Isi twitter Yusril Ihza Mahendra yang salah satunya memuat kata-kata yang menyinggung tentang “PRESIDEN KORUPTOR” ternyata mampu menyulut sikap emosional para elit politik yang berada di lingkaran Presiden SBY, dan akhirnya menjadi sumber polemik yang bermuara pada penilaian etis atau tidak etis sehingga muncul juga tuntutan untuk minta maaf dan memaafkan.
Munculnya isi Twitter mantan Menteri Sekretaris Negara periode pertama Presiden SBY ini tidak dapat dipisahkan dengan isi Twitter Denny Indrayana wakil menteri hukum dan HAM dibawah kepemimpin Presiden SBY periode kedua yang menyinggung tentang pengacara koruptor.
Masyarakat awam juga kembali dibuat geleng kepala, mengurut dada dan sekilas senyum tersipu-sipu sebagai ekspresi rasa geli melihat tingkah laku para elit politiknya yang gampang terjerumus kedalam adu argumentasi yang dinilai oleh masyarakat hanya persoalan “remeh temeh”. namun sebaliknya justru dalam pandangan para elit politik merupakan wacana menarik dan memiliki bobot politis.
Perang wacana ini terjadi di jejaring sosial twitter, namun karena yang mengemukakannya tokoh politik di negeri ini maka kicauan itu menjadi bahan perbincangan hangat dan dianggap menyentuh harga diri, nama baik dan citra orang nomor satu di negeri ini, sehingga sebagai sebuah kicauan yang dianggap tidak etis Yusril diminta minta mohon maaf kepada Presiden oleh lingkaran dekat Presiden SBY.
Maka wajar juga jika kita bertanya, apakah hanya ketika dianggap mengganggu kredibelitas orang penting di negeri ini permohonan maaf layak diberikan ? Sementara ketika para elit politik mengumbar ucapannya yang membuat hati dan perasaan rakyat tersinggung tindakan menyampaikan kata maaf tidak berlaku ? Jika memang ini yang terjadi maka kita telah mundur lagi selangkah kebelakang menjadi orang-orang yang feodalistik, gila hormat dan merasa orang yang paling memiliki status paling tinggi.
Setelah enam puluh tahun lebih Indonesia merdeka, dalam kehidupan sosial politik nasional memang masih sering terpelihara dengan baik sikap-sikap feodalistik ini, yaitu terlalu gampang memvonnis seseorang melakukan penghancuran karakter, merusak nama baik, mendeskreditkan dan bahkan menilai seseorang telah melakukanBlack Campaign. Karena merasa menjadi pihak yang memiliki kehormatan yang tinggi maka sering muncul tindakan menuntut untuk memperbaiki kehormatannya.
Padahal selaras dengan hukum sebab akibat, apabila kita ingin dihormati oleh pihak lain maka kita juga harus menghormati orang lain. karena hal tersebut sesuai dengan hukum tanam dan tuai, apa yang kita tanam maka hal tersebut juga yang akan kita tuai.
Ketika Yusril Ihza Mahendra melepaskan kicauannya ini, beliau mengatakan bahwa kalimat-kalimat yang ditulisnya dianggap mengikuti alur pemikiran Denny Indrayana ketika melepas kicauannya tentang pengacara korupsi. Bagaimana alur pemikiran tersebut biarlah hal tersebut menjadi konsumsi dan domain para elit politik dan para orang pintar yang menguasai ilmu filsafat, tata bahasa dan hukum, yang justru menjadi sumber bahan perbincangan bagi kaum awam sederhana saja ” Perdebatan Para Orang Pintar Negeri Ini Membisingkan dan Sumbang”.
Karena telah muak melihat para elit politik yang tidak bosan-bosannya hanya bergelut sebatas wacana, masyarakat juga akhirnya membuat kesimpulan sendiri bahwa apa yang tengah terjadi tersebut wajar membisingkan karena memang muncul di Twitter, sesuai dengan logo twitter sendiri dan arti terjemahan bebas twitter, twitter dalam bahasa Indonesia disebut dengan “Kericau” atau berkicau terus menerus sama seperti “Burung Murai”
Burung Murai, terutama burung ” Murai Batu” (Copsychus malabaricus) merupakanburung kicau paling populer, burung ini termasuk ke dalam family Turdidae. Burung murai batu dikenal memiliki kemampuan berkicau yang baik dengan suara merdu, bermelodi, dan sangat bervariasi. Ketenaran burung murai batu bukan hanya sekedar dari suaranya yang merdu, namun juga gaya bertarungnya yang sangat atraktif.
Bercermin dari defenisi bebas twitter, maka alangkah indahnya dinikmati apabila para elit politik di negeri ini ketika mengemukakan pendapatnya dengan suara yang menyejukkan perasaan masyarakat, dan mampu memberikan pembelajaran yang mendewasakan pemikiran, bukan hanya berkicau hanya sekedar memproduksi kata-kata yang menimbulkan kegaduhan dan hanya mengumbar kata-kata tidak memiliki nilai berarti bagi kepenetingan umum (not a common word).
Denny Indrayana, secara pendidikan dan jabatan bukan merupakan orang biasa-biasa, tetapi memiliki latar belakang pendidikan yang lumayan tinggi dan memiliki jabatan yang tinggi dalam struktur kepemimpinan lembaga hukum sehingga ucapannya, terutama kicauannya di twitter memiliki dampak yang luas serta menjadi sumber perhatian masyarakat umum, oleh karena itu setiap ucapannya dianggap penting. Dan sebagai orang awam kita juga berpikir bahwa tidak mungkin seorang Denny Indrayana mengeluarkan pendapat hanya sekedar kicauan tak berarti, walau hal tersebut hanya dilakukan melalui Twitter.
Demikian juga Yusril Ihza Mahendra telah memiliki nama yang familier dan memiliki rekam jejak yang lumayan bagus dalam pemikiran masyarakat umumnya, jadi dianggap tidak mungkin mengeluarkan argumen yang tidak memiliki nilai atau bobot.
Namun melihat kecenderungan yang terjadi tanggapan yang muncul terhadap isi twiter kedua pendekar hukum ini, ada segumpal pertanyaan yang bersemayam di dalam hati kecil masyarakat awam, yaitu hanya sebatas itukah kapasitas para elit politik di negeri ini ? Hanya mengumbar wacana dan berdebat di jejaring sosial ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin merasa asing dengan elit penguasa negeri ini yang dianggap hanya mementingkan diri dan kelompoknya.
Walaupun wacana tersebut hanya diluncurkan melalu jejaring sosial atau Twitter, kiranya kata demi kata yang meluncur tersebut memiliki nilai dan bobot yang mampu menjadi bahan pembelajaran dan inspirasi bagi masyarakat, serta tidak menimbulkan kegaduhan, tetapi merupakan suara merdu yang menyejukkan sesuai dengan lambang jejaring sosial Twitter yang menggambar burung Murai yang memiliki suara merdu, bermelodi serta bervariasi penuh resonansi yang mampu menggetarkan jiwa pendengarnya.
Para orang lingkaran dekat Presiden SBY tidak perlu gusar atau reaksioner atas kicauan Yusril Ihza Mahendra, yang mempublikasikan tentang “Presiden Koruptor”, selaras dengan pengakuan Yusril, tindakan tersebut dilakukan merupakan reaksi dari hukum sebab-akibat, sebab pertamanya adalah pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayanan yang mengatakan bahwa advokat pembela koruptor adalah koruptor.
“Kalau ditelisik cara dan logika berpikir Denny, maka cara dan logika berpikir Yusril hanya analoginya saja, namun statemen Yusril tersebut tidak secara substantif menuduh bahwa Presiden SBY adalah koruptor.”
Pelajaran yang dapat dipetik dari munculnya masalah dan polemik ini menjadi kritik serta bahan permenngan bagi pejabat publik atau elit politik agar mengedepankan etika dalam mengeluarkan pernyataan. Sebagai pejabat negara, Denny harusnya lebih berhati-hati mengeluarkan pendapat karena posisinya sebagai wakil menteri merupakan petinggi hukum dan pejabat tinggi negara.
Denny yang mengomentari profesi advokat mengundang perdebatan panas karena profesi advokat memilik hubungan dengan pekerjaan dan jabatan Denny sebagai pejabat di Kemenkumham. “Kicauan Denny di jejaring sosial itu sangat tendensius dan memberi stigma negatif terhadap profesi advokat”.
Denny yang mengomentari profesi advokat mengundang perdebatan panas karena profesi advokat memilik hubungan dengan pekerjaan dan jabatan Denny sebagai pejabat di Kemenkumham. “Kicauan Denny di jejaring sosial itu sangat tendensius dan memberi stigma negatif terhadap profesi advokat”.