai sebuah reaksi dan resistensi terhadap cara pandang sebelumnya. Jika
sejak abad ke 4 SM, lewat pemikir seperti Thales, Heraklit, Parmenides, Platon,
Aristoteles hingga Zeno dan Cicero alam (Kosmos) menjadi horizon terjauh yang
melingkupi pemahaman manusia, maka sejak abad ke 2 M hingga abad ke 14 M kita
melihat bagaimana alam diatasi oleh Tuhan monoteistik (Theos) sebagai horizon pemahaman manusia
yang terjauh-tertinggi. Tentu Tuhan di sini dipahami dalam pengertiannya yang
tunggal-Satu-personal menurut tradisi agama-agama Timur, khususnya Timur Tengah
seperti Persia (agama Zoroaster) dan Ibrani (Allah Yahwe). Setelah berasimilasi
sedemikian rupa dengan kebudayaan Yunani-Hellenistik dan agama wahyu yang baru
(lewat sosok Isa/Yesus), maka gerakan religius yang sebenarnya eklektik itu
menjelma menjadi Kekristenan dan menemukan kekuatannya dalam pemikiran
Teosentris yang melingkupi peradaban Barat selama lebih dari 1500 tahun.
Terhadap dominasi cara pandang (cara berpikir) teosentris inilah muncul gerakan
pembaharuan baru yang menamakan diri sebagai moderna. Sebagai sebuah gerakan pembaharuan,
gerakan ini melakukan terobosan-terobosan di sana-sini khususnya dalam
bidang-bidang ilmu pengetahuan alam. Para modernis seperti Francis Bacon,
Berkeley, Descartes, dan Hume untuk menyebut beberapa, mereka menolak segala
otoritas yang tidak berasal dari daya nalar/akal (ratio) manusia (antropos).
Dengan membanting arah kemudi
filsafat-pemikiran ke sosok manusia sebagai manusia itu sendiri lepas dari
muatan dogma religius-mitologis, para modernis telah berhasil membersihkan diri
manusia dan dunia dari beban teologis-religius yang tidak perlu dan berlebihan. Membebaskan manusia (liberté, liberation) dari
kungkungan daya-daya irasional (mitologis dan religius) yang tidak membawa
kemajuan apapun bagi umat manusia, inilah program utama Modernisme. Sejak itulah dimulai cerita tentang
Modernisme dan modernisasi yang berpusat pada gagasan tentang manusia yang
bebas (the
idea of freedom) dan rasional sebagai porosnya (cara pandang antroposentris). Dengan
manusia sebagai titik tolak segalanya (titik Archimedes), maka dunia dan alam
bergeser statusnya dari yang awalnya sakral menjadi objek-objek yang dapat dipahami, ditaklukkan,
dikuasai, dan dimanfaatkan oleh manusia. Manusia memahami, menaklukkan,
menguasai, dan memanfaatkan segala sesuatu bukan dengan lamunan ataupun
imannya, melainkan dengan Ratio atau daya nalarnya. Daya nalar atau Ratio itu sendiri selalu bekerja secara
metodologis dengan melakukan observasi, examinasi, efisiensi, dan justifikasi
terus-meneurs. Singkatnya ratio bekerja dengan melakukan sistematisasi. Lebih dari itu, keampuhan
sistematisasi serta metodologisasi ini menemukan efektivitas atau daya
gebraknya di dalam hal-hal praktis, mulai dari pengobatan medis, ilmu-ilmu
alam, sampai ke soal pengelolaan perilaku tamak-rakus manusia sebagai homo economicus dalam ilmu-ilmu ekonomi. Dengan
demikian, sejak Rasionalisme dan Zaman Pencerahan (Aufklärung) objektivitas
metode dan validitas-netralitas
sistem menjadi kata
kunci keramat bagi seluruh aktivitas manusia, mulai dari hal-hal
teoretis-akademis, sampai ke hal-hal praktis sehari-hari.
Namun
demikian, apa yang mulanya adalah cerita mulia tentang optimisme manusia di bawah panji kebebasan dan rasionalitas, ternyata
dengan begitu mudahnya tergelincir terpelanting menjadi cerita suram tentang pesimisme serta kedegilan manusia di bawah bayang-bayang ketamakan
dan irasionalitas. Gagasan mulia tentang kemajuan umat manusia yang
rasional-individual ternyata begitu rapuhnya menjelma menjadi horror
bencana-bencana kemanusiaan. Fakta sejarah bahwa manusia harus melewati dua
perang dunia yang dibayar mahal dengan darah dan air mata puluhan juta manusia,
fakta bahwa manusia terus-menerus kembali tenggelam dalam bencana-bencana
ekonomi, politik, dan teknologi hasil eksperimennya sendiri, semua fakta ini
memaksa manusia untuk mempertanyakan kembali dasar dari cara-pandang dan cara-beradanya
selama ini. Segala dampak mengerikan
yang muncul dari proses modernisasi dengan sendirinya membuat orang melihat
bahwa modernisasi itu sendiri pada dirinya problematis. Artinya, bersamaan
dengan gerak waktu manusia mulai melihat bahwa cara-pandang modern itu pada
dirinya sendiri mengandung problem dasar yang menjadi bagian dari cara kerjanya
dan belum terpecahkan. Beberapa pemikir di dalam Modernisme sendiri sebenarnya
telah menyadari adanya problem dasar yang bermukim di dalam tubuh
modernisme-Pencerahan. Pemikir-penulis seperti misalnya Blaise Pascal,
Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, dan Friedrich Hölderlin telah sejak awal
sebenarnya mencium aroma bencana di dalam tubuh Modernisme dan proses
modernisasi yang diluncurkannya. Tetapi diagnosa, kritik, dan gugatan paling
mendalam-mendasar terhadap cara-pandang modern baru sungguh-sungguh tampil
dengan munculnya gerakan fenomenologi di Jerman, khususnya lewat dua
pendirinya, yaitu Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Karena alasan ini
pula maka dalam perdebatan akademis-intelektual maupun perdebatan politik
praktis di Jerman-Prancis (dua negara di mana filsafat betul-betul berkembang
dan sangat dihargai), Husserl dan Heidegger dianggap sebagai pintu gerbang yang
untuk pertama kalinya membuka jalan ke arah postmodernisme (pasca-modernisme).
Dua
orang tersebut, Husserl dan Heidegger, bukan saja guru dan murid, namun juga
bersahabat dekat satu sama lain. Bahkan keduanya sering menghabiskan waktu
berbincang-bincang di kebun rumah Husserl yang sederhana itu di Freiburg.
Keduanya bukan hanya orang yang sama-sama akrab-betah dengan kesendirian,
melainkan lebih dari itu, keduanya mengalami langsung brutalnya dampak
mentalitas dunia modern di dalam Perang Dunia I. Dari krisis yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari, Husserl dan Heidegger mencoba menyelam lebih dalam,
merenung lebih intens, menerobos masuk ke dalam akar dari krisis tersebut yang
rupanya tidak berasal dari dunia sehari-hari itu sendiri, melainkan dari suatu ide yang telah merasuk-mengendap ke dalam cara-pandang dan cara-berpikir setiap orang sehari-harinya sehingga
tidak lagi dipertanyakan. Dan persis itu jugalah yang membedakan filsuf-pemikir
dengan orang-orang lainnya, yaitu: kemampuan untuk menyelam lebih dalam ke
dasar terdalam yang diandaikan oleh setiap tindakan kita sehari-hari namun tak
lagi dipersoalkan, kemampuan untuk naik lebih tinggi ke tingkat permenungan
yang lebih menukik tajam, lebih abstrak-kontemplatif tetapi juga lebih
menyeluruh. Di ketinggian permenungan yang lebih kontemplatif itu si
filsuf-pemikir dapat melihat bentang cakrawala yang lebih luas menyeluruh yang
tidak lagi terlihat oleh orang-orang lain yang sibuk kisruh di dataran lebih
rendah. Walaupun di puncak permenungan itu si filsuf-pemikir akan lebih
terisolasi sendiri dalam sepi sunyi yang dingin jauh dari persentuhan hangat
manusia-manusia lain. Inilah juga yang terjadi dengan para pemikir soliter
seperti Husserl, Heidegger, atau sebelumnya Kant, Hegel, Goethe, Hölderlin,
Nietzsche, Stefan George ataupun Voltaire, Rousseau dan bahkan Marx.
Dalam permenungan kontemplatif Husserl,
proses modernisasi membawa bersamanya paradoks yang memang menjadi bagian dari
cara kerjanya yang mendasar. Di satu sisi laju modernisasi membawa segala
bentuk baru kemajuan dan kemudahan-manfaat praktis yang terus berkembang
bersama dengan semakin lajunya gerak teknologisasi, praktikalisasi, dan ekonomisasi
di semua bidang. Di sisi lain, gerak laju modernisasi yang sama
mencerabut-mengasingkan manusia dari akar/dasar (archē) eksistensialnya yang paling mendasar
di dalam dunia-kehidupan (Lebenswelt) sebagai ruang ontologis-fundamental
yang di dalamnya dunia dihayati serta dimaknai secara langsung (immediate) dan eksistensial. Dengan kata lain,
manusia dari dalam dirinya sendiri memang membutuhkan
sistematisasi-skematisasi-abstraksi-efisiensi yang termuat dalam gerak
modernisasi itu. Tetapi manusia kemudian menjadi tergantung padanya, begitu
tergantungnya sampai akhirnya ia sepenuhnya terkungkung-terkendalikan
tanpa-daya oleh sistem/skema yang dibuatnya sendiri. Ketergantungan pada
artifisialitas teknis yang dihasilkan dunia modern inilah yang menjadi
asal-usul segala disorientasi dan krisis manusia (bangsa-bangsa) modern. Dengan
kata lain, apa yang pada mulanya adalah suatu cara-pandang yang spesifik-partikular tentang dunia
ternyata justru bermetamorfosis menjelma menjadi dunia/realitas
tersendiri yang
menyeluruh-universal, dengan nafas serta ruhnya sendiri yang tidak lagi dapat
dikendalikan oleh si manusia yang melahirkannya.
Sistem/skema/abstraksi selalu sifanya
artifisial, dalam pengertian ia merupakan hasil rekayasa teknis-metodologis (poiesis / art) manusia dalam memahami-menata dunia.
Sistem itu kini tidak lagi tinggal sebagai sistem yang teknis-metodologis,
melainkan telah hidup bernafas menjadi dunia-kehidupan itu sendiri. Cara kerja
teknis-praktis modernitas telah membenamkan manusia ke dalam sistem itu, dan
kemudian membuatnya abai atau lupa akan dunia-kehidupan (Lebenswelt) tempat segala sistem dan
metodologisasi itu awalnya berasal. Manusia lupa bahwa sistem itu adalah sistem
dan bukannya hidup itu sendiri, sebagaimana manusia lupa bahwa fiksi itu adalah
fiksi dan bukan kebenaran itu sendiri. Sistem yang membadan-menubuh menjadi
dunia-kehidupan, dan fiksi yang mewujud menjadi kebenaran itu sendiri, inilah
cerita tentang pelupaan manusia akan diri dan dunianya sendiri, pelupaan yang menariknya keluar dari dirinya
sendiri, gamang-rabun akan eksistensinya, dan jatuh ke dalam disorientasi atau
krisis.
Maka bersama dengan Husserl kita dapat
mengatakan bahwa krisis itu berakar dari kesalah-pahaman
kategoris (kategorien
Mißdeutung) dalam membedakan antara: 1) apa yang
sungguh-sungguh mendasar (grundlich), dan 2) apa yang sekadar konstruksi (Gebilde) rekayasa teknis-sistematis-artifisial
yang dibangun di atas dasar itu. Bersama dengan semakin canggih, efisien, dan
praktisnya cara kerja dunia modern, ternyata manusia bukannya semakin canggih
dalam melihat persoalan, melainkan justru mengalami pendangkalan-penyempitan cara-pandang dalam melihat diri serta dunianya.
Pendangkalan-penyempitan cara-pandang ini pada gilirannya menjadi rantai
ketergantungan yang melumpuhkan cara-berpikirnya. Cara berpikir manusia modern sendiri
telah terjerembab tak lagi mampu keluar dari horizon teknis-sistematis-artifisial
yang diciptakannya sendiri. Cara berpikir modern tidak lagi mampu melihat
perbedaan ontologis (ontologische Differenz) antara apa yang mendasar dan apa yang
merupakan turunannya. Cara berpikir modern merancukan/mengaburkan (Mißdeuten) batas ontologis-fundamental antara:
1) dunia-kehidupan itu sendiri, dan 2) pengetahuan/cara-pandang kita yang tertentu tentang dunia-kehidupan
itu. Maka jelas
bahwa dalam perspektif fenomenologi, segala krisis yang menghantam-mendesak manusia (juga bangsa-bangsa)
modern memiliki akar/asal-usulnya di dalam krisis cara berpikir kita yang tidak lagi
mampu melihat mana yang sungguh mendasar dan mana yang sekunder, mana yang sungguh benar/baik dan mana yang sekadar fiksi/rekayasa. Rancunya cara-berpikir manusia modern
ini membuatnya tidak lagi dapat berefleksi serta bersikap seharusnya di hadapan
tuntutan untuk mengambil keputusan dan bertanggungjawab. Fiksi tentang
netralitas-objektivitas metode ilmu-ilmu modern telah melumpuhkan kapasitas
manusia dalam mengambil tanggungjawab di hadapan segala persoalan kemanusiaan.
Bertolak dari keprihatinan dan
kesadaran akan krisis cara-berpikir inilah fenomenologi Husserl kemudian
terus-menerus menekankan apa yang disebutnya sebagai „cara-melihat
yang selalu kembali kepada hal-hal/sesuatu itu sendiri“ (zuruck zu den
Sachen Selbst / back to the things themselves). Cara-melihat fenomenologis ini
bukanlah suatu mantra mistik yang mau membawa kita ke dunia lain, juga bukan
sekadar jargon teoretis-akademik yang hanya didiskusikan oleh para profesor.
Sama sekali bukan itu. Cara-melihat fenomenologis ini justru mau menerobos
keterbatasan cara-pandang dan cara-berpikir kita manusia biasa yang telah dibuat
rabun-gamang oleh segala kemudahan, kesiapsediaan, dan praktikalitas dunia
modern. Cara melihat fenomenologis ini pertama-tama mau membawa orang kembali
ke dasar (Grund) hidupnya yang
eksistensial-fundamental. Di dalam tingkat penghayatan-pemaknaan hidup yang
eksistensial-fundamental itu manusia melihat apa yang sesungguhnya ada, dan
membebaskan penglihatannya dari bingkai konstruksi/sistematisasi artifisial
atas apa yang ada itu. Atas dasar konteks krisis cara berpikir manusia modern
inilah kita bisa memahami mengapa Husserl menyebut fenomenologi sebagai „filsafat dari
dasar“ (philosophie von
Unten). Fenomenologi
mau mengajak manusia untuk sesaat memalingkan pandangan dari kecanggihan-kompleksitas dunia modern
sehari-hari ke dasar paling mendasar yang telah dilupakannya,
yaitu: makna dirinya yang ontologis-eksistensial, makna yang diperolehnya dari
kesadaran akan horizon ketidakterbatasan dunia-kehidupan, makna yang diperoleh
dari kemampuannya untuk berefleksi/berpikir (Besinnung) serta memutuskan/menegaskan
keputusan di hadapan
ketidakterbatasan pilihan hidupnya.
Dalam konteks krisis cara-berpikir
manusia modern ini juga kita dapat memahami apa yang dimaksud oleh Martin
Heidegger dengan „cara-melihat yang melepaskan/membiarkan segala sesuatu
ada sebagaimana adanya“ (Gelassenheit / Releasement). Kata Jerman lassen yang berarti ‚membiarkan/melepas‘ itu
menjadi terdengar lebih kuat maknanya jika kita hadapkan dengan kata Jerman
lainnya yaitu be-griffen, atau menggapai/merengkuh. Menggapai/merengkuh (Begriff) dalam bahasa Jerman juga berarti
Konsep. Sifat-dasar dari setiap konsep adalah merengkuh atau membatasi realitas
sehingga kita bisa memahaminya. Tanpa perengkuhan dan pembatasan itu kita tidak
mungkin memahami apapun atau bahkan tidak mungkin berbahasa. Konsep yang
merengkuh dan membatasi itu adalah awal dari segala upaya kita untuk
menjinakkan dan memanfaatkan realitas. Tetapi penekanan akan awal dari sesuatu
tidak serta merta menjadikan yang awal itu sebagai segala-galanya. Konsep yang
rasional-definitif itu tidak lain adalah satu dari sekian banyak kemungkinan cara-berada dan cara-berpikir kita sebagai manusia. Modernisasi, yang
berarti juga rasionalisasi-sistematisasi atas segala sesuatu kemudian
memberikan preferensi khusus pada satu cara-pandang yang spesifik itu, dan kemudian
memutlakkannya sebagai satu-satunya cara-pandang. Pada titik ini, apa yang pada
mulanya rasional-sistematis, dengan proses rasionalisasi-sistematisasi
terus-menerus yang tanpa-batas, ia kemudian menjadi sesuatu yang justru tidak
lagi rasional-sistematis (irrasional dan chaotic). Apa yang pada mulanya adalah
satu/sebuah pilihan bebas manusia, yaitu pilihan untuk menata diri-dunianya
secara teknis-rasional-sistematis, kini justru memasung mengerdilkan pilihan
manusia hanya ke dalam satu cara-berada yang telah menunggalkan diri itu. Kita
misalnya tidak lagi memilih apakah sebaiknya kita menggunakan telpon genggam
atau tidak. Kita kini memilih tentang telpon
genggam tipe apa yang hendak kita pilih. Telpon genggam, yang awalnya adalah alat/sarana itu kini telah menjadi totalitas horizon dunia-kehidupan
kita yang darinya kita tidak dapat lepas. Bukan hanya sekadar soal telpon
genggam, bahkan kualitas cara-berpikir kitapun tidak jauh berbeda dengan
prosesor kecil di dalam telpon genggam kita sendiri. Cara-berpikir manusia
modern secara khusus selalu dan terus-menerus terarahkan pada hal-hal yang
itu-itu saja: praktikalitas, teknisitas, dan efisiensi. Pendangkalan-pembodohan
kualitas cara-berada dan cara-berpikir manusia inilah yang menyebabkan kita
tidak lagi dapat merasa akrab-intim dengan diri kita sendiri, dengan bangsa
kita, dengan dunia kita. Modernitas membuat orang lupa akan dirinya, lari dari
dirinya sendiri, terasing dari alam-dunianya, tercerabut dari keberakarannya di
dalam tanah-bangsa yang tertentu. Pelupaan, keterasingan, dan ketercerabutan
manusia dari akar dan dasarnya inilah yang dalam bahasa Heidegger disebut
dengan Ketidakberumahan
/ Ketidakbermukiman (Unheimlichkeit).
Dengan kata lain, manusia-manusia modern yang canggih, sukses, terhormat itu
sebetulnya tidak lain dari pengungsi-pengungsi (homeless) yang tidak lagi memiliki tempat menetap di mana ia dapat
merasa betah dan merumah (Heimlich). Manusia selalu bergerak memilih sesuatu berdasarkan trend terbaru, gadget
teknis keluaran terbaru, headline berita-berita yang terbaru. Kita terus-menerus berlari, dan dari
satu titik konsumsi kita terus-menerus pula dihempas ke sana-kemari ke
titik-titik konsumsi lain. Situasi pendangkalan-penyempitan-penggoblokan
cara-berpikir inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai Ketidakberpikiran (Gedankenlossigkeit
/ Thoughtlessness). Orang yang tidak berpikir (Gedankenlos) adalah orang yang tidak lagi mampu
bertanya, ia tidak lagi mampu bertanya tentang dasar makna hidupnya sebab
baginya diri dan dunianya telah begitu lengkap, canggih, dan indah. Orang yang
tidak berpikir adalah orang yang tidak mampu melihat pengandaian-pengandaian
dasar yang tersembunyi di balik suatu konstruksi cara-pandang
dunia. Orang yang
tidak berpikir adalah orang yang isi kepalanya penuh dengan segala kalkulasi
teknis hidup sehari-hari, dan baginya tidak ada yang lain lagi yang lebih
penting di luar cara-berpikir kalkulatif itu.
Di hadapan krisis cara-berpikir
(ketidakberpikiran) inilah Heidegger menunjukkan bentuk kemungkinan lain dari
cara-berada dan cara-berpikir manusia, yaitu cara-berpikir
meditatif-kontemplatif yang disebut sebagai Gelassenheit itu. Dengan menekankan pada bentuk
meditatif-kontemplatif Heidegger tentu bukan mengajak kita untuk kembali pada
agama. Agama dalam perspektif Heidegger tidak lebih bagus-bermutu daripada
sebuah mesin di pabrik. Mengapa demikian? Sebab agama yang sekarang mengungkung
horizon cara-pandang dunia kita itu sebenarnya juga merupakan sebuah konstruksi
cara-pandang dunia yang
tertentu, sebuah penafsiran yang tertentu atas hidup dan dunia. Dan sebagai sebuah konstruksi
cara-pandang maupun penafsiran ia ditafsirkan, dipahami, dan dibangun
oleh manusia-manusia pada tempat dan waktu yang tertentu pula. Agama
sebagaimana juga dunia teknologi yang sistematis-skematis itu bukanlah dasar dari segala yang ada, melainkan penafsiran
manusia yang tertentu tentang apa yang ada (dasar) tersebut. Penafsiran, pemahaman,
justifikasi yang dibangun dikonstruksi menurut cara-pandang yang tertentu
inilah yang disebut Heidegger dengan Metafisika (Metaphysik). Persoalannya kemudian adalah
bagaimana manusia mampu melepaskan diri dari berbagai jerat cara-pandang
metafisika yang membatasi penglihatannya (cara-berpikirnya) itu, untuk kemudian
bisa melihat dirinya sebagai dirinya sendiri, melihat dunia sebagai dunia itu
sendiri, melihat orang lain sebagai orang lain itu sendiri pada dirinya, dan
bukan sebagaimana diajarkan, dipahami, dikhotbahkan, direpresentasikan entah
oleh agama-agama ataupun oleh modernitas.
Dengan menekankan pada cara-berpikir Gelassenheit yang meditatif-kontemplatif, Heidegger
tidak lain hendak memperlihatkan kemungkinan cara-berpikir serta cara-berada yang
lain. Membiarkan ada segala yang ada sebagaimana ia meng-ada, ini bukanlah
sebuah sikap acuh tidak peduli terhadap dunia. Sebaliknya, membiarkan-ada itu
adalah sebuah aktivitas sekaligus juga pasivitas. Cara-berpikir Gelassenheit adalah suatu cara-berpikir
intermediasi yang bertahan
tegak di dalam ruang-antara (zwischen-Raum) di antara aktivitas dan pasivitas.
Membiarkan hanya disebut sebagai membiarkan jika kita dapat
merengkuh-memaksanya. Sebagaimana ‚memaksa‘ adalah aktivitas, ‚acuh tak acuh‘
sebagai pasivitas adalah kutub ekstremnya. Membiarkan-ada apa yang ada
sebagaimana ia memberikan dirinya (Gelassenheit) adalah sebuah sikap relaks yang mampu
menjaga tarik-menarik tegang di antara dua ekstrem itu. Sebagaimana orang
yang berusaha keras untuk melupakan sesuatu adalah orang yang akan terus
teringat terhantui traumatis oleh apa yang justru ingin ia lupakan, maka orang
yang berusaha keras untuk mengingat sesuatu adalah orang yang akan terus
terlupa abai tak peduli oleh apa yang justru ingin ia ingat. Ingatan dan
pelupaan bergerak di dalam relasi tegang-ekstrem yang saling mengandaikan.
Begitu juga dengan modernitas, kemajuan-kecanggihan-kesuksesan yang diperoleh di
dalamnya sebetulnya satu kutub ekstrem dengan kemunduran-kedangkalan-ketololan.
Manusia modern, alih-alih menghindari kedangkalan dengan mengejar
kesuksesan-kemajuan, ia justru pada akhirnya akan mendapati dirinya berkubang
dengan ketololan dan kesia-siaan. Relasi tegang-ekstrem inilah yang hendak
diretas oleh fenomenologi Heidegger. Sejak awal fenomenologi menyadari betul
bahwa persoalannya tidak terletak pada kutub manusia sebagai Subjek, bukan pula
terletak pada kutub dunia-alam sebagai Objek, melainkan lebih terletak pada
kemungkinan cara-berada atau relasi-antara yang mungkin/dapat terbentuk di
antara Subjek dan Objek. Maka sejak awal fenomenologi tidak menekankan pada cara bagaimana agar kita dapat memahami/mengetahui
orang lain atau dunia. Melainkan fenomenologi justru menekankan pada cara bagaimana dunia atau orang lain itu memberikan-dirinya bagi kita sebagaimana adanya menurut
berbagai kemungkinannya yang beragam (its manner of
givenness). Yang paling
mendasar bukanlah dunia atau orang lain sebagaimana yang kita pahami, melainkan
bagaimana dunia atau orang lain itu sebagaimana adanya di dalam dirinya sendiri
itulah yang jauh lebih penting dan mendasar. Maka menunda atau menempatkan di
dalam kurung segala prasangka/prapaham kita tentang sesuatu menjadi cara-kerja
dasar bagi fenomenologi. Cara-berpikir yang mau menunda segala
prasangka/prapaham kita tentang sesuatu inilah yang disebut dengan Epochē.
Kekuatan kesadaran manusia terletak
persis pada kapasitas/daya aktif-agresif yang dimilikinya, sekaligus daya
pasif-reseptif yang juga dimilikinya. Kekuatan daya kesadaran manusia yang
paradoksal itu sekaligus menjadi kelemahannya yang paling utama. Sebagaimana
aktivitas-agresivitas terus-menerus pada akhirnya niscaya melumpuhkan manusia
sendiri, demikian juga pasivitas-reseptivitas tanpa batas pada akhirnya juga
niscaya melumpuhkan. Di hadapan kekuatan paradoksal yang melumpuhkan inilah
fenomenologi bergerak di antara keduanya. Dengan sikap-fenomenologis (epochē) yang secara bersamaan aktif sekaligus
pasif, mencoba memahami sekaligus juga membiarkan sesuatu itu memberikan-diri
sebagaimana adanya, manusia modern diajak pertama-tama untuk mengenali batas: batas rasionya, batas egonya, batas
upayanya, batas dirinya, batas dunianya, batas pemahamannya, batas harapannya,
batas sistematisasi/proyeksinya. Pengenalan akan batas misalnya membuat orang
sadar bahwa ia hanya dapat melupakan jika ia tidak berusaha keras untuk
melupakan, melainkan justru dengan mengingatnya, dengan menerimanya atau
membiarkan sesuatu itu mengada sebagaimana adanya dengan lepas-bebas.
Fenomenologi tidak saja merupakan upaya untuk mengenali batas itu. Fenomenologi
tidak lain adalah kesadaran (logos) akan sesuatu yang memberikan-diri
bagi kesadaran sebagaimana
adanya (phainomenon /
Erscheinungen). Fenomenologi
dalam dirinya sendiri adalah sebuah bentuk kesadaran-akan-batas.
Krisis itu sendiri adalah sebuah
situasi batas. Krisis, yang adalah situasi batas itu, justru bermula dari suatu
situasi (aktivitas/sistematisasi) yang tanpa-batas. Keyakinan atau optimisme
yang salah-tempat (misplaced) bahwa baik manusia maupun sistem tatanan dunia modern
pada dirinya adalah cukup-diri (self-sufficient), optimisme salah-tempat ini justru
mengawali cerita kejatuhan manusia di dalam irasionalitas dan kedangkalan
(banalitas) yang pesimis. Hanya saja, melihat apa yang salah dengan orang lain
selalu jauh lebih mudah daripada melihat apa yang salah dengan diri sendiri.
Kritik selalu bergerak lebih agresif daripada oto-kritik (kritik diri). Dalam
sebuah sistem yang di dalamnya manusia tidak lain adalah sekrup kecil di antara
gerigi mesin-mesin yang terus bergerak, jangankan oto-kritik, bahkan kritik
yang sungguh-sungguh bermutu itu sendiri menjadi barang langka. Bahkan
keputusan dan rasa tanggungjawab pun menjadi tindakan langka yang telah
ternetralisir oleh mekanisme sistem. Padahal manusia disebut manusia justru
karena manusia, berbeda dengan makhluk hidup lain, dapat melakukan kritik-diri,
mempertanyakan, memutuskan sesuatu, dan mengambil tanggung-jawab. Bangsa yang
di dalamnya para punggawa – tempat seharusnya rakyat bisa menyandarkan beban
hidup mereka kepada para punggawa itu – justru saling melempar tanggungjawab
dan saling ragu-bimbang memutuskan, pastilah itu bangsa yang sedang krisis.
Jika bangkai ikan membusuk dari kepala, maka pembusukan sebuah bangsa juga
dimulai dari kebobrokan mental para punggawa-pemimpinnya yang seharusnya berani
mengambil tanggung-jawab dan keputusan. Sebagaimana kebaikan dan kejahatan,
krisis itu sendiri adalah sesuatu yang cepat menular. Sampai di batasnya yang
terjauh, krisis itu bermetamorfosis menjadi bencana, ia akan menjadi begitu
massif, dan massivitas itu pada akhirnya akan menelan-merusak segala sesuatu.
Pengalaman sejarah manusia dengan Depresi Ekonomi, Fasisme, dan Komunisme,
semua itu sebenarnya telah memberikan arah jalan bagi suatu bangsa untuk dapat
menempuh jalan yang paling memungkinkan dia selamat.
Persoalannya, sebagaimana telah
ditunjukkan Husserl-Heidegger, manusia modern selalu terjebak terjerembab oleh
sistematisasi yang dibuatnya sendiri, sistem yang adalah hasil-tangannya itu
justru kemudian memakannya sendiri, sistem itu menjelma sebagai dunia-kehidupan
tersendiri dan mengkolonisasi diri eksistensial manusia. Pada titik ini,
ditengah ketidakmampuan suatu bangsa untuk memutuskan dan menetapkan arah, maka
sistem (entah sistem demokrasi, sistem parlemen, sistem ekonomi global, sistem
pasar saham, sistem pasar tumpah, sistem teknologi-komunikasi) yang seharusnya menjadi
alat bantunya untuk hidup dan menegaskan-diri, akhirnya justru menjadi
mekanisme netral-proseduralistik yang tidak-terpahami dan tidak-bermakna. Sistem justru menjadi jejaring prosedur yang anonim,
tidak-terpahami, dan mengasingkan manusia yang satu dari yang lain. Sebuah
bangsa yang telah berproses sedemikian rupa menjadi bangsa yang
sistematis-demokratis tetapi anonim, proseduralistik, mengalienasi warganya
satu sama lain dan asing dari tanggungjawab, adalah apa yang oleh
sosiolog-fenomenolog Peter L. Berger disebut sebagai bangsa yang terasing (alienated)
dan tidak berumah (homeless). Tanpa kesadaran bahwa krisis hidup berbangsa
itu berakar dalam krisis
cara-berpikir masing-masing warganya (termasuk
punggawanya), bangsa seperti itu hanya akan terus terlempar ke sana-kemari dari
satu krisis ke krisis lain.***
Ito Prajna-Nugroho adalah sarjana filsafat lulusan
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2009), Jakarta dan mengkhususkan studinya
dalam studi/kajian fenomenologi khususnya fenomenologi Husserl-Heidegger
beserta segala perdebatannya di dalam filsafat politik, filsafat kontemporer,
dan hermeneutika. Saat ini sembari dengan menyelesaikan tesis magisternya di
STF Driyarkara, ia juga mengajar sebagai dosen filsafat di beberapa sekolah
tinggi dan universitas. Publikasi ilmiahnya dapat dibaca (dan dikritik) dalam
Jurnal Filsafat Driyarkara dan Majalah Kebudayaan Basis. Salah satu publikasi terakhirnya
dapat dibaca (dan dikritik) dalam: Ito Prajna-Nugroho, „Diri dan Ketiadaan
dalam Filsafat Sartre,“ dalam A. Setyo Wibowo (ed.), Filsafat
Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011.
Referensi Penulisan
Edmund
Husserl. The Crisis of European Philosophy and Transcendental Phenomenology.
Translated with an Introduction by David Carr. Evanston: Northwestern
University Press. 1970
Edmund
Husserl. Logische
Untersuchungen – Untersuchungen zur Phaenomenologie und Theorie der
Erkenntnis, Zweiter Band. Tübingen: Max Niemeyer Verlag. 1980
James Dodd. Crisis
and Reflection. New York: Kluwer Academic
Publishers. 2004
J. N.
Mohanty. Edmund Husserl’s Theory of Meaning. The Hague: Martinus
Nijhoff. 1969.
Martin
Heidegger. The Basic Problems of Phenomenology. Translated,
Introduction, and Lexicon by Albert Hofstadter. Bloomington: Indiana University
Press. 1982
Martin
Heidegger. Discourse on Thinking. Translated by John M. Anderson and
Hans Freund. London: Harpers Colophon Books. 1969
Martin
Heidegger. Ontology – The Hermeneutics of Facticity. Translated by John
van Buren. Bloomington: Indiana University Press. 1999
Maurice
Merleau-Ponty. Éloge de la Philosophie. Éditions Gallimard. 2002
Peter L. Berger, Brigitte Berger, Hansfried Kellner. The Homeless Mind.
Penguin Books. 1973
Quentin
Lauer (ed.,). Phenomenology and the Crisis of Philosophy. New York:
Harper Torchbooks. 1965
Vittorio Hösle. La
crise du temps présent et la responsabilité de la philosophie. Nîmes: Théétète editions. 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar