Menjelang memasuki putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta yang akan dilaksanakan pada bulan September 2012 yang akan datang suhu atmosfir politik Jakarta akan semakin panas dan akan dipenuhi dengan berbagai adu strategi dan taktik dari kedua belah pihak calon gubernur yang akan berlaga pada putaran kedua ini.
Sengitnya kompetisi diantara kedua pasangan ini dalam putaran kedua yang dianggap sebagai tahap pemungkas menentukan siapa yang berhak menjadi Gubernur Jakarta terpilih merupakan suatu hal yang lumrah mengingat ajang pemilihan Gubernur Jakarta memiliki nilai prestisius dan mempengaruhi eksistensi partai-partai politik besar yang mengusung ataupun yang kemudian ikut bergabung mendukung salah satu calon.
Selain pemilihan Gubernur Jakarta dianggap sebagai sebuah barometer untuk mengukur elektabilitas partai-partai politik dan menguji efektifitas perputaran roda organisasi partai, pemilihan gubernur Jakarta kali ini tidak terlepas dari perspektif konstelasi politik nasional yang sedang berjalan, yaitu kompetisi antara Partai Pendukung Pemerintah versus Partai Oposisi.
Partai politik yang mendukung Foke-Nara dapat dikategorikan sebagai kumpulan partai-partai politik yang selama ini mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan yang mendukung pasangan Jokowi-Ahok merupakan partai politik oposisi.
Kompetisi antara penguasa dan oposisi ini menjadi sebuah “Test Case” atau ujian yang menantang dan menarik bagi partai-partai politik yang memiliki perolehan suara signifikan pada pemilihan umum legislatif yang lalu, dan ajang pemilihan gubernur Jakarta kali ini juga dianggap sebagai uji coba pemilihan umum yang akan datang.
Oleh karena itu maka wajar jika pada putaran kedua yang segera akan berlangsung suhu kompetisi diantara kedua kubu akan berada dalam persaingan sangat ketat. Kedua belah pihak akan berupaya sekuat mungkin memenangkan calon yang diusungnya dengan mempergunakan bermacam-macam cara, strategi dan taktik. Maka dikuatirkan akan muncul beberapa strategi yang tidak edukatif serta mengarah kegerakan yang dipandang tidak sportif, bahkan menjurus kepada sikap menghalalkan segala cara.
Strategi atau taktik yang dipandang bernilai minus ini semestinya tidak terjadi di pemilihan Gubernur Jakarta karena Jakarta merupakan kampung besar yang dihuni oleh sebagian besar para elit politik nasional, orang yang dianggap memiliki pendidikan mumpuni, masyarakat yang menjadi pola anutan bagi masyarakat daerah dan yang terpinting Jakarta adalah barometer politik nasional.
Apa yang terjadi di Jakarta akan menjadi asupan yang mudah menjalar ke ruang pemikiran masyarakat daerah dan menjadi contoh yang paling gampang menyebar bagaikan virus kealam pemikiran masyarakat daerah, oleh karena itu kita sangat berharap atmosfir politik pemilihan Gubernur Jakarta akan dapat memberikan nuansa “pembelajaran” bagi seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Pada putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta yang baru saja berlalu ada satu “pembelajaran penting” dan menarik sebagai bahan perbandingan serta mampu meretas kebekuan pemikiran yang berkembang selama ini, yaitu kemenangan Jokowi dianggap sebagai sebuah fenomena baru, dan merupakan sebuah pelajaran berarti bagi semua masyarakat Indonesia.
Selama ini masyarakat telah diselimuti oleh sikap apatis terhadap praktek kehidupan politik nasional yang dianggap tengah berjalan tidak sebagaimana mestinya harapan masyarakat, para politisi dan khususnya partai politik dipandang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, partai politik khususnya dinilai tidak mampu melahirkan calon pemimpin baru dan partai politik dianggap sebagai motor utama yang melestarikan oligarki, yaitu mendukung dan membela segelintir orang untuk menguasai jagat kehidupan politik dan ekonomi berdasarkan kemampuan kekuasaan dan kekuatan uang.
Keberhasilan pasangan Jokowi sebagai pemenang dalam putaran pertama pemilihan gubernur Jakarta dianggap masyarakat sebagai sebuah cahaya baru dan harapan baru terbukanya pintu munculnya calon-calon pemimpin yang berasal dari luar lingkaran kekuasaan yang selama ini dianggap telah mapan, dan hanya dari serta untuk kepentingan mereka sendiri. Angin segar ini telah berhembus kencang keseluruh penjuru pelosok daerah dan menjadi salah satu fenomena yang hangat diperbincangkan serta menjadi harapan yang diinginkan dapat juga terjadi di daerah masing-masing.
Namun ditengah euforia tersebut, akhir-akhir ini mengemuka beberapa berita yang menodai pemilihan gubernur Jakarta tersebut, misalnya munculnya unsur “SARA” . Ini merupakan salah satu contoh pembelajaran yang tidak produktif dan merupakan virus berbahaya yang mengoyak rasa kedamaian kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan dalam putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta dikuatirkan bentuk-bentuk gerakan yang dianggap tidak mendidik ini akan tetap berlangsung bahkan boleh jadi akan muncul bentuk-bentuk yang lebih baru lagi.
Salah satu bentuk yang diprediksi bakal muncul dalam kompetisi putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta adalah politik PEMBUNUHAN KARAKTER atau MENGHANCURKAN REPUTASI, yaitu dengan cara memanipulasi fakta dengan cara melebih-lebihkan dengan tujuan merusak citra dan nama baik salah satu calon. Hal ini sangat terbuka kemungkinannya untuk timbul karena persaingan yang akan terjadi akan berlangsung sangat sengit dan merupakan momentum mempertaruhkan harga diri.
Salah satu berita yang baru saja muncul ditengah-tengah dunia maya, khususnya jejaring sosial Twitter adalah berita dugaan “KORUPSI JOKO WIDODO DALAM KASUS PENGALIHAN ASSET PEMKOT SOLO HOTEL MALIYAWAN”. Benar atau tidaknya dugaan ini mesti dibuktikan lebih lanjut dan merupakan pekerjaan penting bagi penegak hukum, dan siapa pun tidak akan bisa membenarkan apabila betul ada tindakan melawan hukum dilakukan Joko Widodo dalam dugaan kasus ini.
Namun yang menjadi pertanyaan menarik adalah apakah kemunculan berita ini benar-benar murni sebagai upaya penegakan hukum ? Jangan-jangan ini merupakan salah satu bentuk gerakan terselubung untuk menghancurkan reputasi Joko Widodo yang tengah naik daun dan sedang harum-harumnya ditengah atmosfir kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini.
Ketika wartawan menanyakan hal ini kepada juru bicara KPK Johan Budi, jawaban yang diberi Johan menjanjikan bahwa KPK pada hari Senin yang akan datang (27 Agustus 2012) akan menyelusurinya terlebih dahulu ke bagian DUMAS (Pengaduan Masyarakat) KPK. Dugaan ini memang bukan merupakan hasil temuan KPK melainkan berdasarkan hasil pengaduan yang pernah dilakukan oleh salah satu tokoh masyarakat di Solo.
Mencermati berita yang sedang berkembang ini maka wajar muncul pertanyaan yang menggugat motif apa yang terselubung dibalik mengemukanya dugaan kasus yang dianggap berkaitan dengan sepak terjang Jokowi, dan kenapa hal tersebut baru sekarang muncul ditengah-tengah akan berlangsungnya putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta ?
Dugaan kasus yang menimpa Joko Widodo ini merupakan peluru baru yang akan menyasar reputasi Joko Widodo yang sudah kadung menanjak tinggi di tengah-tengah konstituen pemilihan gubernur Jakarta dan menjadi buah bibir ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Akankah kasus ini akan menjadi pukulan telak yang menghancurkan reputasi atau performance Joko Widodo menuju putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar