Pidato Bung Njoto
Membicarakan Sosialisme Indonesia berarti membicarakan hari depanRevolusi Indonesia.Manifesto Politik RImengatakan dengan jelas; “hari depan Revolusi Indonesiabukanlah menuju ke kapitalisme, dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme…hari depan Revolusi Indonesiaadalah masyarakat adil dan makmur, atau … Sosialisme Indonesia”. Perumusan Manipoltentang hari depan revolusi ini hanya dapat dipahami dengan tepat, bila orangmemahami dengan tepat pula apa itu kapitalisme, apa itu feodalisme, dan apa itusosialisme. Hal ini perlu saya tekankan karena sampai sekarang masih terlalubanyak orang yang menyatakan dirinya: antikapitalisme, dan antifeodal, tetapitidak tahu apa sesungguhnya kapitalisme itu, juga tidak tahu apa sesungguhnyafeodalisme itu. Begitu pun terlalu sering masih orang-orang menamakan dirinya:prososialisme; tanpa mengetahui apa sosialisme yang sebenarnya itu.
Apa akibat dari ketidakjelasan soal-soal ini? Akibatnyabermacam-macam. Adaorang yang menganggap Uni Soviet misalnya imperialis: “imperialismerah”; dan RRT juga imperialis: “imperialis kuning”; padahal Uni Soviet danRRT adalah jelas-jelas negara-negara yang bukan saja antiimperialis, tetapisudah sosialis. Sebaliknya ada orang-orang yang menganggap, misalnya, Burma itu suatu negeri sosialis; hanya karenakaum sosialis pernah memegang pemerintahan di sana,padahal Burma itu, tidakbeda dengan Indonesia.Indiadan banyak negeri lainnya, adalah negeri yang belum merdeka penuh dan masihsetengah feodal. Perkara Burmaini belum seberapa. Ada malahan orang-orang yangmengira kerajaan Inggris itu negeri sosialis, juga karena yang memerintah di sana pernah LabourParty yang sering disebut sebagai partai sosialis itu. Lelucon ini jadinyatidak lucu lagi! Pertama, di manalah di dunia ada kerajaan yang sosialis! Jikakerajaan-kerajaan pada sosialis, Lenin dulu tak perlu repot-repot memimpinRevolusi 1917, sebab Rusia ketika itu toh sudah Rusia Tsar, Rusia kerajaan …lagipula agak sukar membayangkan bahwa seorang Elizabeth atau seorang Hirohitoatau seorang Juliana bisa sosialis; … Nederland juga pernah diperintah olehPartij van der Arbeid, Partai sosialis. Tetapi apakah dengan begitu Nederland jadi sosialis? Adalahpemerintah sosialis Nederlanditu yang di tahun 1947 melancarkan perang kolonial terhadap kita!
Seratus limabelas tahun yang lalu KarlMarx dan Friedrich Engels menerangkankepada kita supaya berhati-hati dengan sosialisme, sebab, demikian Marx danEngels, selain “sosialisme proletar”, juga ada “sosialisme borjuis kecil”,“sosialisme borjuis” bahkan “sosialisme feudal”. Dengan pengalaman Inggris dan Nederland di atas makakita harus menambahkan bahwa selain “sosialisme kerajaan” itu masih ada lagi“sosialisme kolonial”! Macam lain dari kekisruhan mengenai sosialisme adalahkenyataan bahwa ada orang-orang yang sendirinya seorang kapitalis tetapimemaklumkan diri ke mana-mana sebagai orang antikapitalis. Kalau ditanya, “Lhasaudara ini apa?”, cepat-cepat dia menjawab: ”Saya kapitalis nonkapitalis” ataumalahan, ada yang bengal dengan mengatakan:”Saya kapitalis marhaen”, “Sayakapitalis murba”, atau “Saya kapitalis jelata”. Sungguh kapitalis jenaka!
Adakekisruhan macam lain lagi. Bulan yang lalu pernah saya lihat di Jember sinisemboyan yang mengatakan seakan-akan;”ciri khusus landreform Indonesiaadalah “nonkomunis” dan “antikapitalis”. Perkara ”nonkomunis” baiklah sayatidak beri komentar sekarang, karena komentar pun sebetulnya berkelebihan.Cobalah kita camkan: landreform adalah redistribusi atau pembagian kembalitanah dengan jalan memberikan milik individual kepada kaum tani. Inilahlandreform yang tepat, dan landreform ini disokong selain olehgolongan-golongan lain, juga dan barangkali terutama oleh kaum komunis Indonesia. Jadisoal non-atau tidak nonkomunis tidak menjadi soal sama sekali. Sekarang, apakahlandreform Indonesiaitu benar harus antikapitalis? Dari persoalan ini jelas bahwa masih ada orangyang tak tahu bedanya kapitalisme dari feodalisme. Sasaran landreform adalahfeodalisme, tuan-tuan tanah, dan bukan kapitalisme! Tentu bagi kita adapersoalan menghapuskan sama sekali konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah,tetapi yang dipersoalkan oleh Undang-undang Pokok Agraria adalah tanah-tanahkelebihan pada Tuan-tuan Tanah Bumiputera, Tuan-tuan Tanah Feodal.Presiden Sukarno menerangkan di dalam; “Djarek” (Djalannya Revolusi); bahwalandreform itu tujuannya; “mengakhiri pengisapan feudal secaraberangsur-angsur”.
Kita lihatlah betapa kisruhnya soal-soal jadinya, jikapengertian-pengertian kapitalisme dan sosialisme tidak jelas. Ada yang setuju dengan “sosialisme ilmiah”,ada yang tidak menyetujuinya. Tetapi kita sudah sekali hidup dalam abad ilmu,abad atom dan nuklir, sputnik dan kapal ruang angkasa, dan bukan lagi dalamabad takhayul atau mistik. Kita menyuruh anak-anak kita pergi ke sekolahmenuntut ilmu, tidakkah aneh jika bapak-bapaknya menghindari ilmu? Jugapengertian-pengertian harus ilmiah, termasuk pengertian-pengertian tentangkapitalisme, feodalisme dan sosialisme.
Untuk menyebarkan ilmu secara populer dan masal inilah sayakira salah satu tujuan utama UNRA (Universitas Rakyat). Benar UNRA bukan suatuinstitut universiter, tetapi mutu ilmiah akan tetap dijaga tinggi dalam UNRAdan tujuan mendekatkan ilmu kepada rakyat atau mendekatkan rakyat kepada ilmu,kiranya adalah suatu tujuan ilmiah yang serasi dengan denyut nadi jaman.Demikian pun tujuan meniadakan jurang antara teori dan praktek, terutama teorirevolusioner dan praktek revolusioner. Apakah Sosialisme Indonesia itudan bagaimana harusnya dia kita selenggarakan?
Saya ingin memulai dengan suatu logika yang sederhana tetapikeras: Sosialisme adalah Sosialisme. Juga ini bukannya tak ada gunanya sayatekankan, sebab ada yang mengartikan ;”Sosialisme Indonesia”; itu hanya darisudut kekhususan-kekhususan, keistimewaan-keistimewaan, perlainan-perlainan,dan malahan pertentangan-pertentangan dengan “sosialisme-sosialisme lain”.;Pembela-pembela “sosialisme istimewa”; ini biasanya mengatakan: “SosialismeIndonesia bukan Sosialisme Soviet, bukan Sosialisme Tiongkok, bukan SosialismeKuba”; Saya cuma khawatir jangan-jangan yang dimaksudkan oleh mereka adalahbahwa Sosialisme Indonesia itu bukan …Sosialisme!
Kekhususan Sosialisme Indonesia tentu saja ada, tetapiapakah ada kekhususan jika tak ada keumuman? Apakah ada yang khusus jika takada yang umum? Kita ambilkan misal ini: “Simin manusia khusus”; Tetapi setiapkita tahu bahwa tidak akan ada itu manusia Simin jika tak ada manusia.Lagipula, sekalipun Simin itu manusia khusus, tetapi dia toh manusia juga:kepalanya satu, tangannya dua, kakinya dua, melihat bukan dengan telingamelainkan dengan mata, berpikir bukan dengan punggung melainkan dengan otak,dsb. Sebab, sekiranya Simin itu berpikir tidak dengan otaknya, saya kira kitatidak akan berkata “Simin itu manusia khusus”, melainkan Simin itu manusiaabnormal, atau bukan manusia sama sekali! Oleh sebab itu Sosialisme adalahSosialisme, Sosialisme Indonesiaadalah Sosialisme Indonesia;dia bercorak Indonesia,tetapi dia Sosialisme.
E. Utrech S.H., ketika sebagai sesama anggota DewanPertimbangan Agung bersama-sama saya mengadakan indoktrinasi Manipol ke NusaTenggara, merumuskan soalnya sebagai berikut:
”Sosialisme Indonesiaadalah sosialisme yang diindonesiakan, atau Indonesia
yang disosialiskan”; Saya kira perumusan sarjana ini bukan perumusan seorangprofesor linglung, melainkan perumusan yang obyektif benar. Mari
yang terang, bahwa Sosialisme Indonesia adalah;”sosialisme yang disesuaikandengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan alam Indonesia,dengan rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaanrakyat Indonesia”. Kita perhatikanlah: “sosialisme yang disesuaikan…” dsb.,tetapi yang disesuaikan itu adalah tetap sosialisme, dia harus tetapsosialisme. Saya ingin mengambil contoh yang lain: apa misalnya yang kita sebutlukisan Indonesia tentanggunung Himalaya? Saya kira, ini berarti sebuahlukisan gunung Himalaya yang dikerjakan oleh seorang pelukis Indonesia, dan yang menggunakan gayaIndonesia, pengolahan Indonesia, visi Indonesia. Tetapi saya kiraseindonesia-indonesianya lukisan Himalaya, dia tidak boleh menyulap bentuk Himalaya hingga menjadi seperti gunung Argopuro atauRaung! Sosialisme adalah suatu susunan social atau sistem masyarakat yangberdasarkan pemilikan bersama atas alat-alat produksi. Saya minta perhatian:alat-alat produksi. Jadi, bukan atas meja-kursi, buku-buku, tempat tidur,sepeda, dan sebagainya. Dalam sosialisme proses produksi berlangsung secarasosial, demikian pun hasil-hasilnya dikenyam secara sosial. Ini berarti bahwasosialisme itu bukan kapitalisme yang produksinya berlangsung social (kalautidak ada kaum buruh yang banyak itu tidak akan ada produksi kapitalis!) tetapihasil-hasilnya masuk ke kantong si kapitalis saja,jadi asosial.
Sosialisme tidak boleh disederhanakan menjadi “sama ratasama rasa”, di mana orang yang bekerja berhak makan dan orang yang tidakbekerja juga berhak makan, atau di mana si rajin mendapat persis sama dengan simalas. Sebaliknya, dalam sosialisme hanya yang bekerjalah yang berhak makan,sedang yang tidak bekerja tidak berhak atas makan. Begitu pun, si malas takakan mendapat sebanyak si rajin. Kian rajin akan kian banyaklah pendapatannya.
Seperti dikatakan oleh Karl Marx: “Dalam sosialisme manusiabekerja menurut kemampuannya dan mendapat menurut prestasi atau hasil kerjanya”Pendeknya, sosialisme adalah masyarakat tanpa exploitation de l’homme parl’homme, tanpa pengisapan oleh manusia atas manusia, seperti berulang-ulangdinyatakan oleh Bung Karno. Demikianlah sifat-sifat umum yang pokok darisosialisme, juga dari Sosialisme Indonesia. Bung Aidit sudah pernahmemperingatkan: janganlah ”Sosialisme Indonesia”; itu diartikan sosialisme;”yangbegitu khususnya”, sehingga kata sifat “Indonesia”; menjadi berarti;”denganpengisapan oleh manusia atas manusia”, sehingga “Sosialisme Indonesia”; berarti“sosialisme dengan pengisapan!”
Kalau ada “sosialisme dengan pengisapan”, pastilah dia bukan sosialisme samasekali, pastilah dia bukan masyarakat yang adil dan makmur. Sebab, pengisapanitu bukan keadilan, dan dengan pengisapan tidak mungkin ada kemakmuran. Maksudsaya kemakmuran buat semua, sebab, kemakmuran buat si pengisap tentu saja bisa.
Tamu-tamu dari Eropa, yang datang ke Asia dengan berkunjungdulu ke India, baru ke Indonesia, banyak yang mengatakan kepada saya:”Indonesiaini saya lihat relatif makmur”; “Makmur bagaimana?”;, Tanya saya.Jawabnya;”Dibandingkan dengan India”Memang, saya sendiri sudah tiga empat kali ke India. Orang mati menggeletak dipinggir jalan, yang di sini hanya terdapat di jaman fasisme Jepang dan yangsesudah Republik merdeka hampir-hampir tak pernah kita jumpai, di India sanamasih gejala sehari-hari. Toh P.M.Jawaharlal Nehru menamakan India itu suatu“negeri sosialis”. Ketika saya tanya kepada teman Indiasaya yang baik, Bupesh Gupta, “Sosialisme India itu sosialisme macam apa?”,teman saya itu menjawab, “sosialisme dengan kemiskinan”. Bahwa “sosialisme” itutidak selalu sosialisme, dan bahwa ada macam “sosialisme”; yang sesungguhnyabukan sosialisme, juga bisa kita saksikan dari kejadian-kejadian beberapa waktuyang lalu di dunia Arab.
Presiden Gamal Abdel Nasser, seperti diketahui, secarapandai telah memasukkan Suriah ke dalam gabungan dengan Mesir, ke dalam“Republik Persatuan Arab”. Presiden Nasser memaklumkan bahwa RPA adalah negeri“sosialis”; yang berasaskan “sosialisme á la Arab”. Beberapa waktu kemudian,setelah rakyat Suriah, mulai buruhnya sampai burjuasinya, mengalami apa artinyaberada di dalam RPA, mereka memilih kembali jalan menentukan nasib sendiridengan merenggutkan diri dari Mesir dan mendirikan kembali Suriah merdeka.Republik Suriah ini kemudian memaklumkan “sosialisme”; juga: “sosialisme sejati”.Nah, kita lihatlah, “sosialisme”, ditentang oleh “sosialisme”; “sosialisme á laArab”, ditentang oleh “sosialisme sejati”.
Di Indonesia ini ada yang mengira bahwa sosialisme itu akanterselenggara jika kita melakukan “indonesianisasi”. Ini jugalah sebetulnyayang dilakukan oleh Mesir. Menurut Ali Sabri, menteri Mesir yang tugasnyamendampingi presiden, di sana dilakukan apa yang disebutnya “arabisasi” ataubahkan “mesirisasi”. Bahwa “indonesianisasi”, saja belum berarti perbaikan, halini dapat diterangkan dari dua sudut. Pertama, siapa yang mengadakan“indonesianisasi” itu; Kedua, siapa orang-orang Indonesia yang ditugaskanmenggantikan kedudukan-kedudukan orang-orang asing. Pasal siapa yangmenugaskan, juga siapa yang ditugaskan ini, penting sekali.
Pada suatu hari diberitahukan kepada anggota-anggotaparlemen kita, bahwa pada tanggal sekian jam sekian akan datang wakil-wakildari BPM-Shell.Anggota-anggota parlemen sudah mengasah bahasa Inggrisnya,tahu-tahu yang muncul orang-orang berkulit sawo matang, bermata hitam, berambuthitam. Inilah “indonesianisasi” oleh BPM-Shell. Juga apabila yang menugaskan“indonesianisasi”; itu pihak Indonesia, termasuk pemerintah Indonesia, belumlahtentu bahwa yang ditugaskan dalam “indonesianisasi”; itu orang-orang Indonesiayang patriotik dan cakap. Bukankah Presiden Sukarno berkali-kali mencanangkantentang masih adanya orang-orang “blandis”, orang-orang yang hollands-denken,dan bukankah kita dalam masyarakat terkadang menjumpai orang-orang yang bahkanmerasa “lebih Belanda daripada si Belanda? Ya, jika seandainya setiap“indonesianisasi”; sudah beres, tentulah Manipol tidak perlu menggariskankeharusannya retooling, dan tentulah Resopim tidak perlu menggariskankeharusannya membersihkan segala aparat dari “pencoleng-pencoleng”. Sosialismebukanlah suatu sistem ekonomi semata. Dia suatu sistem sosial yang menyeluruh.Dia ya sistem ekonomi, ya sistem politik, ya sistem kultural, ya malahan systemmiliter.
Dalam pidatonya 1 Juni 1945, yaitu “Lahirnja Pantja Sila”yang diucapkan tatkala kaum militer-fasis Jepang masih di Indonesia sini, BungKarno-ketika itu belum Presiden RI-antara lain berkata: “Jikalau kita memangbetul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kitaterima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaanpolitik … tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan,artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya”. Dalam pidato itu juga yangsangat saya anjurkan untuk dipelajari sungguh-sungguh oleh setiap manipolis,Bung Karno juga menganjurkan “cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan carayang berkebudayaan!”
Apakah hakikat sosialisme di lapangan ekonomi, di lapanganpolitik kebudayaan?
Prinsip-prinsip sosialisme di lapangan ekonomi sudah sayabentangkan tadi, sekalipun secara cekak-aos. Bagaimana bisa ada “sosialisme”;yang pemilikan alat-alat produksinya tidak bersifat sosial, sedang UUD’45 punmenggariskan pada pasal 33-nya: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersamaberdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting baginegara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Bumidan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dandipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya”. Kalau dalam UUD’45sudah demikian, apa pula dalam sosialisme nanti. Di lapangan politik sosialismeharuslah berarti kekuasaan politik di tangan rakyat, dalam arti yangsesungguh-sungguhnya, kedaulatan rakyat yang bukan hanya semboyan, tetapi kenyataan.Mayoritas terbesar rakyat di negeri kita adalah kaum buruh dan kaum tani. Olehsebab itu wajarlah apabila mereka, kaum buruh dan kaum tani itu, yang harusmengurusi dirinya sendiri dan mengurusi urusan-urusan kenegaraan umumnya. Jikatidak ada ini, maka pastilah akan terjadi apa yang dikatakan Jean Jauresseperti yang dikutip oleh Bung Karno dalam pidato “Lahirnja Pantja Sila”,yaitu:“Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu di dalam parlemen dapatmenjatuhkan minister. Ia seperti raja! Tetapi di dalam dia punya tempatbekerja, di dalam pabrik, sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapatdilemparkan ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”. Jikaseperti yang dikatakan Jean Jaures dan Bung Karno ini masih terjadi, itutandanya masyarakat masih berada dalam susunan kapitalis, betapa pundemokratisnya, dan belum berada dalam susunan sosialis! Manipol pun sudahmenetapkan bahwa “Revolusi Indonesiaharus mendirikan kekuasaan gotong royong, kekuasaan demokratis yang dipimpinoleh hikmah kebijaksanaan, yang menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatannasional, seluruh kekuatan rakyat”. Dalam mendefinisikan “seluruh kekuatannasional” ini Manipol mengatakan: “
“Seluruh rakyat Indonesiadengan kaum buruh dan kaum tani sebagai
kekuatan pokoknya. Jadi: kekuasaan gotong-royong… yang menjamin
terkonsentrasikannya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat…dengankaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya.”
Argumentasi bagi garis Manipol ini bahkan sudah diberikan Bung Karno tujuhbelastahun yang lalu dalam pidato yang saya tak jemu-jemu menyebutkannya, yaitu“Lahirnja Pantja Sila”, yang antara lain berbunyi: “Jikalau saya peras yanglima (Pancasila) menjadi tiga, dan tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satuperkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong.’ Negara Indonesia yangkita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara GotongRoyong!”. Demikianlah Bung Karno merumuskan cita-citanya. Tidaklah perlu sayaberikan redenasinya, tentulah Sosialisme Indonesia di lapangan politiksedikitnya harus menjalankan asas Sukarno tentang kenegaraan ini.
Bagaimana Sosialisme Indonesia di lapangan kebudayaan?Ketika pemuda-pemuda revolusioner yang bekerja ilegal di jaman Jepangmempersiapkan kemerdekaan Indonesia mendatangi Sutan Sjahrir di hari-hariAgustus 1945, Sjahrir mengatakan bahwa Indonesia “belum matang” buat merdeka,bahwa “paling sedikit dibutuhkan lima tahun sampai rakyat Indonesia bisamerdeka”. Melihat keadaan yang belum baik sekarang ini, mungkin ada orang yangakan berkata, “Kalau begitu Sjahrir betul juga sudah enambelas tahun lebih kitamerdeka, kita belum bisa membereskan ekonomi dan soal-soal lain”. Pikiranbegini adalah pikiran berbahaya sekali! Sebelum kita bicarakan ekonomi beresatau tidak beres, pertama-tama dan di atas segala-galanya harus kitapersoalkan: kalau Proklamasi 17 Agustus 1945 ditunda apakah sekarang ini akanada Republik Indonesia!Saya tak tahu apa akan jadinya Indonesia ini dalam hal begitu, tetapi kalau puntidak Jepang atau Belanda menjajah kita kembali, maka imperialis-imperialislain seperti Inggris,Amerika, Pernacis, Belgia, Portugal dan Jerman Barat,kalau tidak salah satu dari mereka menjajah kita, semuanya menjajah kitabersama-sama. Sehingga, Indonesia ini merupakan suatupolikoloni, menjadi ajang penjajahan kolektif oleh kaum imperialis, mungkinlangsung, mungkin pula
dengan bendera PBB seperti halnya di Korea Selatan atau Kongo sekarang. BungKarno, dalam pidatonya ijinkanlah saya mengutipnya lagi “Lahirnja Pantja Sila”;berkata: “Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet Rusia Merdeka, telahmempunyai Dnieprpetrovsk, dam yang mahabesar di sungai Dniepr? Apa ia telahmempunyai redio-stasion, yang menyundul angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-keretaapi cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusiapada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia Merdeka telah dapat membaca danmenulis?
Tidak, tuan-tuan yang terhormat!
Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah,Lenin baru mengadakan radio-stasion, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakancreche, baru mengadakan Dnieprpetrovsk! Maka oleh karena itu saya minta kepadatuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlahmengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalausudah selesai, baru kita dapat merdeka… apakah saudara-saudara (sekarang) akanmenolak serta berkata; “Mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesaidulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka.!. DalamIndonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengankinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghiilangkanpenyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdekakita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdekakita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya”. Demikianlah Bung Karno tujuhbelastahun yang lalu.
Sekarang, sudah ada plan buat memberantas butahuruf sampaitahun 1964, dan Manipol pun mengatakan bahwa “kita bergerak tidak karena‘ideal’ saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian,ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukupmeminum seni dan kultur – pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikannasib di dalam segala bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya”. Dan saya kiraPresiden Sukarno tidak salah, bila beliau berkata kemudian dalam Manipol itupula bahwa “perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus prosen, bilamanamasyarakat sudah tidak ada lagi kapitalisme dan imperialisme”, jadi, bilamanasudah terselenggara masyarakat sosialis.
Demikianlah “sosialisme”; yang disesuaikan dengankondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, ”itu tidak mungkinberarti diingkarinya ciri-ciri umum sosialisme, seperti penghapusan pengisapanoleh manusia atas manusia, perbaikan nasib… 100% dsb. Mengingkari sifat-sifatkhusus Sosialisme Indonesiaberarti bahwa ia bukan sesuatu yang bersifat Indonesia;mengingkari sifat-sifat umum Sosialisme Indonesia berarti, bahwa ia bukansosialisme sama sekali. Kekhususannya harus diintroduksikan, tetapi
keumuannya harus dipertahankan. Beginilah dan hanya beginilah kita bisaberbicara tentang Sosialisme Indonesia.
Apakah sosialisme sebagai perspektif Revolusi Indonesia ituterjamin akan tercapai? Ketua CC PKI dan Ketua Dewan Kurator UNRA, Bung Aidit,menerangkan bahwa perspektif Revolusi Indonesiatak mungkin lain daripada Sosialisme, “karena Revolusi Indonesia padatingkat sekarang adalah ditandai oleh kebangunan sosialisme dunia dankehancuran kapitalisme dunia”. Ini dinyatakan Bung Aidit dalam bukunyaMasjarakat Indonesiadan Revolusi Indonesia (MIRI), yang oleh ahli sejarah dan Kepala Arsip Negara,Drs. Moh. Ali dinamakan suatu buku sejarah modern Indonesia “yang tegas”. Tentangjaminan akan tercapainya perspektif
revolusi itu, Bung Aidit dalam bukunya tersebut menunjukkan, bahwa benarRevolusi Nasional-Demokratis akan menyingkirkan perintang-perintang bagiperkembangan kapitalisme, benar kapitalisme nasional sampai batas-batastertentu akan berkembang, tetapi ini hanya satu segi dari masalahnya, sedangsegi lainnya adalah bahwa akan ada juga “perkembangan faktor-faktor sosialisseperti pengaruh politik proletariat yang makin lama makin diakui kaum tani,intelegensia dan elemen-elemen burjuasi kecil lainnya; perusahaan-perusahaannegara dan koperasi-koperasi kaum tani, kaum kerajinan tangan, nelayan dankoperasi-koperasi rakyat pekerja lainnya.
Semua ini adalah faktor-faktor sosialis yang menjadi jaminan bahwa hari depanRevolusi Indonesiaadalah Sosialisme dan bukan Kapitalisme.
”Bagaimana sekarang menyelenggarakan sebaik-baiknyaSosialisme Indonesiaitu?”. Dalam “Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berentjana,”, yangberarti juga “Djarek”; dan “Membangun Dunia Kembali”, oleh MPRS telah disahkansebagai pedoman pelaksanaan Manipol, Presiden Sukarno dengan keras mengritik disatu pihak golongan “evolusionis”, karena “teori yang demikian itu adalahsalah”, dan pihak lain golongan “melompat”; atau “fasensprong”; karena “teoriyang demikian itu pun tidak benar”. Saya menyokong kritik terhadap di satupihak “evolusionisme”; dan di pihak lain “fasensprong” ini, karena yang pertamaakan berarti penyelewengan ke kanan, oportunisme kanan atau reformisme, sedangyang kedua akan berarti penyelewengan ke kiri, oportunisme kiri atauradikalisme. Baik yang pertama maupun yang kedua akan membikin perjuanganmandek di jalan, sosialisme tidak tercapai dan revolusi gagal. “Evolusionisme”;berarti tidak mengganti sarana-sarana lama dengan sarana-sarana baru, berartitidak menjebol kekuasaan lama dan mendirikan yang baru, berarti “sumonggo dawuhdan monggo kerso serta sendiko dalem alias menyerah-isme”. Perjuangan harusrevolusioner, dan tidak evolusioner,tidak reformis “Fasensprong”; berartimelompati apa yang tidak boleh dilompati, yaitu fase revolusinasional-demokratis, berarti memimpikan yang tidak-tidak, berarti antirealis,alias avonturisme.
Perjuangan harus obyektif dan tidak subyektif, tidakacak-acakan atau awur-awuran. Kita sekarang berada dalam fase revolusi nasionaldan demokratis, artinya, revolusi melawan imperialisme dan melawan feodalisme.Fase revolusi ini tidak boleh kita takuti, dia harus kita tempuh. Perincian“Djarek” menegaskan: “Jelaslah, ada dua tujuan dan dua tahap Revolusi Indonesia: Pertama, tahap mencapai Indonesia yangmerdeka penuh, bersih dari imperialisme-dan yang demokratis-bersih darisisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harus diselesaikan… Kedua, tahap mencapaiIndonesia ber-Sosialisme Indonesia,bersih dari kapitalisme dan dari exploitation del’homme par l’homme. Tahap inihanya bisa dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap pertama sudahdiselesaikan seluruhnya. “Bisakah dipikirkan perumusan yang lebih gamblangdaripada ini? Baiklah saya bahas tahap pertama, yang di satu pihak tak bolehditakuti dan di pihak lain tak boleh dilompati itu. Mengapa sasaran revolusikita sekarang imperialisme dan feodalisme? Ini mudah dipahami jika orang sukamengingat bahwa 20% dari wilayah tercinta kita, yaitu Irian Barat, masihdiduduki kaum imperialis. Juga jika diingat bahwa sebagian penting dariperekonomian kita, terutama minyak, masih dikuasai oleh kapital imperialisBPM-Shell, Stanvac dan Caltex. Andaikata kapital imperialis sudah tidak ada lagidi Indonesia, tentulahManipol tidak mengancam “semua modal Belanda, termasuk yang berada dalamperusahaan-perusahaan campuran, akan habis tamat riwayatnya sama sekali di bumiIndonesia”.Andaikata kapital imperialis sudah tidak ada lagi di Indonesia, tentulahManipol tidak mengancam modal monopoli asing yang bukan Belanda akandiperlakukan “sama dengan modal yang asalnya dari negeri Belanda”; artinya jugadibikin “habis tamat riwayatnya sama sekali di bumi Indonesia.“Antievolusionisme” berarti harus melaksanakan ketentuan Manipol ini. Jikasebaliknya, jika ketentuan-ketentuan Manipol ini tidak dijalankan dan jika kitatidak membikin habis tamat riwayatnya kapital imperialisme asing di bumiIndonesia, maka kita sesungguhnya-sadar ataupun tak sadar-menjalankanevolusionisme, menjalankan reformisme atau oportunisme kanan, kita sesungguhnyamenjadi takut kepada kemenangan revolusi!
Demikian yang mengenai imperialisme. Yang mengenaifeodalisme pun demikian pula. Andaikata feodalisme sudah habis, tentulah tidakada perlunya dibikin Undang-undang Bagi Hasil dan Undang-undang Pokok Agrariaatau Undang-undang Landreform. Ya, andaikata feodalisme sudah habis, tentulah“Djarek” tidak menegaskan bahwa “Revolusi Indonesia tanpa landreform adalahsama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, samasaja dengan omong besar tanpa isi“, tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa”melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian mutlak dari RevolusiIndonesia, dan tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa “tanah tidak bolehmenjadi alat pengisap”; “Djarek” tidak hanya berhenti di sini. Seakan-akankhawatir kalau politik landreformnya tidak akan dituruti oleh golongan-golongantertentu, maka Presiden Sukarno dalam “Djarek” itu juga menegaskan: ”Gembar-gembortentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, AmanatPenderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan landreform, adalah gembar-gembornyatukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen”! Jelaslah, bahwaantievolusionisme harus berarti setuju dan melaksanakan landreform. Jika tidaksetuju, dan tidak menjalankan landreform, maka disadari atau tidak orang sudahmenjalani evolusionisme, reformisme atau oportunisme kanan, orang sudah takutkepada kemenangan revolusi. Pendeknya kita harus awas-awas terhadap orang-orangyang “revolusi yes, landreform no”, atau “revolusi okay”, “menghabisi riwayatkapitalis imperialis tunggu dulu”. Di Sumatera Utara agak sering terjadiorang-orang berangkat ke luar negeri, pulang memakai jubah dan kupiah haji,padahal dia tidak ke Mekkah, cuma ke Singapura… inilah yang di Medan disebut“lebai Singapura”-mereka lebai-lebai palsu. Begitulah tidak semua orang yangmenyebut dirinya “revolusioner” adalah sesungguhnya revolusioner, ada jugarevolusioner palsu, ada revolusioner gadungan!
Saya sudah menguraikan perkara “evolusionisme”; di dalampraktek. Bagaimana “fasensprong”; di dalam praktek? Fasensprong tidak mau tahuakan revolusi nasional dan demokratis. Fasensprong mau langsung ke sosialisme,sekalipun syarat-syarat untuknya belum tersedia. Fasensprong mengobrak-abrikpengusaha-pengusaha nasional dan pengusaha-pengusaha kecil, tetapi membiarkanpengusaha-pengusaha imperialis seperti BPM-Shell, Stanvac, Caltex dan Unilever.Mereka lebih hebat daripada “sosialisme dengan kemiskinan”; – mereka mau“sosialisme dengan imperialisme”! Terhadap masalah tanah, fasensprong tak mauambil perduli terhadap
perlunya pemilikan perseorangan oleh kaum tani atas tanah: mereka mau langsung“pengkoperasian” pertanian, atau yang tak kalah seringnya, mereka mau“menasionalisasi tanah-tanah”. Jelaslah, bahwa fasensprong sebetulnya tak laindaripada sabotase terhadap revolusi.
Bagaimana hubungannya antara tingkat revolusi yang pertamadengan tingkat yang kedua? Bung Aidit dalam karyanya Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesiamenulis bahwa; ”Dua tingkat revolusi, yang demokratis dan yang sosialis(adalah) dua proses revolusioner yang berbeda dalam watak, tetapi yang satudengan yang lainnya berhubungan. Tingkat pertama ialah persiapan yangdiperlukan untuk tingkat kedua, dan tingkat kedua tidak mungkin sebelum tingkatpertama selesai”. Menyelesaikan “tingkat pertama”; bukan hanya berartimenyelesaikan tugas-tugas ekonominya yang pokok-pokok, terutama terhadapkapital imperialis dan monopoli tuan tanah atas tanah. Menyelesaikan “tingkatpertama”; harus berarti juga dikerjakannya hal-hal yang mendesak sekali sepertimempraktekkan dan bukan hanya menyerukan semboyan “merombak ekonomi kolonialmenjadi ekonomi nasional”. Jika penghasilan negara terutama didapat daripajak-pajak, langsung maupun tak langsung, jika pajak-pajak yang sudah adadinaikkan dan pajak-pajak baru diadakan, dan jika tarif-tarif transpor,telekomunikasi dsb. dinaikan, juga jika harga minyak, gula, dan lain-lainnyadinaikkan, dan jika sebaliknya perusahaan-perusahaan negara tidak memberikansumbangan yang sepertinya kepada kas negara, apalagi jika karena belumdiberantasnya yang dikatakan Presiden Sukarno dalam Manipol “syaitan korupsi”;dan “syaitan garuk kekayaan hantam kromo”, maka semua ini menandakan semboyan“merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional”; baru semboyan yangdiserukan dan
belum semboyan yang dipraktekkan. Ketika memasuki tahun ke-2 Manipol, PresidenSukarno berkata: “Kita harus dengan lebih tegap melangkah untuk secarakonsekuen melaksanakan Manipol dan dalam tahun ke-2 Manipol Usdek ini kitaharus sungguh-sungguh nanpakken soal retooling ini benar-benar”. Kita sekarangsudah berada di tahun ke-3 Manipol, tahun batas bagi pelaksaan triprogramkabinet, bagi kabinet sendiri, bagi keadaan bahaya juga. Jika dalam tahun ke-2Presiden Sukarno sudah begitu menekankan mutlaknya melaksanakan secarakonsekuen Manipol dan nampakken soal retooling benar-benar,”apalagi sekarang ditahun ke-3 Manipol ini! Beberapa patah kata tentang Pancasila. Harus jelas bagisiapa pun, bahwa Pancasila itu sesuatu keutuhan integral yang tidak bolehdirenggut-renggut satu-satu silanya dari sila-sila lainnya, dan bahwa Pancasilaitu alat pemersatu. Jika Pancasila direnggut-renggut, maka bisa nanti atas nama“Kebangsaan”; misalnya orang menentang “Ketuhanan Yang Mahaesa”; atau“Kemerdekaan Beragama”; misalnya orang menentang “Kedaulatan Rakyat”; atau“Demokrasi Sosialisme di mana pun di dunia menjamin kemerdekaan beragama”.
Sosialisme Indonesiatak terkecuali. Sdr. KDH Sudjarwo dengan tepat menganjurkan “Pancasila” secarailmiah setaraf dengan interpretasi penciptanya,”; yaitu Bung Karno. Memangkalau kita bertolak dari “Lahirnja Pantja Sila”, pidato 1 Juni 1945 Bung Karnoyang sudah banyak saya kutip itu, dalam mebicarakan sila “Ketuhanan YangMahaesa”; Bung Karno menekankan “hormat-menghormati satu sama lain”, “yangberkeadaban”, “yang berkebudayaan”; “yang tidak onverdraagzaam”, dan dengantegas beliau kemudian berkata: “Segenap agama yang ada di Indonesia sekarangini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya”; UUD’45 dalam pasal
29 yang mengenai “Ketuhanan Yang Mahaesa”; menegaskan bahwa “negara menjaminkemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untukberibadah menurut agamanya dan kepercayaannya”. Dalam “Djarek”, PresidenSukarno menggasak “hantu kebencian”, membela “toleransi politik”; Dan dalam“Membangun Dunia Kembali”; atau pidato PBB-nya yang terkenal itu, PresidenSukarno menerangkan bahwa sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”; dalam Pancasilaberarti: “hak untuk percaya”, bukan kewajiban untuk percaya kepada Tuhan, danberkatalah Presiden: “Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagaimacam agama: ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Budha dan ada yangtidak menganut sesuatu agama”. Kemudian Presiden menunjukkan bahwa “bahkanmereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun; diliputi oleh “toleransi”.
Pernyataan Presiden ini tepat sekali, karena sesungguhnya“yang tidak menganut sesuatu agama”; atau “yang tidak percaya kepada Tuhanpun”; adalah bangsa Inndonesia-mereka rakyat Indonesia. Dan tentulah kita semuabelum lupa pada canang yang dipukul Presiden dalam “Resopim”, bahwa Pancasilaadalah alat pemersatu, bahwa Pancasila tidak boleh dijadikan alatpemecah-belah, dan bahwa barang siapa menjadikan Pancasila alat pemecah-belah,sesungguhnya dia itu-dalam istilah Presiden Sukarno sendiri “sinting”
Sampailah saya sekarang pada alat yang terpenting, yangterbaik, dan yang satu-satunya untuk menyelenggarakan Sosialisme Indonesiamelalui penyelesaian fase pertama, fase revolusi nasional-demokratis, yaitupersatuan nasional. Persatuan nasional ini dengan Nasakom sebagai porosnya,bukan hanya sesuatu yang sudah resmi dan maka itu harus dituruti mutlak olehsetiap warganegara dari golongan politik maupun karya, sipil maupun militer,tetapi dia pun syarat yang tak boleh tidak jika kita mau menyelesaikantuntutan-tuntutan Revolusi ’45 dengan perbuatan dan tidak dengan lipserviceatau lamis-lamis bibir saja. Presiden Sukarno mengatakan dalam “Resopim”; bahwamenolak Nasakom berarti bertentangan dengan UUD’45, dan dalam “Djarek”; beliauberpesan, “Bangsa” kita harus menggembleng dan menggempurkan persatuan darisegala kekuatan-kekuatan revolusioner, – menggembleng dan menggempurkan desamenbundeling van alle revolutionaire krachten in de natie.
Demikianlah secara pokok-pokok Sosialisme Indonesia-ilmu danamalnya: ilmu dan amal pengakhiran pengisapan oleh manusia atas manusia. Saya
anjurkan kepada para siswa UNRA dan para peminat lainnya yang mau memperdalamsoalnya-supaya mempelajari buku Bung Aidit, Sosialisme Indonesia danSyarat-syarat Pelaksanaannya.
Penegasan saya sebagai kesimpulan:
Tanpa Persatuan Nasional dengan kaum buruh dan tani sebagai kekuatan pokoknyadan Nasakom sebagai porosnya, takkan ada pelaksanaan Manipol secara konsekuen,sedang tanpa pelaksanaan Manipol secara konsekuen, takkan ada SosialismeIndonesia.
~ Comrade Nyoto ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar