Makalah Presentasi untuk Diskusi di Komunitas “Pergerakan Kebangsaan” 27 Nopember 2011
Oleh:
Ito Prajna-Nugroho, S.S[i]
Pengantar:
Problem Modernitas sebagai Titik Tolak
Dalam
dunia kehidupan sehari-hari, kita larut dan hanyut dalam berbagai kesibukan
dunia modern: mulai dari kerja rutin di kantor, memakai kompor dan listrik di
rumah, memakai mobil dan motor, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, asyik
berkutat dengan perangkat teknologi-komunikasi termutakhir, sampai ikut
berpartisipasi dalam debat politik terkini tentang demokrasi. Kenyataan ini
memperlihatkan bahwa saat ini modernitas dan teknologi telah menjadi totalitas
horizon yang melingkupi seluruh hidup kita, dan darinya tidak dapat kita lepas.
Tetapi di tengah-tengah semua hingar-bingar hidup modern itu kita perlu sedikit
bertanya: Apakah semua hal yang sekarang kita geluti-hidupi sehari-hari itu
muncul dan terjadi begitu saja? Apakah dunia modern itu begitu berkuasa
sehingga kita tidak bisa lain kecuali tertawan-tersandera dalam horizonnya yang
total? Ataukah sebenarnya modernitas itu sendiri sebenarnya tidak lebih dari sebuah
cara-pandang dunia tertentu, sebuah model tertentu tentang
cara berada manusia, yang juga memiliki sebab-musabab serta asal-usulnya?
Jika
kita melangkah sedikit lebih jauh ke dalam sejarah pemikiran manusia (sejarah
filsafat) sejak Zaman Antik-Klasik sampai dengan Zaman Modern, dengan segera
kita akan melihat bahwa apa yang terealisasikan dalam hidup praktis sehari-hari
manusia ternyata pada mulanya berasal dari dunia ide-ide dan gagasan. Idea atau
gagasan yang menjelma menjadi realitas inilah yang telah membentuk peradaban
bangsa-bangsa dan menggerakkan jalannya sejarah umat manusia. Demikian juga
munculnya revolusi industri, kemajuan teknologi, dan system demokrasi-liberal,
semuanya tidak lepas dari cara-pandang dunia modern yang muncul di antara abad
ke 16 sampai abad ke 18, lewat pemikiran para filsuf seperti Francis Bacon,
Berkeley, René Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant. Sebagai sebuah reaksi
serta kritik-radikal terhadap cara-pandang dunia sebelumnya yang Teosentris
(Abad Pertengahan), Zaman Modern menekankan pada kebebasan, otonomi, dan
rasionalitas manusia yang khas sebagai individu. Penekanan pada kekhasan
manusia sebagai makhluk individual yang rasional dan otonom, inilah yang
disebut sebagai cara-pandang dunia modern yang Antroposentris. Segala
problematika hidup sehari-hari yang kita geluti saat ini, mulai dari problem
tatanan politik trias-politica sampai dengan telpon genggam yang kita pakai, memiliki
asal-usulnya di dalam antroposentrisme Zaman Modern dan memperoleh nafasnya
dari cita-cita kemajuan Modernisme.
Apa
yang pada mulanya adalah gagasan tentang kemajuan manusia yang rasional,
setelah menjelma menjadi realitas aktual yang massif-global, ternyata membawa
begitu banyak dampak yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Apa yang pada
mulanya merupakan kisah indah tentang rasionalitas, otonomi, dan kebebasan
manusia, ternyata justru berakhir dengan tragedi tentang irrasionalitas,
kedangkalan (banalitas) hidup, dan ketergantungan manusia pada teknologi.
Inilah yang oleh seorang tokoh Aliran (Mazhab) Frankfurt di tahun 1960an, yaitu
Max Horkheimer, disebut sebagai dilemma manusia rasional.
Artinya, manusia yang rasional itu dengan semakin berambisi mewujudkan
rasionalitasnya, alih-alih menjadi semakin rasional justru sebaliknya malah
menjadi semakin tidak-rasional (irrasional). Modernitas ternyata tidak membuat
manusia menjadi semakin bebas dan utuh, melainkan justru menjadikan manusia
semakin terserak-serak, tanpa-makna, dan begitu tergantung dengan teknologi.
Jauh
sebelum Mazhab Frankfurt lewat tokoh seperti Horkheimer, Adorno, dan Habermas,
merumuskan problem dunia modern, di awal abad ke-20 (sekitar tahun 1900-1920)
dua orang pemikir besar Jerman telah melihat potensi ‘bahaya’ yang terkandung
dalam cara-pandang dunia modern. Kandungan bahaya yang melekat di dalam
cara-pandang modern inilah yang membuat dua pemikir tersebut menggagas apa yang
disebut sebagai Fenomenologi. Fenomenologi, bagi kedua pemikir ini merupakan
sebuah terobosan (breakthough) untuk keluar dari keterbatasan jerat kungkungan
cara-pandang modern yang bahkan di saat itu telah berpengaruh dengan begitu
kuatnya dalam mentalitas manusia modern. Kedua pemikir besar sekaligus
fenomenolog itu tidak lain adalah Edmund Husserl (1850-1938) dan Martin
Heidegger (1889-1976). Melalui Edmund Husserl dan kemudian diteruskan oleh
Martin Heidegger, dapat dikatakan bahwa fenomenologi untuk pertama kalinya
tampil sebagai kritik
sistematis terhadap Modernisme dengan bertolak
dari dalam asumsi-asumsi dasar modernisme itu sendiri. Lewat Husserl dan
Heidegger fenomenologi berhasil menunjukkan jalan keluar serta membuka berbagai
ruang kemungkinan untuk bergerak melampaui kungkungan dunia modern.
Persoalan Dasar (Grundprobleme) dalam Fenomenologi
Husserl dan Heidegger
a. Persoalan Dasar dalam Fenomenologi Husserl
Pada
1900/01 di Jerman terbit suatu karya filsafat yang cukup tebal (2 jilid) yang
menyuntikkan semacam nafas baru bagi dunia filsafat dan kebudayaan ketika itu.
Karya itu adalah buku Edmund Husserl berjudul Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan
Logika). Sejak terbitnya karya itu, dunia filsafat tidak lagi dengan
sebelumnya. Bahkan di Jepang, karya itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa
Jepang di tahun 1920. Hampir seluruh pemikir besar di abad ke-20, khususnya
para pemikir Jerman dan Prancis, dari yang berposisi politik kiri/Marxis
(seperti Karl Löwith, Theodor Adorno, Jürgen Habermas, dan Jean-Paul Sartre)
ataupun berposisi politik kanan (seperti Carl Schmitt, Heidegger, dan Ernst
Jünger), maupun para pemikir besar kontemporer lainnya (Max Scheler, Karl
Jaspers, Hans Jonas, Jan Patôcka, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt,
Merleau-Ponty, Jacques Derrida), semuanya pernah membaca, mengritik, dan
mendalami fenomenologi Husserl.
Kekhasan
fenomenologi Husserl terletak dari ketajamannya dalam memperlihatkan dua hal
penting: 1) ketajaman Husserl dalam menunjukkan akar permasalahan yang terdapat
dalam dunia modern dan ia menembak persis pada asal-muasal munculnya persoalan
itu, yaitu: kesalahpahaman dalam memahami sifat dasar dunia dan sifat dasar
manusia; 2) ketajaman Husserl dalam memperlihatkan kemungkinan jalan keluar
dari segala permasalahan modern tersebut, yaitu melalui apa yang disebutnya
sebagai sikap
fenomenologis di hadapan realitas.
Dalam
buku Logische
Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan Logika)
dan Philsophie
als strenge Wissenschaft (Filsafat sebagai
ilmu yang ketat-rigorus),
Husserl memperlihatkan apakah
sebetulnya akar/pokok persoalan dari seluruh modernisme. Husserl melihat bahwa
Filsafat Modern terjebak ke dalam pembedaan kategoris yang salah-kaprah antara
Subjek dan Objek.
Di
satu sisi, bagi Husserl Filsafat Modern mengalami gerak subjektivisasi yang
kemudian kebablasan. Maksudnya, bagi Husserl Filsafat Modern merupakan sebuah
penggelembungan subjektivitas manusia yang kemudian dikemas dengan
konsep-konsep seperti ‘rasio’ dan ‘subjek’. Dalam pandangan Husserl, seluruh
gerak pemikiran modern sejak Descartes sampai dengan Hegel dan juga John Stuart
Mill tidak lain merupakan gerak psikologisasi (subjektivisasi) terhadap seluruh
realitas, dan kemudian mendudukkan manusia sebagai Subjek Rasional di atas
segala-galanya sebagai pusat seluruh realitas (pengetahuan). Pandangan Husserl
ini menjadi dasar baginya untuk menyebut Filsafat Modern sebagai Psikologisme.
Psikologisme menjadikan manusia yang sadar itu sebagai awal dari segala
sesuatu, dan kemudian seluruh realitas itu pada akhirnya akan kembali kepada
kesadaran manusia sendiri. Inilah semangat optimisme modern yang bermaksud
menegakkan kedudukan manusia sebagai manusia, namun terjebak ke dalam
pemutlakkan atas manusia dan rasionya.
Di
sisi lain, Modernisme melepaskan alam dari daya magis-religius-spiritualnya,
dan kemudian melihat alam semata-mata sebagai Objek yang dapat dikuasai serta
ditundukkan oleh nalar (rasio) manusia. Pandangan Modern yang melihat alam
semata-mata sebagai objek, dan objek itu bekerja/bergerak menurut hukum-hukum
sebab-akibat yang dapat dikuasai rasio manusia, inilah yang disebut Husserl
sebagai Naturalisme. Kecenderungan inilah yang disebut Husserl sebagai gerak
objektivisasi (naturalisasi) yang kebablasan dalam Modernisme. Seluruh ilmu
pengetahuan dan teknologi modern sebenarnya digerakkan oleh prinsip
objektivisasi yang sama. Setiap hal di seluruh ala mini, mulai dari yang paling
kecil sampai yang paling besar, dari yang paling privat sampai yang paling
publik, semuanya bekerja menurut prinsip sebab-akibat yang dapat dikuasai
sepenuhnya oleh nalar manusia, dan dipergunakan demi kepentingan-diri manusia
itu sendiri. Pengandaian dasar inilah yang kemudian memunculkan percabangan dan
spesialisasi ilmu-ilmu ke dalam berbagai ruang lingkupnya yang sangat spesifik,
seperti: ekonomi makro, psikologi, keuangan (akuntansi), manajemen, teknik, dan
sebagainya.
Bagi
Husserl, tidak ada yang keliru dengan semua ilmu-ilmu tersebut, kecuali jika
ilmu-ilmu itu memutlakkan cara kerjanya yang khusus (partikular) menjadi suatu
metode yang dianggap berlaku umum (general) dan seolah-olah dapat dipakai
kepada bidang lain di luar bidangnya sendiri. Menurut Husserl, pemutlakan
modernism atas metodenya sendiri inilah yang disebut sebagai “kesalahpahaman
kategoris” (Kategorienmissdeutung) dalam membedakan antara: 1) yang partikular dengan yang
universal, 2) yang faktual dengan yang ideal, 3) pengada-pengada yang sifatnya
berubah-ubah/tidak tetap dengan Ada yang sifatnya mendasar / fundamental.
Lewat
cara baca Husserl atas seluruh gerak pemikiran modern, maka kita dapat melihat
di mana persisnya letak persoalan dasar dalam Modernisme. Modernisme bertolak
dari pembedaan tegas-keras antara Subjek dan Objek. Pembedaan tegas-keras ini
dilakukan pada mulanya untuk memperlihatkan kekhasan dan prioritas atas dimensi
Subjektif-individual-personal manusia. Namun, bertolak dari pembedaan ini,
Modernisme justru terjebak dalam kecenderungan untuk memutlakkan salah satu
kutub saja dari dua kutub Subjek-Objek itu. Entah kemudian terjadi pemutlakkan
atas dimensi subjektif manusia (yang membawa pada Subjektivisme/Psikologisme),
atau terjadi pemutlakkan atas dimensi objektif alam/dunia (yang membawa pada
Materialisme/Naturalisme).
Kecenderungan
absolutisasi dan relativisasi inilah yang oleh Husserl di dalam karyanya yang
lain (karya akhirnya) yaitu buku Krisis der europäishen Wissenschaften und die phänomenologie
Transendentale (1936) disebut sebagai Krisis orientasi (ketidakmampuan) dalam ilmu-ilmu
dan dunia modern tidak hanya untuk menentukan arah-tujuannya ke depan (telos-nya),
tetapi juga krisis orientasi (ketidakmampuan) dalam menetapkan dasar legitimasi
yang mendasar (fundamental) bagi ilmu-ilmu dan seluruh dunia modern itu sendiri. Krisis
orientasi inilah yang juga menyebabkan mengapa proyek modernitas seluruhnya
berubah menjadi suatu bangunan realitas yang tanpa-dasar (Grundloss) dan
tanpa-makna (Sinnloss). Bagi Husserl, ke-tanpadasar-an (Grundlossigkeit)
dan ketidakbermaknaan (Sinnlossigkeit) modernitas inilah yang juga telah
merasuk meresap ke dalam diri serta mentalitas manusia modern sedemikian rupa
sehingga bahkan banyak dari manusia modern yang bahkan tercerabut terasing dari
dirinya sendiri.
Mengikuti
pandangan Husserl, kita dapat mengatakan bahwa krisis orientasi inilah yang
menyebabkan mengapa kita selalu melihat adanya fenomena ‘kebablasan’ dalam
seluruh proyek modernitas, entah itu dalam hal ilmu pengetahuan, teknologi (lewat
teknologisasi ke dalam semua bidang kehidupan), ekonomi (dengan globalisasi dan
liberalisasi tanpa batas), ataupun dalam hal politik (lewat demokratisasi yang
tanpa reserve) dan kebudayaan (lewat masifikasi budaya yang menghilangkan
keberakaran masing-masing kebudayaan).
b. Persoalan Dasar dalam Fenomenologi Heidegger
Ketajaman
dan keampuhan fenomenologi Husserl dalam menunjuk dan memperlihatkan dasar
persoalan modernitas inilah yang menjadi salah satu daya tarik terkuat
fenomenologi bagi para pemikir, ahli politik, kaum religius, maupun para
budayawan di seluruh kawasan Eropa, Amerika, dan Asia. Di masa awal
kemunculannya, pemikiran fenomenologis Husserl ini ternyata telah menarik minat
seorang pemuda-pemikir yang ketika itu, pada 1911, masih terdaftar sebagai
mahasiswa filsafat di Universitas Freiburg. Pemuda-mahasiswa itu kurang dari
limabelas tahun kemudian akan menegaskan diri sebagai salah satu pemikir-filsuf
paling mendalam, paling sering dibahas, sekaligus juga paling kontroversial
dalam Sejarah Filsafat. Pemuda itu tidak lain adalah Martin Heidegger.
Keterpesonaan
Heidegger pada fenomenologi Husserl menyebabkan karya Husserl
“Penyelidikan-penyelidikan Logika” (Logische Untersuchungen)
yang dipinjam dari perpustakaan Universitas Freiburg selama dua tahun lebih
tersimpan erat di meja studi Heidegger, dan menjadi monopoli, hanya dibaca,
oleh Heidegger sendiri. Bagi Heidegger, karya Husserl ini telah berhasil
meretas kebuntuan metodologis dalam cara pandang dunia modern yang terlalu
subjektif-rasionalistik.
Kita
telah melihat bahwa bagi Husserl, seluruh dasar persoalan Modernisme terletak
pada kesalahpahaman/kekeliruan dalam melihat hubungan antara manusia (sebagai
Subjek) dengan dunia (sebagai Objek). Kesalahpahaman ini bertolak dari
salah-kaprah mendasar dalam memahami sifat dasar manusia dan juga sifat dasar
manusia. Singkatnya, bagi Husserl problem dunia modern terletak pada persoalan
seputar cara
bagaimana manusia dan dunia itu dilihat serta
dipahami. Persoalan tentang cara
bagaimana sesuatu itu dipahami, dalam bidang
filsafat, termasuk ke dalam problem epistemologi
(pembahasan sistematis tentang struktur dan hakikat pengetahuan). Epistemologi
berkaitan erat dengan metodologi, sebab dalam epistemologi kebenaran dari
pengetahuan berkaitan erat dengan cara bagaimana kita
memahami realitas. Oleh sebab itu, dengan menekankan pada cara bagaimana sifat dasar manusia dan dunia dapat dipahami,
Husserl mengarahkan fenomenologi kepada bidang epistemologi.
Martin
Heidegger, dengan mengikuti prinsip-prinsip dasar Husserl, akan meradikalkan
persoalan fenomenologi kepada problem ontologi. Ontologi berkenaan dengan
persoalan seputar dasar paling mendasar dan menyeluruh dari segala yang ada
(dalam bahasa Yunani, to
on berarti ‘yang ada’). Maka ontologi
berkaitan erat dengan persoalan seputar struktur paling mendasar (fundamental)
dari realitas sebagai suatu totalitas/keseluruhan dari segala yang ada. Martin
Heidegger akan melihat bahwa bukan hanya Modernisme (sebagaimana dipahami
Husserl) yang sebenarnya bermasalah, melainkan lebih dari itu seluruh sejarah
filsafat sendiri sejak Sokrates dan Platon sampai dengan Hegel memuat
kesalahpahaman mendasar tentang kesejatian dari realitas. Kesalahpahaman
mendasar sepanjang sejarah filsafat dalam melihat kesejatian dari realitas
inilah yang kemudian menyebabkan manusia modern tidak lagi dapat melihat
realitas yang sesungguhnya. Modernisme, bagi Heidegger menyamaratakan begitu
saja secara banal (dangkal) antara: 1) realitas sebagaimana yang dipikirkan dengan realitas sebagaimana adanya, 2) Apa yang bersifat
boleh-jadi/berubah-ubah/kontingen (dalam bahasa Heidegger disebut “pengada”/ seienden / beings) dengan
apa yang paling mendasar atau
fundamental (dalam bahasa Heidegger disebut sebagai Ada / Sein / Being).
Perbedaan
derajat kualitas yang terdapat di dalam struktur dasar keseluruhan realitas
antara apa yang paling mendasar dan apa yang sekadar merupakan konstruksi
sementara pemahaman manusia, inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai
Perbedaan Ontologis (ontologische
Differenz). Bagi Heidegger, seluruh pemahaman
dan pengetahuan kita tentang dunia mengandaikan bahwa realitas itu sendiri
memiliki suatu Dasar (Grund) yang fundamental dan menyeluruh, yang melaluinya pemahaman
kita terbentuk. Dasar paling menyeluruh dan paling mendasar dari realitas
sebagai suatu keseluruhan inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai Ada atau Being/Sein. Bagi Heidegger, manusia selalu hanya menangkap atau
mengetahui satu aspek saja dari keseluruhan realitas itu, dan tidak pernah bisa
mengetahui seluruhnya secara total. Satu aspek tertentu/terbatas yang selalu
kita tangkap dalam persepsi dan pengetahuan kita itulah yang disebut sebagai pengada-pengada atau beings
/ seienden. Maka bagi Heidegger, realitas
dalam dirinya sendiri selalu memuat Perbedaan Ontologis (ontologische Differenz) antara Ada
(Being/Sein)
dengan pengada-pengada
(beings/seienden).
Inilah sifat dasar realitas/dunia yang selalu kita hidupi dan geluti.
Persoalannya
bagi Heidegger, filsafat dan juga ilmu-ilmu pengetahuan, selalu mengandaikan
bahwa pikiran kita, nalar kita, kehendak kita, kesadaran kita, semuanya
seolah-olah bersifat menyeluruh dan cukup-diri (self-sufficient). Maka manusia (khususnya manusia modern) selalu
mengandaikan bahwa pikiran dan kesadaran kita bisa menguasai atau mencaplok
seluruh realitas dengan sepenuh-penuhnya. Padahal, pikiran dan nalar manusia
sendiri hanya merupakan satu bagian kecil dari keseluruhan realitas yang tidak
terbatas itu. Persis di sinilah Heidegger akan menghantam telak Modernisme dan
seluruh sejarah pemikiran-peradaban Barat.
Heidegger
melihat bahwa pemikiran-peradaban Barat sejak Zaman Antik-Klasik memiliki
kecenderungan untuk menjadikan nalar (rasio) yang sifatnya terbatas dan
subjektif itu sebagai titik pusat (titik Archimedes) dalam memahami seluruh
realitas. Dengan menganggap nalar atau ratio sebagai sesuatu
yang cukup-diri dan sempurna, manusia telah memutlakkan apa yang terbatas dan
sementara menjadi sesuatu yang tidak-terbatas dan abadi. Maka kecenderungan di
Zaman Modern untuk menjatuhkan seluruh realitas semata-mata ke dalam kesadaran
subjektif manusia sebenarnya tidaklah mengherankan. Sebab, sejak awal
peradaban-pemikiran Barat manusia telah selalu cenderung menyempitkan seluruh
realitas semata-mata ke dalam kesadarannya sendiri saja. Akibatnya, manusia
modern tidak lagi dapat membedakan antara: 1) cara-pandang dunia yang
terbatas-tertentu dengan
dunia itu sendiri yang tidak
terbatas, 2) metode dalam memahami realitas dengan realitas yang
sesungguhnya itu sendiri, 3) pikiran/anggapan kita tentang apa yang ada dengan apa yang ada itu sendiri, 4) pengada-pengada yang bersifat
mentak dengan
Ada itu sendiri yang bersifat
mendasar.
Ketidakmampuan
untuk membedakan antara pengada-pengada dengan Ada itu sendiri, inilah yang
oleh Heidegger disebut sebagai pelupaan akan Ada (Seinsvergesenheit). Maka, mengikuti cara pandang Heidegger, manusia modern
termasuk juga diri kita yang hanyut dalam kesementaraan gemerlap dunia modern,
sebenarnya telah selalu melupakan perbedaan antara apa yang hanya sekadar sementara
sia-sia dengan apa yang sejati dan sesungguhnya ada. Singkatnya, manusia selalu mengabadikan apa yang sifatnya
sementara dan sia-sia, tetapi justru melupakan apa yang sesungguhnya-sejatinya
mendasar dan abadi. Bagi Heidegger, di atas pelupaan inilah
kita manusia dengan bangga dan yakin membangun kemanusiaan kita.
Melalui
kekuatan kritik dan hantamannya terhadap Modernisme dan seluruh Filsafat Barat,
juga melalui penekanannya pada dimensi ‘perbedaan’ (Difference) dalam konsep Perbedaan Ontologis (Ontological Difference), Heidegger telah memberikan roh baru serta membukakan
jalan bagi munculnya gerakan pemikiran baru yang saat ini sedang
hangat-hangatnya dan disebut sebagai Posmodernisme (postmodernism).
Fenomenologi sebagai suatu Cara Melihat dan Sikap Hidup
Setelah
cukup panjang melihat persoalan dasar yang dihadapi oleh (dan menjadi titik
tolak) fenomenologi Husserl dan Heidegger, kita dapat bertanya lalu apakah
fenomenologi itu sendiri?
Di
bagian ‘Pengantar’ karyanya Logische
Untersuchungen, Husserl sendiri menyebut
fenomenologi sebagai suatu kajian deskriptif atas
apa yang tampak dan memberikan dirinya (Erscheinungen und die Selbst-gegebenheit) sebagai sesuatu itu sendiri, dengan maksud untuk
menyingkapkan struktur-strukturnya yang paling mendasar. Dengan memberikan
penekanan pada konsep ‘deskriptif’, ‘yang tampak’, dan ‘memberikan-dirinya’,
fenomenologi seperti kata Husserl sendiri menekankan pada dimensi yang paling
mendalam dari melihat
(Schau).
‘Melihat’
dalam fenomenologi Husserl maupun Heidegger memiliki artinya yang mendalam.
‘Melihat’ bagi Husserl pertama-tama (1) memiliki arti pasif, artinya dengan ‘melihat’ seseorang menunda atau
menangguhkan segala pra-sangka, pra-anggapan, pra-konsepsi, dan muatan
nilai-nilai yang telah tersimpan di dalam benak serta kesadarannya. Sebab,
dengan menunda-menangguhkan segala pra-konsepsi kita tentang sesuatu berarti
kita membiarkan sesuatu (realitas) itu sendiri
memberikan-diri/menyingkapkan-dirinya bagi kita. Dalam istilah Husserl, sikap
pasif seperti ini disebut juga sebagai Epoche atau dalam istilah
Jermannya disebut Einklammerung
(menempatkan sesuatu di dalam
kurung). Sikap ini penting sebab memuat asumsi dasar bahwa kesadaran
kita telah selalu terarah (dengan sendirinya) kepada sesuatu (consciousness of something). Inilah yang disebut Husserl sebagai Intensionalitas kesadaran atau sifat dasar kesadaran manusia yang telah selalu
terarah pada sesuatu yang lain selain dirinya.
Maka,
bagi Husserl, kesadaran kita sebenarnya selalu terbatas (bersifat perspektif / perspectival), sebab realitas selalu hadir bagiku hanya dalam
sisinya/dimensinya yang tertentu saja. Realitas atau sesuatu itu selalu lebih
luas dan lebih tidak terbatas dari kesadaranku sendiri. Kesadaran manusia
merupakan kesadaran akan sesuatu yang selalu lebih dari sesuatu itu sendiri (consciousness of something mora /
plus ultra). Tetapi kesadaran kita juga
cenderung mau memutlakkan sesuatu/realitas itu semata-mata pada apa yang dapat
diketahui oleh nalar saja. Oleh sebab itulah, bagi Husserl, perlu suatu sikap
pasif (Epoche) yang menangguhkan terlebih dulu kesadaran nalar kita di
hadapan sebuah fakta, sesuatu, atau realitas itu sendiri. Maka ‘melihat’ dalam
pengertian Husserl pertama-tama mengandaikan pasivitas kesadaran.
Tetapi
‘melihat’ juga tidak semata-mata pasif, sebab kesadaran yang terarah pada
sesuatu itu juga mengandaikan bahwa kesadaran dapat menyingkapkan (Erschlossen) struktur-struktur realitas yang paling mendasar. Kesadaran
yang menyingkapkan struktur dasar dari sesuatu dan masuk ke dalam lapisan
realitas yang paling mendalam, inilah yang disebut sikap aktif kesadaran atau aktivitas kesadaran.
Dalam aktivitasnya ini, penglihatan kita menerobos masuk ke dalam lapisan
paling dasar dari sesuatu (Wesen), lapisan paling dasar dari sesuatu yang hanya karenanya
sesuatu itu disebut sebagai sesuatu. Cara ‘melihat’ seperti inilah yang disebut sebagai
penglihatan yang bersifat langsung-mendasar-intuitif (Wesen-anschauung).
Maka
dalam fenomenologi Husserl, ‘melihat’ selalu secara bersamaan mengandaikan artinya
yang pasif maupun aktif. ‘Melihat’ dalam fenomenologi Husserl berkaitan erat dengan
sifat intensional kesadaran manusia yang selalu sudah terarah pada sesuatu yang
lain selain dirinya. ‘Melihat’ dalam fenomenologi Husserl berarti membiarkan (lassen) sesuatu memberikan-dirinya melalui caranya yang tertentu (manner of givenness). Sebab, dunia-kehidupan (Life-world / Lebenswelt)
selalu dialami dan dihayati secara berbeda-beda oleh setiap orang sesuai dengan
situasi, posisi, cara-berada, pola pikir, dan horizon waktu (temporalitas) dari
setiap orang yang juga berbeda-beda. Situasi, posisi, cara berada, pola pikir,
dan horizon waktu yang berbeda-beda inilah yang membedakan cara bagaimana realitas itu hadir memberikan-diri (self-given / Selbst-gegeben) bagi setiap orang.
Dalam
istilah Husserl sendiri, dunia-kehidupan (Lebenswelt) itu
kita alami begitu saja mendahului segala konsepsi, rasionalisasi, refleksi kita
atasnya. Ini membuktikan satu hal penting, yaitu: manusia telah selalu terlibat atau melibati-diri
di dalam dunianya yang tertentu,
suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar. Maka nalar atau kesadaran manusia
tidak pernah sungguh-sungguh mutlak dan dapat berkuasa atas segalanya.
Kesadaran atau kehidupan manusia telah selalu mengandaikan saling-keterkaitan antara berbagai
hal yang membentuk horizon pemahaman manusia (Zusammenhang der Verhaltnis). Horizon yang tidak terbatas yang selalu berada di
belakang setiap penglihatan/pemahaman manusia inilah yang oleh Husserl disebut
sebagai Pra-refleksivitas.
Maka,
bagi Husserl, dengan memperlihatkan dimensi pra-reflektif hidup manusia ini, ia
mau memperlihatkan bahwa kekhasan manusia terletak bukan pada kemampuan (daya)
nalar-rasionalnya belaka, melainkan juga pada kemampuan (daya) manusia untuk
menegaskan-diri dan memaknai hidupnya di hadapan hamparan realitas yang tidak
terbatas itu. Saat atau momen di mana manusia menegaskan-diri itulah yang
disebut dengan Refleksi. Dalam refleksi manusia memaknai rentang hidup dan
rentang waktunya yang tertentu, meskipun ia sadar bahwa momen penegasan-diri
dan momen pemaknaan-diri itu bersifat sementara saja. Ia sadar bahwa di hadapan
arus waktu dan gempuran realitas yang menerpa kesadarannya itu (Erlebnisstrom) ia tidak lebih dari sebuah titik yang terbatas di
tengah-tengah samudra waktu yang tidak terbatas. Dalam fenomenologi, refleksi
selalu telah mengandaikan pra-refleksivitas. Demikian juga pra-refleksivitas
selalu telah mengandaikan kemampuan refleksi yang tertentu.
Dengan
demikian, dalam fenomenologi Husserl, persoalannya tidak terletak pada
bagaimana manusia dapat mengetahui dan mencari sebab-akibat dari realitas.
Fenomenologi Husserl lebih menekankan pada kemampuan manusia untuk memaknai
hidupnya dengan bersikap ‘tepat’ di hadapan realitas. Dengan memaknai manusia
memberikan dasar bagi seluruh cara beradanya, sesuai dengan cara bagaimana
realitas dan kehidupan itu sendiri memberikan diri bagi si manusia yang bersangkutan. Maka manusia dalam fenomenologi
Husserl adalah: 1) manusia yang menyadari bahwa ia sendiri bersifat terbatas
namun terarah pada suatu cakrawala ketidakterbatasan, 2) manusia yang menyadari
bahwa ia selalu mengalir di dalam arus waktu dan peristiwa (Erlebnisstrom) namun juga telah selalu dituntut untuk memutuskan dan
menegaskan-diri, 3) manusia yang menyadari bahwa penegasan-diri/keputusan dan
pemaknaan merupakan titik pusat yang menentukan kualitas dirinya sebagai
manusia.
Pengandaian
yang kurang lebih sama juga sebenarnya termuat di dalam fenomenologi Heidegger.
‘Melihat’ dalam pengertian Heidegger berarti juga membiarkan Ada (realitas) itu
sendiri menyingkapkan-dirinya. Hanya apa yang pada Husserl semata-mata dipahami
sebagai momen pemaknaan, pada Heidegger lebih diartikan dengan lebih eksplisit
sebagai penafsiran
(Auslegung).
Bagi Heidegger, manusia di hadapan dunia telah selalu menafsirkan dunianya
sebagai sesuatu, dan inilah cara berada manusia yang paling mendasar. Dengan
menfsirkan ia menegaskan diri, dunia, dan cara beradanya yang tertentu. Sebab,
manusia telah selalu berada-di-dalam-dunia (Being-in-the world / In-der-Welt-sein) yang tertentu, dan hanya manusia juga yang dapat
menamai/memaknai/menafsirkan dunia sebagai ‘dunia’.
Bagi
Heidegger,manusia adalah sesuatu yang tergeletak-di-sana (Da-sein). Manusia selalu sudah menemukan dirinya menjadi satu
dengan dunia, dan terlibat di dalam dunia yang hadir bagi dirinya untuk
dimanfaatkan/dilibati (Zuhandenes). Inilah yang olehnya disebut sebagai Faktisitas manusia. Faktisitas manusia menunjukkan dua hal penting: 1)
manusia telah selalu mengandaikan keberakarakan (Bodenstandigkeit) pada darah (Blut) dan tanah (Böden) yang tertentu, 2) manusia telah selalu terarah kepada masa
depan yang paling niscaya bagi dirinya, yaitu kematiannya (Sein zum Tode).
Dua
dimensi penting inilah yang telah selalu dilupakan oleh modernitas dengan
segala kebaruan, gemerlap, dan kecanggihan yang ditawarkannya. Bagi Heidegger,
dua dimensi mendasar manusia ini sangatlah penting, sebab memperlihatkan fakta
bahwa manusia selalu bertolak dari suatu ketersituasian/keterbatasan yang tertentu
(Befindlichkeit), dan terarah kepada cakrawala kemungkinan di depannya yang
tidak terbatas (Möglichkeit).
Bagi
Heidegger, modernitas lewat teknologinya telah membuat manusia terlupa akan
keterbatasan sekaligus ketidakterbatasannya ini. Modernitas membatasi cara
pandang manusia sedemikian rupa, sehingga ia tidak lagi menyadari
keberakarannya dan keterarahannya pada ketidakterbatasan makna. Manusia modern,
bagi Heidegger, adalah manusia yang tercerabut dari akarnya, sekaligus juga
buta akan arah langkahnya ke depan.
Penutup
Dari
sedikit uraian terbatas tentang Husserl dan Heidegger di atas, maka kita dapat
melihat bahwa fenomenologi menekankan pentingnya relasi di antara keterbatasan dan ketidakterbatasan, relasi di
antara keterserakan-diri dan penegasan-diri, relasi di antara pra-refleksivitas
dan refleksivitas, relasi di antara keterbukaan dan keberakaran, relasi di
antara pergulatan-diri dan pemaknaan-diri. Singkatnya, bagi fenomenologi, apa
yang penting tidaklah terletak entah pada diri manusia itu sendiri, ataupun
pada dunia itu sendiri. Bagi fenomenologi yang lebih penting adalah relasi kemungkinan dan pemaknaan di antara manusia dengan dunia.
Dengan
menekankan pada dimensi relasional tersebut, fenomenologi lebih menekankan
sikap (attitude/Einstellung) dan bentuk penghayatan/pemaknaan kita di hadapan realitas.
Sebab, sikap atau kemampuan pemaknaan yang tertentu di hadapan realitas itulah
yang menentukan kualitas diri kita masing-masing sebagai manusia.
Sebagai
catatan akhir, perlu disebutkan bahwa dengan menekankan pada sikap dan pola
penghayatan di depan realitas, fenomenologi dapat
dikatakan telah mengarahkan
kembali problem filsafat dari sekadar
persoalan mengenai metode pengetahuan yang bersifat khusus, teknis, dan
spesialistik (seperti terjadi dalam Filsafat Modern/Modernisme) kepada persoalan
mengenai cara berada dan sikap hidup (way-of-Life)
seperti yang dipahami dalam Filsafat Antik-Klasik mulai dari Phytagoras,
Platon, Aristoteles, hingga ke Stoisisme. ***
[i]
Ito adalah Sarjana Filsafat lulusan Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta. Ia menulis skripsi mengenai persoalan-persoalan pokok
fenomenologi Husserl di tahap awalnya dengan judul Logika dalam Fenomenologi
Husserl (2009), di bawah bimbingan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ. Ia
mempertahankan skripsi tersebut dengan hasil ‘Sempurna’ di hadapan
pembimbingnya dan Prof. Dr. Alex Lanur, OFM. Ia telah mempublikasikan berbagai
hasil penelitiannya antara lain di Jurnal Filsafat Driyarkara dan Majalah
Kebudayaan BASIS. Tulisan terakhirnya dimuat dalam buku kumpulan tulisan
mengenai filsuf Prancis Jean-Paul Sartre, dengan judul “Diri dan Ketiadaan
dalam Filsafat Sartre” (Lihat A Setyo Wibowo (ed.), Filsafat Eksistensialisme
Jean-Paul Sartre, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011). Saat ini selain
mengajar mata kuliah Sejarah Filsafat di Sekolah Tinggi Teologi Apostolos, ia
juga sedang menyelesaikan Tesis Magisternya dengan tema seputar fenomenologi
dan problem transendensi. Pada Semester Genap 2011-212 ia, bersama dengan Dr.
A. Setyo Wibowo, ditugaskan untuk memberikan kuliah mengenai “Stoisisme dan
Problem Askese” di almamaternya STF Driyarkara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar