LAHIRNYA PANCASILA
Pidato
Bung Karno Tanggal 1 Juni 1945
di
Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
di Jakarta
Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!
Sesudah
tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai[1] mengeluarkan
pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan
Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi
permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua
yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah
nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Maaf,
beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu
diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang
mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya,
yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah—dalam bahasa Belanda—”Philosofische
grondslag” [2]
dari Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen,
filsafat, pikiran-yang-sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat-yang-sedalam-dalamnya
untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal
ini nanti akan saya kemukakan, Paduka Tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih
dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada Tuan-tuan sekalian,
apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
“Merdeka”
buat saya ialah political independence, politieke onafhankelijkheid. [3]
Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan
sekalian! Dengan terus terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir,
kalau-kalau banyak anggota yang —saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan
perkataan ini—”zwaarwichtig”
[4]
akan perkara yang kecil-kecil. Zwaarwichtig sampai—kata orang Jawa—jelimet[5].
Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka
berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan
yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan
dunia itu.
Banyak
sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan
negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya
negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, audi Arabia merdeka, Iran
merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris Merdeka,
Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah
isinya!
Alangkah
berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Ne-gara merdeka, maka harus
lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai jelimet!, maka saya
bertanya kepada Tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80%
dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti akan
hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang
menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud
mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum
mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud
dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi
Arabia merdeka!
Lihatlah
pula—jikalau Tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat—Sovyet Rusia! Pada
masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus
lima puluh milyun rakyat Rusia. adalah rakyat Musyik[6] yang lebih dari 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan
dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, Tuan-tuan
mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan
negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia
Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf,
Paduka Tuan Zimukyokutyoo[7]!
Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca Tuan punya urat, yang minta kepada kita supaya
dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua
hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan
mengalami
Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan
mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia
Merdeka,—sampai di lubang kubur!
(Tepuk tangan
riuh).
Saudara-saudara!
Apakah yang dinamakan merdeka? Didalam tahun 1933 saya telah menulis satu
risalah. Risalah yang bernama Mencapai Indonesia Merdeka. Maka di dalam risalah
tahun 1933 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke
onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu
jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya
jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn
Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam—in one night only!—kata
Amstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu
malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu
diletakkan oleh Ibn Saud, maka di seberang jembatan—artinya kemudian dari pada
itu—Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak
dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan
sebagai nomade[8],
yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan,
dikasih tempat untuk bercocok tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum
tani,—semuanya di seberang jembatan.
Adakah
Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka, telah mempunyai
Dneprprostoff, dam yang mahabesar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai
radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta
api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia
pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat membaca dan
menulis? Tidak, Tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang
diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru
mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche[9],
baru mengadakan Dneprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada Tuan-tuan
sekalian, janganlah Tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa
ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai,
baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya Tuan-tuan punya semangat—jikalau
Tuan-tuan demikian—dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara,
kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi
zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang
saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan
Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai
semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia
Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan
riuh).
Dan
sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka,—kok
lantas kita zwaarwichtig dan gentar- hati! Saudara-saudara, saya peringatkan
sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke
onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan
gentar!
Jikalau
umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon[10]
untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan[11]
diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo[12]
diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo[13]
diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah
mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid—in one night, di
dalam satu malam!
Saudara-saudara,
pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang!
Jikalaun umpamanya Balatentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara
kepada Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara akan menolak, serta berkata:
“mangke rumiyin”—tunggu dulu—minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani
menerima urusan Negara Indonesia Merdeka?
(Seruan: Tidak!
Tidak!)
Saudara-saudara,
kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan
urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak,
sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan Negara
Indo-nesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan
menggemparkan.)
Saudara-saudara,
tadi saya berkata, ada perbedaan antara Sovyet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris,
Amerika dll. Tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi
Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup
mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya.
Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi
minimum-eis.[14] Artinya, kalau ada
kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah
sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan daging-nya
sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa
kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, Saudara-saudara, semua siap
sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa
Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka.
(Tepuk tangan
riuh)
Cobalah
pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun
demikian, Saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan
perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin.
Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih 500 gulden.
Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu
listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentulmentul,[15] sudah mempunyai meja-kursi yang
selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu kaset, sudah
mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet,[16] barulah saya berani kawin.
Ada
orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai
meja satu, kursi empat—yaitu “meja makan”— lantas satu zitje,[17] lantas satu tempat tidur.
Ada
orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu Saudarasaudaran Marhaen! Kalau dia
sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin.
Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk[18] dengan satu meja, empat kursi, satu zitje,
satu tempat tidur: kawin.
Sang
Ndoro[19] yang mempunyai rumah
gedung, electrischekookplaat,[20]
tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih
gelukkig,[21] belum tentu mana yang
lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau
Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk,
Saudara-saudara!
(Tepuk tangan,
dan tertawa)
Tekad
hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu
periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai
gerozilver[22] satu kaset plus
kinderuitzet,— buat 3 tahun lamanya!
(Tertawa).
Saudara-saudara,
soalnya adalah demikian: —kita ini berani merdeka atau tidak?—Inilah,
Saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang
terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai
dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo
beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau
mengatakan: Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah
kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini
lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai
political independence—saya ulangi lagi—sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia
Merdeka!
(Tepuk tangan
riuh)
Di
dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam
Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hati-nya bangsa kita! Di dalam Saudi
Arabia Merdeka, Ibn Saud memer-dekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam
Sovyet- Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu per
satu.
Saudara-saudara!
Sebagai juga salah seorang pembicara berkata, kita bangsa Indonesia tidak sehat
badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongerudeem,[23] banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu
bangsa kita, baru kemudian merdeka”.
Saya
berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka.
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun
misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita
untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam
Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam
Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya
dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan—jembatan emas—inilah baru
kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat,
kekal dan abadi.
Tuan-tuan
sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang mahapenting. Tidakkah kita
mengetahui, sebagaimana telah diutara-kan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa
sebenarnya internationaal recht—hukum internasional— menggampangkan pekerjaan
kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak
diadakan syarat yang neko-neko,[24]
yang men-jelimet. Tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh!
Ini sudah cukup untuk international recht. Cukup, Saudara-saudara. Asal ada
buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu
negara lain yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak perduli
rakyat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakyat hebat ekonominya atau tidak,
tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional
mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya
dan ada pemerintahannya — sudahlah ia merdeka.
Janganlah
kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang
bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa
tidak?
(Jawab hadirin:
Mau!)
Saudara-saudara!
Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang
hal dasar.
Paduka
Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Pa-duka Tuan Ketua kehendaki!
Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische grondslag, atau— jikalau
boleh memakai perkataan yang muluk-muluk—Paduka
Tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung”,[25] di atas mana kita mendirikan negara
Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri
yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di
atas suatu Weltanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas
national-sozialistische Weltanschauung—filsafat nasionalsosialisme telah
menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin
mendirikan negara Sovyet di atas satu Weltanschauung, yaitu Marxistische,
Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon
di atas satu Weltanschauung, yaitu yang dinamakan Tennoo Koodoo Seishin. Di
atas Tennoo Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia,
Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu Weltanschauung— bahkan di atas
satu dasar agama—yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Tuan
Ketua yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan
Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita
bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia
Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk
mengadakan bermacam-macam Weltanschauung, bekerja mati-matian untuk
me-realiteit-kan Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya
tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata,
bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja,
menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed,
“Sovyet-Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.”— Reed
di dalam kitabnya Ten days that shook the world, Sepuluh hari yang
menggoncangkan dunia—walaupun Lenin mendirikan SovyetRusia di dalam 10 hari,
tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu
telah tersedia Weltanschauungnya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekadar
direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas Weltanschauung yang
sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi
1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di-generale-repetitie-kan.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa
yang dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie dari revolusi tahun 1917.
Sudah lama sebelum 1917, Weltanschauung itu disediasediakan, bahkan
diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian—hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John
Reed—hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan,
ditaruhkan kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun
umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di
dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, men-dirikan negara
Jermania di atas National-sozialistische Weltan-schauung.
Tetapi
kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya Weltanschauung itu? Bukan di dalam
tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian
mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini—Weltanschauung ini—dapat menjelma
dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang
saatnya beliau dapat merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di
atas dasar Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka
demikian pula. jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka
Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita, untuk mendirikan
negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah
historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh Doktor
Sun Yan Sen?
Di
dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi
Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885—kalau saya tidak salah—dipikirkan,
dirancangkan. Di dalam buku The three people’s principles, San Min Chu I—Mintsu,
Minchuan, Min Sheng: nasionalisme, demokrasi, sosialisme—telah digambarkan oleh
Dr. Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau
mendirikan negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah
disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita
hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas Welt-anschauung apa?
Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung
apakah?
Saudara-saudara
sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah
dikemukakan—macam-macam— tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman,
perkataan Ki Bagoes Hadi-koesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan,
mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosofische
grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kitasemua setuju. Saya katakan lagi
setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar
setujui, yang Sdr. Sanoesi setujui, yang Sdr. Abikoesno setujui, yang Sdr. Liem
Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.[26] Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi
kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan
Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan
negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya
hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu
golongan yang kaya, untuk memberi
kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah
maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudarasaudara yang bernama kaum
Kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam,
semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya
tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu
orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang
kaya—tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan
saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan
saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini,
akan tetapi sejak tahun 1918 —25 tahun lebih—ialah: Dasar pertama, yang baik
dijadikan dasar buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Kita mendirikan satu Negara
Kebangsaan Indonesia. Saya minta, Saudara Ki Bagoes
Hadikoesoemo dan Saudarasaudara Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan
“kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada
Saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan
bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti
satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale
staat,[27] seperti yang saya katakan
dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat
Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes
Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak
Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek Tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk
Tuan, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan
Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo
itulah, kita dasarkan Negara Indonesia.
Satu
Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam
rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah
saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan
bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut
Renan[28], syarat bangsa ialah
“kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau
bersatu.
Ernest
Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu.
Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan
manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau
kita lihat definisi orang lain—yaitu definisi Otto Bauer[29]— di dalam bukunya, Die
Nationalitatenfrage, di situ ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan dijawabnya
ialah: “Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft” (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul
karena persatuan nasib). Inilah menurut Otto Bauer satu natie.
Tetapi
kemarin pun, tatkala—kalau tidak salah—Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan,
maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: “Verouderd!”—”sudah tua”. Memang
Tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah verouderd, sudah tua. Definisi
Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya
itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul
satu wetenschap baru—satu ilmu baru— yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin—kalau
tidak salah—Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan
tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat,
Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang
dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang
ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekadar melihat
orangnya. Mereka hanya memikirkan Gemeinschaft[30]-nya
dan perasaan orangnya, “l’ame et le desir”.[31]
Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi,
bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air.
Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t. membuat peta dunia, menyusun
peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana
“kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun—jikalau ia melihat peta
dunia—ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan.
Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara
2 lautan yang besar, Lautan Pasific dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua,
yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan,
bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda
Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.
Demikian pula tiaptiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa
pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai
golfbreker atau penghadang gelombang Lautan Pasific, adalah satu kesatuan.
Anak
kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia
Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang
anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland
atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh
Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan
Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia plus daerah Yunani
yang lainlain— segenap kepulauan Yunani—adalah satu kesatuan.
Maka
manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut
geopolitik, maka Indonesia-lah tanah air kita. Indo-nesia yang bulat—bukan Jawa
saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon
saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah
s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera—itulah tanah
air kita!
Maka
jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat –antara rakyat dan
buminya—maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto
Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto
Bauer “aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu.
Maaf,
Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa di
Indonesia, yang paling ada “le desir d’etre ensemble”, adalah rakyat
Minangkabau, yang banyaknya kirakira 2 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu
keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian
kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa “le desir d’etre
ensemble”, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di
Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi
Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia—Natie
Indonesia—bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir
d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura,
atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh
manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah
s.w.t., tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara
Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini
sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah terjadi “Charaktergemeinschaft”!
Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah
70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
(Tepuk tangan
hebat).
Ke sinilah
kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi
Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu
golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan
yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara,
jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale
staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen[32]
adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan
bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh
Italia-lah—yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi
oleh pegunungan Alpen—adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab,
bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India-lah nanti harus menjadi
nationale staat.
Demikian
pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu,
adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di
jaman Sriwijaya dan di jaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami
nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya rajaraja
dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung
Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram—meskipun merdeka—bukan nationale staat. Dengan
perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa
kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan
Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten—meskipun
merdeka—bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan
Hasanudin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa
tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale
staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di jaman Sriwijaya dan
Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu,
jikalau Tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang
pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan
kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi,
Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi
dasar satu nationale staat.
Maaf,
Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan,
waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo[33], Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan
kebangsaan”.
(Liem Koen Hian: “Bukan begitu. Ada
sambungannya lagi.”)
Kalau
begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Liem Koen Hian pun
menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik
yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham
kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa
Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka
berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa
India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid—perikemanusiaan!
Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa,
bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun,
duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis
yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya: “Jangan
berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan
mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun”. Itu terjadi pada tahun ‘17. Tetapi pada
tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr.
Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, San Min Chu I atau The Three People’s
Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan
oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh
pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau
seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya,
yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat
sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen,—sampai masuk
ke lobang kubur.
(Anggota-anggota
Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara.
Tetapi… tetapi… memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah
mungkin orang-orang merun-cingkan nasionalisme menjadi chauvinisme,[34] sehingga berpaham “In-donesia uber
Alles”.[35] Inilah bahayanya!
Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa
yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari
dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi
berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan. My nationalism is humanity”.
Kebangsaan
yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai
dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutschland uber Alles”.
Tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut
jagung dan bermata biru—bangsa Aria—yang dianggapnya tertinggi di atas dunia,
sedang bangsa lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas
demikian, Tuan-tuan. Jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah yang terbagus
dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia,
persaudaraan dunia.
Kita
bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru
inilah prinsip saya yang kedua. Inilah philosofisch princiep yang nomor dua,
yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan
“internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakana internasionalisme, bukanlah
saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang
mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada
Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme
tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya
internasionalisme. Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip
2—yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuantuan sekalian—adalah bergandengan
erat satu sama lain.
Kemudian,
apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufa-kat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan
negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa
syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan,
perwakilan.
Untuk
pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun,
adalah orang Islam—maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum
sempurna—tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya
punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati
Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan.
Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu
dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Badan
perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di
sinilah kita usulkan kepada pemimpinpemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa
perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja
sehebathebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan
perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusanutusan Islam. Jikalau
memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau
memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat,
marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya
mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke
dalam badan perwakilan ini.
Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja,
bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam
perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya
hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Malahan
saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh
dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga
60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama
Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian,
hidup-lah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita
berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini
berapa % yang memberikan suaranya
kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya
tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup
sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada
Saudara-saudara sekalian—baik yang bukan Islam, maupun terutama yang
Islam—setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan,
perwakilan.
Dalam
perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang
hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan
bergolak mendidih kawah Candra-dimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di
dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan
selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan
rakyat! Di dalam perwakilan rakyat, Saudara-saudara Islam dan Saudara-saudara
Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa
tiap-tiap letter[36] di dalam
peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah
mati-matian, agar supaya sebagian besar dari utusan-utusan yang masuk badan
perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play![37] Tidak ada satu negara boleh dikatakan
negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki
tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran
pikiran. Allah subhanahu wa ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya
dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk
membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi
nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara prinsip nomor 3,
yaitu prinsip permusyawaratan!
Prinsip
No. 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan
prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di
dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah
Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip
kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka. yang kaum kapitalnya merajalela,
ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup
pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup
memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-saudara? Jangan
Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan
sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara
Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah
di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?
Di
Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum
kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis
merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya,
ialah oleh karena badanbadan perwakilan rakyat yang diadakan di sana itu,
sekadar menurut resepnya Fransche Revolutie.[38]
Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu hanyalah
politieke democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid—tak
ada keadilan sosial, tak ada economische democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat
seorang pemimpin Perancis, Jean
Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. “Di dalam parlementaire
democratie,” kata Jean Jaures, “tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik
yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam
parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan
kesejahteraan di kalangan rakyat?”
Maka
oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak
politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister.[39] Ia seperti raja. Tetapi di dalam dia
punya tempat bekerja—di dalam pabrik—sekarang ia menjatuhkan minister, besok
dia dapat dilempar ke luar ke jalan raya, dibikin werkloos,[40] tidak dapat makan suatu apa”.
Adakah
keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara,
saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat,
tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie
yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama
bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud
dengan paham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid.
Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang
tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru
yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena
itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat
Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu
bukan saja persamaan politik, Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan
ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang
sebaik-baiknya.
Saudara-saudara,
badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan
politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat
mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid[41]
dan sociale recht-vaardigheid.[42]
di
dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan,
segala hal! Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak
akan memilih monarki. Apa sebab? Oleh karena monarki “vooronderstelt
erfelijkheid”[43]—turun-temurun.
Saya orang Islam, saya democrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat,
maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama
Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul
mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala
negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya,
menjadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya
Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya—dengan otomatis— menjadi pengganti Ki
Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarki
itu.
Saudara-saudara,
apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1.
Kebangsaan Indonesia.
2.
Internasionalisme—atau perikemanusiaan.
3.
Mufakat—atau demokrasi.
4.
Kesejahteraan sosial.
Prinsip
yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Prinsip
Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan
menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi
Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang
ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber- Tuhan.
Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,
yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara
yang ber-Tuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun
Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah
hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin)
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang
verdraagzaamheid,[44]
tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan
verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun
ini—sesuai dengan itu—menyatakan: bahwa prinsip kelima dari Negara kita, ialah
Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur,
Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya,
jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah,
Saudarasaudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat
tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan ber-Tuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga—permufakatan, perwakilan—di situlah
tempatnya kita mempropagandakan ide kita masingmasing dengan cara yang tidak
onverdraagzaam,[45] yaitu dengan
cara yang berke-budayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan.
Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di
sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang
kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita
lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang
yang hadir: “Pendawa Lima.”)
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip—
kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan—lima pula
bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi—saya namakan ini de-ngan
petunjuk seorang teman ahli bahasa—namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas
atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita
mendirikan
Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk
tangan riuh).
Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan
bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara
tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah
saya pikirkan dia, ialah dasar- dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung
kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme—kebangsaan dan
perikemanusiaan—saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiekeconomische democratie—yaitu
politieke democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan
kesejahteraan—saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan sosiodemokrasi.
Tinggal lagi Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga:
sosionasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada
simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan
senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya
jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan Negara
Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen
buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat
Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat
Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras
yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu
perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotongroyong”. Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong-royong! Alangkah hebatnya!
Negara Gotong-royong!
(Tepuk
tangan riuh-rendah.)
“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis
dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang
statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu
pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu
gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini,
bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan
keringat bersama, semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Holopis-kuntulbaris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!
(Tepuk
tangan riuh-rendah).
Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak
kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen
dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang
saya usulkan kepada Saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi
terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah
Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara semuanya.
Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah
prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah
menggelora dengan prinsipprinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam
masa peperangan, Saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita
mendirikan negara Indonesia,—di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya
mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa kita
mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di
bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia
Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api
peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia
yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambatlaun menjadi bubur. Karena itulah
saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubungan dengan itu—sebagai yang diusulkan oleh
beberapa pembicara-pembicara
tadi—barangkali perlu diadakan noodmaatregel, [46]
peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka
yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai
dikatakan tadi, Saudara-saudara, itulah
harus Weltanschauung kita.
Entah Saudara-saudara mufakatinya
atau tidak, tetapi saya berjuang sejak
tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk
nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia
yang hidup di dalam perikemanusiaan;
untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila,
itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi,
Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudarasaudara. Tetapi
saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung
dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak
ada satu Weltanschauung
dapat
menjadi kenyataan—menjadi realiteit—jika tidak dengan perjuangan!
Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan
pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
De Mensch—manusia!—harus perjuangkan itu. Zonder[47] per-juangan itu tidaklah ia akan
menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan
seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder
perjuangan bangsa Tionghoa, Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih
lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada
satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia,
sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit[48]—tertulis di atas kertas—tidak dapat
menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam.
Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita
yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya
Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita
ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup
sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin
hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale
rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang
luas dan sempurna— janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah
perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia
Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di
dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain
sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama,
sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita
cita-citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini,
yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia
Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil
resiko—tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang
sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan
matimatian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan
menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman!
Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya
berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka,merdeka atau mati” !
(Tepuk tangan
riuh.)
Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini
menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga
minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo
yang saya anggap “verschrikkelijk zwaarwichtig”[49]
itu.
Terima kasih! (Tepuk
tangan riuh rendah dari segenap hadirin.)
[1]Nama Indonesia-nya: Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.
[2]Dasar filsafati (bhs. Belanda).
[3]Kemerdekaan politik (bhs. Inggris dan Belanda)
[4]Seolah-olah amat berat (bhs. Belanda).
[5]Dengan teliti, terinci dan lengkap (bhs. Jawa)
[6] Golongan yang percaya adanya Tuhan, tetapi tak menganut
suatu agama.
[7] Kepala Kantor Tata Usaha untuk Lembaga Tinggi (bhs.
Jepang). Badan di bawah
pemerintah militer Jepang untuk mengurus
persiapan sidang-sidang BPUPKI.
[8]Suku yang berpindah-pindah tempat, pengembara (bhs.
Belanda).
[9] Tempat penitipan bayi dan anak-anak pada waktu orangtuanya
bekerja.
banyaknya. Dua milyun pemuda ini
menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia
Merdeka Sekarang!
[10]
(Kekaisaran) Jepang Raya.
[11]
Kepala Pemerintahan Militer Tentara Pendudukan Jepang.
[12]
Kepala Departemen Urusan Umum.
[13]Kepala
Departemen.
14]
Tuntutan minimum (bhs, Belanda).
[15]
Memantul, melenting (bhs. Jawa).
[16]
Pakaian untuk anak-anak.
[17]
Tempat duduk yang nyaman untuk bersantai (bhs. Belanda).
[18]
Jurutulis (bhs. Belanda).
[19] Berasal dari kata bandoro (bhs.Jawa), yang berarti tuan
atau majikan.
[20] Alat masak listrik.
[21]
Berbahagia (bhs. Belanda).
[22]
Peralatan makan dari perak
[23]
Penyakit busung lapar.
[24]
Macam-macam (bhs. Jawa).
[25]
Pandangan hidup, filsafat hidup (bhs. Jerman).
[26]
Cara (bhs. Belanda).
27]
Negara nasional (bhs. Belanda).
[28]
Ernest Renan, pemikir orientalis Perancis.
[29]
Pemikir dan teoritikus Partai Sosial Demokrat Austria.
[30]
Persamaan, persatuan (bhs. Jerman).
[31]
Jiwa dan kehendaknya (bhs. Perancis).
[32]
Kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony.
[33]
Wakil Ketua, maksudnya: Soeroso.
[34]
Nasionalisme yang berlebih-lebihan.
[35]
Indonesia di atas semua (bangsa).
[36]
Huruf (bhs. Belanda).
[37]
Permainan yang jujur (Bhs. Inggris).
[38] Revolusi Perancis (bhs. Belanda).
[39]
Menteri (bhs. Belanda dan Inggris).
[40]
Menganggur (bhs. Belanda).41 Keadilan politik.
[41] Keadilan politik.
[42] Keadilan sosial.
[43] Arti harfiahnya: pewarisan yang diketahui terlebih dahulu
(bhs. Belanda).
[44] Sifat dapat memahami lain pendapat (bhs. Belanda).
[45] Tidak sabar, maksudnya: dengan pemaksaan (bhs. Belanda).
[46] Arti harfiah: aturan darurat (bhs. Belanda).
[47] Tanpa (bhs. Belanda).
[48] Hitam di atas putih (bhs. Belanda).
[49] Seolah-olah sangat berat sekali (bhs. Belanda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar