Oleh Daud Ginting
OPINI Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) Medan
Thursday, 16 March 2006
http://www.hariansib.com/index.php?option=com_content&task=view&id=692&Itemid=37
Menjadikan sektor pertanian sebagai salah satu andalan perekonomian kerakyatan
ditengah globalisasi ekonomi dan pengembangan industrialisasi transnasional,
membutuhkan kajian dan keberpihakan yang lebih komprehensip. Terutama pada saat
kondisi ekonomi nasional yang diprediksi tidak akan mengalami pertumbuhan
secara signifikan pada tahun ini. Sebagai akibat paling nyata dari stagnasi
ekonomi makro ini adalah terjadinya peningkatan jumlah pengangguran, dan
semakin sempitnya lowongan pekerjaan di sektor industri.
Pertanian sebagai pilihan terakhir sebagai sumber penghasilan dan
kesinambungan hidup sebagian masyarakat Indonesia, juga merasakan imbas
kebijakan makro ekonomi yang tidak populis. Padahal sektor ini merupakan
alternatif terakhir untuk meningkatkan kesejahteraan para petani. Oleh karena
itu, peningkatan peranan sektor pertanian sebagai salah satu alternatif sumber
penghasilan bagi petani merupakan pilihan yang masih relevan dan sangat
mendesak untuk diperbaharui. Karena produktivitas hasil pertanian beberapa
tahun terakhir mengalami kemunduran, penyebabnya adalah karena banyaknya
persoalan yang melingkupinya.
Secara statistik dapat dilihat bahwa lahan pertanian mengalami penyusutan
dari tahun ke tahun akibat penggunaan lahan produktif untuk pembangunan lokasi
industri dan pemukiman. Cepatnya pertambahan jumlah penduduk menjadi salah satu
faktor yang mempercepat semakin luasnya penggunaan lahan pertanian untuk
pemukiman.
Proses pengurangan besar-besaran lahan pertanian ini mengakibatkan menurunnya
hasil produksi pertanian padi secara nasional. Dilema ini semakin diperparah
lagi oleh terjadinya proses penurunan tingkat kesuburan tanah sebagai akibat
penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan (rusaknya ekosistem). Hama dan
penyakit pertanian juga semakin kebal terhadap pestisida. Ironisnya lagi
penggunaan pestisida ini ternyata menyebabkan biaya produksi dan proses
pengolahan lahan pertanian membutuhkan biaya tinggi. Hal ini terutama
disebabkan oleh semakin mahalnya harga pupuk, dan naiknya ongkos tanam sampai
panen. Konsekuensinya adalah mengakibatkan harga jual tidak seimbang jika
dibandingkan dengan biaya produksi. Dewasa ini, keadaan penghasilan petani
menjadi semakin dilematis, karena biaya produksi tinggi tetapi hasil produksi
jumlahnya semakin turun dan harga jual hasil pertanian juga tidak seimbang.
Fenomena ini menjadi bahan renungan paling relevan untuk saat ini, terutama
untuk melakukan kilas balik terhadap sejarah pertanian nasional. Beberapa waktu
yang lalu para elit politik Bangsa Indonesia ribut soal impor beras dari
Vietnam. Impor beras memang menjadi dilema ditengah sebagian besar penduduk
Indonesia merupakan komunitas petani.
Pada tahun 1985 Bangsa Indonesia pernah menyandang gelar sebagai negara
swasembada beras, sehingga mendapatkan penghargaan dari organisasi pangan
sedunia (FAO) pada tahun 1986 di Roma, Italia. Untuk prestasi gemilang ini
sebenarnya sejak awal juga menjadi bahan perdebatan kontraversial diantara
pengamat ekonomi dan pertanian. Sehingga ada julukan yang mengatakan bahwa hal
tersebut merupakan prestasi semu, bahkan pemberian penghargaan tersebut diduga
sarat dengan kepentingan korporatokrasi global, yaitu untuk sarana melegitimasi
program intensifikasi pertanian dengan mempergunakan pupuk anorganik (Zat
Kimia) hasil produksi korporasi negara barat. Padahal penggunaan pupuk
anorganik menyebabkan kerusakan struktur tanah.
Dari hasil penelitian beberapa lembaga sosial ekonomi pertanian,
diindikasikan bahwa penggunaan pupuk anorganik atau pupuk kimia secara terus
menerus, serta penerapan komposisi yang tidak tepat, mengakibatkan kondisi
tanah pertanian menjadi kritis, dan menurunnya tingkat kesuburan tanah. Saat
ini para petani sudah sangat tergantung pada penggunaan pupuk kimia. Sehingga
semakin lama penggunaan pupuk kimia yang tidak dibatasi mengakibatkan lahan
pertanian semakin kritis karena terjadinya proses endapan atau residu pupuk
kimia terhadap tanah.
Secara historis proses intensifikasi pertanian dengan penggunaan pupuk kimia
ini, ditengarai dipenuhi oleh kepentingan kaum kapitalis internasional
(korporatokrasi), yaitu koalisi pemerintah, bank dan korporasi bangsa barat.
John Perkins dalam bukunya Confessions of economics hit man, mengisahkan
peranannya sebagai salah satu agen yang direkrut oleh suatu lembaga yang
merupakan bagian dari kepentingan kolusi korporatokrasi hegemoni sebuah negara
adikuasa. Dalam hal ini sebagai Economic Hit Man tugasnya adalah mendorong para
pemimpin dunia, khususnya negara berkembang, agar menjadi bagian dari jaringan
luas yang mengutamakan kepentingan komersial bangsa barat.
Melalui pemberian bantuan pinjaman dan program pembangunan yang secara
sistematis, diupayakan para pemimpin negara berkembang terjerat didalam belitan
utang, sehingga terjadi loyalitas yang kuat terhadap hegemoni bangsa barat.
Dengan demikian negara berkembang akan menjadi sasaran empuk ketika bangsa
barat memerlukan dukungan terhadap kepentingan negaranya, misalnya untuk
keperluan pangkalan militer, hak suara di PBB, atau akses untuk mengeksploitasi
minyak dan sumber daya alam lainnya. Disamping itu penggunaan pupuk kimia
sebagai hasil produksi industri negara maju merupakan sumber penghasilan bagi
korporasi bangsa barat yang berkoalisi dengan penguasa.
Pelaksanaan program pembangunan pertanian bermuatan kepentingan terselubung
ini terjadi di Indonesia sejak tahun 1970-an, yaitu saat itu dikenal dengan
nama Program Revolusi Hijau. Program ini tidak terlepas dari peranan CGIAR
(Consultative Group on International Agricultural Research), suatu lembaga
penelitian pertanian yang khusus menyebarluaskan program Revolusi Hijau.
Lembaga ini didirikan pada tahun 1971 oleh Robert S. Mc Namara, presiden bank
dunia saat itu. Dan merupakan mantan pimpinan perusahaan Ford dan Menteri
Pertahanan Amerika Serikat ketika terjadi perang Vietnam. Program itu memaksa
para petani mengolah lahan pertaniannya secara modern. Pemerintah Indonesia
saat itu mensosialisasikan program Bimas sebagai bentuk implementasinya.
Melalui pembentukan BULOG, dilakukan pemberian subsidi pupuk, pemberian kredit
pertanian dan Penetapan Harga Dasar Gabah.
Pinjaman uang dari negara asing yang nota bene memiliki kepentingan
terselubung, dipergunakan untuk pembangunan irigasi. Petani pada saat itu harus
mempergunakan pupuk, obat (Pestisida), dan benih yang berasal dari impor.
Misalnya penggunaan benih padi IRRI dari Filipina. Padi IRRI dibudidayakan
dengan teknik eksploitatif, yaitu teknik mereproduksi genetic varietas padi
hingga semakin kecil (kerdil), agar energi yang dimiliki oleh padi lebih banyak
dipergunakan untuk perkembangan buah. Bercocok tanam dengan varietas padi IRRI sangat tergantung kepada penggunaan pupuk kimia, dan irigasi selama proses penanaman sampai tiba waktu untuk panen.
Perdebatan terhadap strategi pembangunan pertanian ini sejak awal juga telah
terjadi. Disatu sisi pemerintahan orde baru ingin menata basis bagi
infrastruktur pedesaan yang bermanfaat untuk masyarakat dan kesejahteraan
petani yang merupakan penduduk Indonesia paling dominan. Tujuan awalnya adalah
pertumbuhan pertanian dapat mendongkrak seluruh kegiatan ekonomi dan
kesejahteraan para petani. Untuk rencana merealisasikan kebijakan pembangunan
yang berorientasi kepada kesejahteraan para petani, maka ditugaskan Bustanil
Arifin dan Prof Widjojo Nitisastro untuk menganalisis dan menyusun formulasi
kebijakan pangan, terutama untuk mengatasi rawan pangan. Namun Walter P Falcon,
seorang guru besar dari Standford University, yang bertugas membantu para
ekonom Indonesia yang sering disebut dengan Mafia Berkeley (arsitek ekonomi
orde baru), memiliki pandangan khusus dalam pembangunan ekonomi pertanian.
Menurut Falcon sebaiknya kebijakan ekonomi tidak berdasarkan pada kebijakan
pertanian,melainkan pada kebijakan pangan.
Ada perbedaan penting dari kedua kebijakan ini. Kebijakan pertanian
difokuskan pada kesejahteraan petani, sedangkan kesejahteraan pangan fokusnya
dititikberatkan untuk konsumen dan produsen. Oleh karena itu kebijakan
pertanian tidak hanya berpihak kepada para petani miskin, melainkan juga untuk
kepentingan konsumsi masyarakat kota sebagai konsumen. Untuk menjaga
keseimbangan ini maka Bulog ditugasi sebagai lembaga yang menjaga keseimbangan
harga panen. Ketika terjadi surplus beras maka bulog akan membeli. Oleh karena
itu Bulog dituntut untuk memiliki daya beli yang tinggi untuk menyangga harga
beras.
Maka selama pemerintahan orde baru Bulog memiliki peranan yang sangat
strategis dalam politik perberasan nasional. Oleh karena itu, kebijaksanaan
pengembangan pertanian di era orde baru sarat dengan muatan kepentingan politik
nasional dan global, sehingga pertanian sebagai sumber utama penghasilan dan
kesejahteraan masyarakat bukan menjadi tujuan utama.
Proses pembangunan dan modernisasi pertanian seharusnya berorientasi kepada
pemberdayaan serta mengangkat kesejahteraan para petani. Tetapi selama kurun
waktu orde baru tersebut, para petani ternyata tetap berada di posisi
terpinggirkan, dan bahkan banyak yang berada dibawah garis kemiskinan.
Di era reformasi dewasa ini, keberadaan para petani yang memiliki jumlah
sangat besar secara nasional, belum juga mendapatkan perhatian yang lebih
khusus, terutama program yang berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan
para petani itu sendiri. Hiruk pikuk kontroversi impor beras dari Vietnam,
merupakan salah satu indikasi minimnya kepedulian elit politik terhadap
kesejahteraan petani. Dengan berbagai cara manuver politik tingkat tinggi,
kepentingan elit penguasa akhirnya mampu mengeliminir kepentingan komunitas
petani. Hal ini selaras dengan orientasi ekonomi nasional yang mengarah kepada
liberalisasi.
IMF sebagai agen lembaga keuangan yang banyak memberikan pinjaman kepada
Bangsa Indonesia, akhirnya mampu mempengaruhi kebijaksanaan ekonomi nasional
untuk menjadi pro mekanisme pasar dan liberalisasi. Berkat tekanan IMF pada
tahun 1998, bangsa Indonesia akhirnya melakukan kebijakan berdasarkan
agresivitas neoliberalisme.
Langkah-langkah liberalisasi dilakukan dengan privatisasi, menjual
asset-asset negara, liberalisasi pertanian, perdagangan, dan keuangan,
mekanisme pasar digunakan sebagai barometer. Bukan lagi berdasarkan fungsi
sosial dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu dilakukan langkah-langkah
penghapusan subsidi terhadap kepentingan kebutuhan pokok rakyat. Demikian pula
masuknya impor bahan-bahan pertanian telah mengacaukan dan menghancurkan sektor
pertanian dan penghidupan petani. Masuknya berbagai bahan pangan impor terutama
beras dan gula, membuat harga-harga produk lokal jatuh. Neoliberalisme secara
agresif telah menyerang sendi-sendi kehidupan rakyat, dan akhirnya rakyat
berada dalam kondisi tidak menguntungkan.
Pada tahun 1999, melalui konferensi World Trade Organization (WTO), di
Seattle, Amerika Serikat, ideologi neoliberalisme yang bermuatan nilai-nilai
arogansi, tipu daya, keserakahan dan kekuasaan tanpa batas, dipertunjukkan
kembali. Selaras dengan kesepakatan semangat liberalisasi pasar tersebut, maka
pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 7/tahun 2003, yang
pada intinya merubah peranan Bulog dalam menyangga harga beras nasional.
Melalui peraturan ini Bulog berubah menjadi perusahaan umum (PERUM BULOG). IMF
memberi alasan bahwa peranan Bulog sebagai lembaga monopoli dibidang Pangan,
mengakibatkan terjadinya distorsi pasar. Peranan tersebut dianggap bertentangan
dengan prinsip liberalisasi pasar.
Sebagai Perum, Bulog akhirnya tidak mendapatkan dana bantuan khusus dari
anggaran pemerintah, maupun fasilitas kredit berbunga lunak dari Bank Indonesia.
Sebagai sebuah lembaga yang diarahkan bertujuan untuk mencari rente atau
keuntungan, akhirnya fungsi Bulog sama dengan perusahaan umum. Maka Bulog
dipaksa mencari dana dari Bank Umum dengan suku bunga komersial. Dengan suku
bunga pinjaman dikisaran 12%-14% maka peranan bulog untuk menyangga jumlah dan
harga beras adalah sangat berat.
Selain masalah sumber pendanaan dan kewenangan, Bulog juga mengalami tugas
berat untuk menetapkan harga (floor price) dan harga atas (celling price),
sesuai dengan Inpres No.2/2005, Bulog ditugasi menjaga harga pembelian
pemerintah (HPP). Penerapan kebijakan HPP merupakan konsep baru, dan berbeda
dengan kebijakan ketika Bulog belum menjadi Perum. Sebelumnya konsep yang
dipergunakan adalah Harga Dasar (HD), sehingga ketika harga beras berada
dibawah HD maka dapat dikatakan harga beras jatuh, dan dilakukan intervensi
Pemerintah melalui Bulog harus bertanggung jawab untuk mengatasinya. Tetapi
pada konsep HPP, angka atau besaran harga yang ditetapkan merupakan patokan.
Dengan demikian maka timbul persepsi yang menganggap bahwa pemerintah tidak
peduli terhadap harga beras, serta tidak memperhitungkan penghasilan petani.
Hal ini dapat kita lihat dengan keengganan pemerintah menetapkan harga atas
(ceiling price). Karena dengan menetapkan harga atas tersebut, maka pemerintah
dituntut untuk memberikan subsidi dan melakukan intervensi agar harga tidak melewati patokan tersebut.
Dihadapkan kepada kondisi perekonomian yang pekat dengan paham liberalisasi,
maka nasib dan kesejahteraan para petani Indonesia, semakin lemah. Oleh karena
itu para petani dituntut untuk lebih proaktif, jangan reaktif untuk menyiasati
kondisi pasar dan perekonomian. Untuk itu dibutuhkan kemampuan kewirausahaan
(Entrepreneurship) di bidang pertanian (Agrobisnis) bagi petani. Yang
membedakan antara yang proaktif dengan reaktif adalah cara pandang terhadap
suatu masalah.
Pandangan yang terlalu fokus dan terlena pada rintangan, serta bukan
menganggapnya sebagai tantangan, akan menyebabkan petani disetir oleh keadaan
itu sendiri. Sebaliknya orang yang proaktif tidak membiarkan keadaan akan
menyetir dirinya, mereka akan konsentrasi untuk memikirkan hal-hal yang dapat
dilakukan untuk mendobrak hambatan dan mencari alternatif jalan keluar.
Mengharapkan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang populis dan berpihak
kepada kepentingan para petani, sepertinya merupakan cita-cita uthopis, karena
kepentingan global telah lebih dominan mempengaruhinya. Tidak ada jalan keluar
selain melahirkan solusi dari petani sendiri dan untuk para petani itu sendiri,
alias mandiri dan kreatif menyiasati keadaan.
Salah satu alternatif dan solusi terhadap peningkatan hasil pertanian,
khususnya Tanaman Padi Sawah (beras), adalah merubah cara bertani yang
mengandalkan pupuk anorganik (Zat Kimia) menjadi pertanian organik maupun semi
organik. Berdasarkan uji coba (hasil demplot) penerapan pupuk semi organik pada
budidaya tanaman padi di Pasuruan, Jawa Timur, ternyata penggunaan pupuksemi
organik mampu memperkecil biaya produksi (lebih ekonomis). Hasil uji coba
penggunaan pupuk semi organik dengan komposisi 50%, dan sisanya 125 kg urea, 25
Kg SP-36, 25 kg KCL, menunjukkan angka lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan pupuk zat kimia sebesar 100%, yaitu 250 kg Urea, 50% kg SP-36 dan 50
kg KCL untuk masing-masing percobaan pada lahan seluas 0,75 Ha.
Percobaan dengan mempergunakan pupuk semi organik (P1) mampu menghasilkan
panenan gabah kering sebanyak 6.375 kg, sedangkan mempergunakan pupuk zat kimia
100% (PO) hanya menghasilkan gabah kering sebesar 5.437 kg, atau memiliki
selisih kenaikan hasil panen gabah kering sebesar 17,25%.
Setelah dilakukan proses pengeringan menjadi gabah kering giling dan
dilakukan proses penggilingan, diperoleh hasil P1 sebesar 3.558 kg beras,
sedangkan PO menghasilkan 2.738 beras, maka selisih P1-P0 adalah 3.558
kg-2.783= 775 kg beras/0,75 ha. Bahkan penampilan atau perfomance fisik tanaman
padi menunjukkan daun lebih hijau, tanaman lebihtinggi dan jumlah anakan lebih
banyak, Penggunaan jumlah pupuk juga dapat dihemat.
Percobaan dilakukan dengan mempergunakan pupuk semi organik dengan
pertimbangan tidak mungkin melakukan perubahan secara drastis dari pertanian
penggunaan pupuk anorganik menjadi pertanian organik. Karena kondisi lahan
pertanian sudah terlanjur terkontaminasi oleh residu pupuk anorganik.
Selain melakukan perubahan cara bercocok tanam, para petani melalui kemampuan
entrepreneurship-nya diharapkan mampu melakukan diversifikasi produk.
Purwiyatno Hariyadi, Kepala Southeast Asian Food & Agricultural Science &
Technology Center IPB (Tabloid Kontan No 22, Maret 2006) mengatakan, selama
tanaman padi hanya dimanfaatkan secara terbatas, hasil utama dari kegiatan
petani hanyalah beras. Oleh karena itu pengembangan industri berbasis padi
harus dikembangkan untuk menghasilkan berbagai produk turunan berbasis padi,
dan melahirkan berbagai industri lainnya yang menggunakan bahan baku dari
beras. Misalnya pemakaian beras dan pati beras sebagai ingredient pangan. Hal
ini sudah sangat berkembang di negara-negara maju yang justru bukan pengonsumsi
beras.
Dedak atau bekatul padi (rice bran) ternyata mengandung fitokimia, dan
berbagai vitamin seperti Thiamin, niacin, vitamin B-6, dan mineral seperti
besi, fosfor, magnesium serta potassium. Oleh karena itu dedak padi berpotensi
untuk digunakan dalam berbagai industri pangan, farmasi dan makanan suplemen.
Potensi lain dedak adalah, menjadikan ekstrak minyak dedak. Berdasarkan
penelitian, minyak dedak ini ternyata memiliki kualitas tinggi dan bermanfaat
untuk mengurangi kolesterol dalam darah. Demikian juga tepung beras yang
mempunyai sifat fisik dan sensosi yang khas, mempunyai potensi untuk
menyubstitusi tepung lainnya (khususnya tepung terigu). Selain itu tepung beras
bisa diproses secara ekstrusi menjadi berbagai produk pasta, keripik (chips)
dan produk makanan ringan lainnya. Tepung beras ini bisa diperoleh dari beras
pecah ukuran 3/4 ukuran biji beras utuh. Beras pecah ini umumnya dipisahkan
dari beras utuh (kepala), dengan demikian beras patah ini hasil sampingan dalam
proses penggilingan padi.
Kemampuan melakukan diversifikasi produksi pertanian secara kreatif dan
inovatif merupakan salah satu ciri petani yang memiliki kemampuan
entrepreneurship. Dalam arus globalisasi dunia yang notabene terjadinya proses
kompetisi yang sangat ketat, terutama untuk menghadapi negara-negara industri
maju yang terlebih dahulu telah menguasai pasar, dibutuhkan peningkatan
kemampuan kewirausahaan para petani.
Peter Drucker, salah seorang pakar manajemen, mengatakan bahwa perusahaan
(usahawan) yang tidak berinovasi pasti akan menua dan merosot. Dan dalam
masa-masa dimana terjadi perubahan cepat seperti sekarang ini, yaitu periode
wirausaha, kemerosotan itu akan menjadi lebih cepat. Diantara hegemoni
kepentingan pengusaha negara adidaya dan kepentingan korporasi transnasional,
sehingga pemerintah Indonesia terpaksa mengikuti kecenderungan idiologi
globalisasi.
Maka para petani yang merupakan sebagian besar profesi masyarakat Indonesia,
membutuhkan keberpihakan, terutama untuk menjadikan hasil produksi pertanian
sebagai sumber kesejahteraan. Untuk mewujudkan hasil pertanian yang ekonomis
dibutuhkan kemauan pemerintah untuk memberdayakan para petani menjadi petani
yang memiliki keterampilan ber-wirausaha (entrepreneurship) secara kreatif dan
inovatif.
Terutama untuk meningkatkan kemampuan petani dalam menghadapi kecenderungan
pasar yang lebih liberal dan menjadikan para petani menjadi tuan di negerinya
sendiri. Bukan menjadikan petani sebagai objek eksploitasi kepentingan bisnis
orang-orang yang tamak, rakus dan imperialistik. Sesuai dengan harapan dan
cita-cita para the founding father bangsa kita yang telah memerdekakan
Indonesia sebagai pintu gerbang menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar