”Power tends corrupt, absolute power corrupt absolutely. ( Lord Acton )
”The country has all the ingredients for success: a stable democracy, a wealth of natural resources and a large consumer market. But Indonesia is not keeping pace with Asia’s booming economies”. (Majalah ”Time” edisi 12 September, 2008.)
Kutipan bijak
diatas menunjukan betapa pentingnya sistem manajemen kekuasaan yang dapat
menundukkan perilaku penguasa yang cenderung merusak tatatan. Bangsa Indonesia
memiliki semua persyaratan untuk berhasil: demokrasi yang stabil, kekayaan alam
yang melimpah serta pasar yang besar. Tetapi sayangnya Indonesia tidak melesat
sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi Asia. Justru sebaliknya, rakyat
merasakan himpitan kemiskinan yang kian menindih. Pertanyaan mendasar yang
sering dikeluhkan masyarakat adalah demokrasi tidak ada hubungan dengan
kesejahteraan masyarakat. Rakyat belum merasakan secara konkrit hasil dari
sebuah tatanan politik yang seharusnya para pemimpin rakyat mempunyai komitmen
mewujudkan kesejahteraan masyatakat. Namun harapan rakyat tersebut justru
berbanding terbalik dengan sikap sebagian besar para elit politik, sebagai
pemegang mandat kedaulatan rakyat, justru menyalahgunakan kekuasan yang
dipercayakan kepada mereka.
Kuliah umum
ini akan dibagi dalam beberapa penggalan sebagai berikut. Pertama, kegagalan para elit memahami kekuasaan. Kedua, dinamika revolusioner dalam proses demokrasi. Ketiga, manipulasi demokrasi prosedural. Kempat, Pemilu 2009, paradigma dan realita. Bahan kuliah umum ini akhiri
dengan catatan penutup.
KEGAGALAN ELIT MEMAHAMI KEKUASAAN.
Pilihan bangsa Indonesia untuk membangun tatanan
pollitk yang demokratis sudah tepat. Mengapa? Jawabannya:
karena sistem tersebut adalah manajemen kekuasaan yang dilandasi
oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai maratabat manusia.
Sejarah panjang praktek pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dan
sewenang-wenang, baik yang bersumber dari keturunan, dominasi kekuatan militer
maupun oligarki politik lainnya, mendorong umat manusia mencari sistem
pengelolaan kekuasaan yang manusiawi. Kekuasaan yang otoritarian menjadi musuh
umat manusia karena penguasa tidak hanya memonopoli kekuasan tetapi juga
memonopoli kebenaran. Kebenaran menjadi milik penguasa, akibatnya perbedaan
pendapat bukan saja dianggap sebagai tindakan kriminal atau subversi yang harus
ditindak oleh negara.
Upaya
pencarian tata kelola kekuasaan yang dapat membendung kelaliman pemegang
kekuasaan, sejalandengan mulai tumbuhnya nilai-nilai kehidupan yang lebih
menghargai hak-hak individu, kesetaraan serta pengakuan terhadap hak-hak azasi
manusia. Pada dasarnya perkembangan peradaban manusialah yang telah
memungkinkan umat manusia dapat menjinakkan kekuasan yang mempunyai daya pesona
yang luar biasa, tetapi sekaligus juga watak yang cenderung merusak tatanan kehidupan
manusia. Pesona kekuasaan yang menakjubkan itulah yang membuat para pemburu
kekuasaan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Memang dalam
tatanan demokrasi daya rusak kekuasaan tidak dapat ditaklukan secara absolut,
karena hal itu juga berkaitan erat dengan salah satu sifat manusia yang serakah
dan lemah menghadapi godaan kenikmatan. Namun karena sifat luhur manusialah
kekuasaan dapat digunakan untuk kemashlahatan umat manusia, terutama untuk
mengelola kehidupan besama menunju kesejahteraan lahir dan batin.
Pengelolaan
kekuasaan yang disebut demokrasi prinsip dasarnya adalah siapapun yang ingin
berkuasa harus mendapat mandat dan dikontrol oleh pemberi kekuasaan. Inilah
temuan manusia dalam mengelola kekuasaan modern yang dianggap paling bermartabat.
Meskipun tidak sempurna, tetapi sampai saat ini belum ditemukan sistem lain
yang dapat dianggap sebagai sistem kekuasaan yang secara efektif dapat
menaklukan kekuasan. Secara kelembagaan agar kekuasaan tidak menjadi liar, ia
harus dikerangkeng dalam suatu bangunan struktural sehingga terjadi
keseimbangan kekuatan didalam komponen-komponen struktur tersebut dan pada
akhirnya elemen-elemen yang ada dalam kekuasaan tersebut satu dengan lainnya
dapat saling mengontrol. Oleh karena itu, mewujudkan demokrasi bukan hanya
sekedar membangun sistim, mekanisme, prosedur politik, tetapi juga harus
membangun lembaga-lembaga yang dapat menjamin mekanisme saling kontrol tersebut
dapat berfungsi, seperti partai politik, lembaga peradilan dan penegak hukum,
lembaga perwakilan, birokrasi dan lain sebagainya. Namun yang paling penting
adalah menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, pengakuan terhadap
perbedaan kepada warga masyarakat yang bersangkutan. Dimensi ini penting sekali
karena melalui proses tersebut akan hadir roh yang menghidupkan dan sekaligus
menguatkan demokrasi. Tiadanya sukma dalam tatanan demokrasi hanya akan
menjadikan sistem tersebut rapuh sehingga mudah ambruk atau menjadi anarkis.
Oleh karena itu tidak mustahil bahwa negara-negara seperti Yunani dan Roma yang
pernah berabad-abad menerapkan sistem ini, mengalami arus balik menjadi
kekaisaran. Pengalaman tersebut harus lebih menyadarkan siapapun yang ingin
mewujudkan kehidupan demokrasi bahwa perjuangan membangun kehidupan demokrasi
pada dasarnya adalah pertarungan menjinakkan ganasnya fenomena kekuasaan.
Watak
kekuasaan semacam itu mengakibatkan pertarungan memperebutkan kekuasaan menjadi
sangat rawan terhadap tindakan yang menghalakan cara, mulai dari bujuk rayu,
intimidasi sampai dengan tekanan fisik. Sedemikian kejamnya pertarungan
kekuasan sehingga ikatan-ikatan pertemanan, keakraban, persaudaraan, bahkan
ikatan yang didasarkan atas sentimen-sentimen primordial, suku, agama, ras dan
keturunan tidak dapat dijadikan sarana meredakan pertarungan politik1.
Bahkan bila disalahgunakan hal itu dapat menimbulkan konflik kekerasan, ataupun
perang saudara yang sangat kejam. Perburuan kekuasaan telah menjadikan mereka
yang terlibat menjadi sangat buas dan selalu siap menerkam serta melumat
siapapun yang menjadi lawan politiknya. Satu-satunya faktor yang dianggap dapat
mencairkan konfik politik adalah konmpromi dari berbagai kepentingan yang
secara rasional dapat diterima oleh semua pihak. Namun sayangnya kompromi
kadang-kadang sangat pragmatis dan oportunistik sehinga merugikan masyarakat.
Persyaratan
lain agar demokrasi dapat berlangsung adalah kemampuan, pengetahuan serta
kecermatan dalam membuat aturan dasar yang komprehensif dan koheren satu sama
lain sebagai landasan hidup bersama. Untuk itu selalu diperlukan gagasan dan
pemikiran yang mendalam sebagai paradigma dalam penyusunan regulasi yang
diperlukan. Aturan tersebut harus dijabarkan sedemikian rinci sehingga dapat dilaksanakan
secara baik. Kerumitan dalam proses pembuatan aturan serta kompromi-kompromi
politik yang harus dilakukan membuat demokras tidak efisien dan efektif. Oleh
karena itu demokrasi bukan sistem yang sempurna dan mempunyai banyak kelemahan,
antara lain karena keputusan yang diambil dalam sistem ini kompleks dan
berbelit-belit. Namun demikian demokrasi mempunyai keunggulan, sistem ini
mempunyai seperangkat instrument yang dapat dipergunakan rakyat untuk
mengoreksi kesalahannya. Namun harus diakui kadang-kadang orang tidak sabar
dalam berdemokrasi, karena kelambanan dalam proses pengambilan kebijakan dan
kompleksitas aturan yang harus dilakukan tidak dapat segera menghasilkan
sesuatu yang dirasakan secara konkrit oleh masyarakat. Inilah yang menyebabkan tidak
jarang masyarakat pesimis terhadap demokrasi, apalagi kalau disertai tindakan
penyalahgunaan kekuasaan akan menyebabkan kekecewaan yang berlarut-larut. Bila
dibiarkan hal itu menyebabkan rakyat tidak percaya kepada sistem ini.
Kredibilitas demokrasi yang rusak akan menyebabkan gelombang balik yang dapat
mengembalikan bangsa bersangkutan kepada sistem kekuasaan yang menindas atau
bahkan menjadi anarki sosial yang tidak kalah destruktifnya dengan sistem
kekuasaan yang otoriter. Gejala semacam itu oleh Samuel Huntington disebut
sebagai gelombang demokrasi. Artinya dalam kurun waktu tertentu muncul
serombongan negara berobah dari otoriter menjadi demokrasi, namun hal itu
selalu terjadi kemungnkinan diikuti oleh gelombang balik berupa negara yang
semula demokratis menjadi otoritarian kembali. Gejala tersebut nampaknya tidak
akan berhenti, sampai dengan nilai-nilai demokrasi menjadi peradaaban
masyarakat dunia.
Mungin dalam
konteks seperti inilah maka Perdana Menteri Inggris Wilston Churchill dalam
pidatonya di parelemen Inggris pada tahun 1947 pernah mengatakan bahwa
demokrasi adala sistem pemerintahan yang paling buruk, kecuali dibandingkan
sistem lain yang pernah dipatktekan dan ternyata lebih buruk. Jadi pada
dasarnya sisitem demokrasilah yang paling baik dari pilihan yang lebih buruk2.
“REVOLUSI” DEMOKRASI.
Bangsa Indonesia selama satu dekade telah mengalami
suatu proses perobahan politik yang sangat subtansial. Suatu perobahan politik
dari sistem ototarian ke demokrasi yang kalau dilihat dari tingkat percepatan
perobahan dapat dikategorikan sebagai sebuah revolusi demokrasi. Sebuah
peristiwa yang bisa disebut contradictio in terminis,karena demokrasi tidak dapat dilakukan secara revolusioner. Sementara
itu bangsa Indonesia dalam waktu yang sangat singkat telah terjadi perobahan
yang luar biasa, mulai dari perobahan UUD 1945, pemilihan presiden secara
langsung, dibentuknya parlemen bikameral, pembentukan Mahkamah Konstitusi,
pemilihan kepala daerah langsung, dan lain sebagainya. Karakter revolusioner
itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia tidak dapat meyusun konstitusi yang
sempurna serta membangun lembaga dan kultur politik yang dapat segera menopang
bayi demokrasi. Oleh karena itu wajah perpolitikan di Indonesia selama lebih
kurang sepuluh tahun sarat dengan pertarungan politik dari para elit yang ingin
berkuasa, mempertahankan kekuasan atau mereka yang ingin lebih berkuasa. Kiblat
politik yang sangat didorong oleh godaan nafsu berkuasa telah menyingkirkan
jauh-jauh arti politik sebagai perjuangan bersama mewujudkan cita-cita luhur
bangsa. Manuver politik didominasi oleh nafsu berkuasa sehingga jagad politik
Indonesia sarat dengan intrik dan kompromi politik yang pragmatis dan
oportunistik, politik uang, tebar pesona dan janji kosong sebagai alat merayu
dukungan, perselingkuhan politik dan segala bentuk serta manifestasi
keserakahan mengejar kenikmatan kekuasan. Selain beberapa faktor obyektif
diatas, aspek utama yang menyebabkan transisi politik seakan–akan berjalan
tanpa arah disebabkan pula oleh karena para elit politik tidak mempahami
konsep-konsep dasar politik dan tata negara untuk menyusun tatatan kehidupan
demokrasi kedepan.
Sebagian
besar elit lebih mengedepankan daftar keinginan subyektif yang dikemas secara
retorik sekedar mendapatkan dukungan atau popularitas masyarakat. Kedangkalan
memahami konsep adalah salah satu contoh yang dapat dilihat dalam merumuskan
Indonesia sebagai negara kesatuan dalam aturan dasar yang disebut konstitusi.
Dalam alam pikiran para perumus amandemen UUD 1945 yang sangat gandrung negara
kesatuan, nampaknya untuk mewujudkan Negara kesatuan cukup merumuskan keinginan
tersebut dalam konstitusi sehingga Negara Kesatuan Republik Indoensia akan
langgeng. Hal itu dapat disimak dalam pasal 1, ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi
sbb: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Rumusan
tersebut sangat jelas dan limitatif bahwa Negara Indonesia adalah negara
kesatuan, jadi kalau bukan negara kesatuan bukan Negara Indonesia. Untuk lebih
kuat agar Negara kesatuan tidak goyah dan tidak dapat di uthak-uthik lagi, pasal tersebut dikunci melalui ketentuan pasal 37 ayat (5)
yang berbunyi sbb:”Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak dapat dilakukan perobahan”. Para penyusun UUD 1945 nampaknya sangat
meyakini bahwa kalimat dalam UUD 1945 sudah sedemikian sakti sehingga dengan
mencantumkan rumusan tersebut negara kesatuan tidak dapat dirobah.
Pertanyaannya: apakah benar keputusan politik tidak dapat dirobah. Apakah benar
bangsa Indonesia tidak akan mengalami dinamika politik yang mungkin akan
merobah struktur kekuasaan yang dianggap lebih responsive terhadap dinamika perkembangan politik kedepan. Mereka nampaknya
lupa bahwa dalam hidup ini, lebih-lebih kehidupan politik selalu berobah. Dinamika politik telah membuktikan bahwa UUD’45 yang pernah
dijadikan jimat ternyata dapat diamandemen sebanyak empat kali.
Nampaknya
para penyusun UUD 1945 menyadari juga bahwa merumuskan pasal tersebut adalah
sesuatu yang mustahil atau tidak masuk akal. Oleh karena itu, meskipun sudah
terdapat pasal yang menjamin kelestarian UUD 1945, penyusun konstitusi
memberikan kemungkinan perobahan pasal tersebut dengan merumuskan pasal 37 ayat
(3) sbb: “Untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945, Sidang MPR dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR”. Pasal yang sama pada ayat berikutnya
(4) lebih menegasan lagi, dengan bunyi sbb: “putusan untuk mengubah pasal UUD
1945 dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah
satu anggota dari seluruh anggota MPR.” Keseluruhan ilustrasi tersebut hanya
memberikan beberapa kesan sebagai berikut: Pertama, para penyusun konstitusi tidak memahami konsep bernegara secara
mendalam. Kedua, percaya bahwa kalimat bagus dalam konstitusi
dan dapat bertuah dan mempuhnyai kekuatan magis magis yang dapat menjamin
kehendak agar negara kesatuan tidak berobah. Namun yang jelas rumusan yang
kontradiktif tersebut bagi masyarrakat menimbulkan kebingungan,
setidak-tidaknya kontroversial dalam memahami konsrtitusi yang telah
diamandemen empat kali.
Hal yang
mirip juga dilakukan dalam melakukan desentralisasi. Kalau semangat dan
komitmen terhadap bentuk negara kesatuan akan dipertahankan, maka
prinsip-prinsip tersebut secara konsisten harus dijadikan pegangan dalam
melakukan kebijakan desentralisasi. Salah satu prinsip yang penting adalah
besaran urusan dan kewenangan yang didelegasikan kedaerah berasal dari
pemerintah pusat. Konsekwensinya, bila daerah tidak dapat mengembang kewenangan
yang diberikan tidak dilaksanakan secara bertanggungjawab, atau terjadi krisis
pemerintahann daerah, pemerintahan pusat harus mempunyai instrumen dan
mekanisme menyelesaikan kemelut tersebut. Pemicu krisis didaerah yang paling
potensial adalah tiadanya jaminan hubungan kekuasaan yang simetris di tataran
politik lokal. Lebih-lebih kalau calon independen untuk pemilihan kepada daerah
telah menjadi keputusan politik. Asimetris hubungan kekukasan antara kepala
daerah dan parlemen lokal menjadi potensi konflik didaerah yang berlarut-larut.
Dalam hal
intervensi pemerintah pusat terhadap krisis pemerintahan daerah, harus
dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, seperti aturan yang jelas,
evaluasi yang obyektif serta bimbingan yang cukup dan lain sebagainya. Tetapi
karena desentralisasi selama ini tidak dilakukan dengan pakem yang konsisten,
banyak sekalim terjadi konfllik antara kepala daerah dan perlemen lokal yang
berlarur-larut. Misalnya, mengenai penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja
di Daerah.
Dalam
mengantisipasi krisis pemerintahan mungkin dapat mengambil pelajaran negara
India. Meskipun bentuk negara India adalah quasi federal, namun bila terjadi
krisis pemerintahan di negara bagian (state), Presiden
mempunyai kewenangan diskresi, melalui pasal 356 Konstitusi, membubarkan
parlemen di negara bagian dan memecat gubernur. Namun kewenangan tersebut dilakukan
melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskreasi harus merupakan jalan
terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat mengatasi masalah
tersebut. Kedua, Presiden harus harus mendapatkan persetujuan kedua parlemen
dan benar-benar memperhatikan laporan Gubernur. Ketiga, pernyataan situasi
dalam keadaan darurat oleh presiden dapat dilakukan judicial review kepada Mahkamah Agung. Bilamana Mahkamah Agung menolak, maka
Gubernur dan Lembaga Perwakilan di daerah(state) dapat
berfungsi kembali. Pengaturan yang rumit tersebut selain untuk mencegah agar
presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang kontroversial
tersebut. Oleh sebab itu kewenangan presiden tersebut tidak mutlak dan tetap
dalam kerangka demokrasi. Pengalaman tersebut kiranya sangat berharga untuk
dijadikan konsiderasi membuat regulasi yang komprehensif. Dengan demikan
munculnya calon independen tidak saja semakin membuka peluang tumbuhnya
demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk mewujudan kehidupan politik yang
stabil, pemerintahan yang efektif serta sistem kepartaian yang multi partai.
Pemekaran
daerah juga menandai betapa desentralisasi semakin tidak terkendali serta tidak
menjamah kepentingan masyarakat. Sumber utama kegagalan pemekaran daerah adalah
menjadikan pemekaran daerah seringkali hanya sebagai ladang bisnis politik para
elit politik serta sementara kalangan birokrasi pemerintahan. Peraturan
Pemerintah No. 129 tahun 2000 yang mengatur pemekaraan daerah meskipun dianggap
kurang sempurna, namun sebenarnya cukup ketat mengatur pemekaran. Namun kadang
kala karena nafsu untuk berkuasa lebih besar dari niat untuk mensejahterakan
masyarakat, maka pemekaran hanya menjadi medan pertarungan kepentingan pribadi
dan golongan. Sehingga dalam prakteknya, tidak jarang persyaratan pemekaran
baik yang bersifat kuaklitatif maupun kuantitatif dapat lolos berkat deal-deal
politik yang sangat oportunistik dan pragmatis. Lebih-lebih pembuatan UU
pemekaran tidak terlalu sulit karena praktis hanya merobah sedikit konsideran
dan diktum dari UU yang telah ada dengan daerah baru. Kalau semangat para
pengambil kebijakan tidak berobah, meskipun PP 129/2000 telah diganti dengan PP
78/2007 yang lebih ketat persyaratannya, tidak menjamin bahwa pemekaran akan
bermanfaat bagi masyarakat. Sayangnya, program legislasi tahun 2008, dari
sekitar 150 RUU, 105 diantaranya adalah RUU tentang pemekaran. Kritikan tajam
terhadap pemekaran tidak meredakan semangat parlemen untuk terus memekakan
daerah. Hal itu anatara lain dapat disimak dalam rencana Prolegnas tahun 2009,
terdapat 17 RUU pemekaran.
MANIPULASI DEMOKRASI PROSEDURAL.
Perilaku para elit telah memanipulasi demokrasi
prosedural. Mereka menganggap sudah mendapatkan legitimasi kalau sudah
mengikuti prosedur dan regulasi yang mereka buat sendiri. Dengan mengatas
namakan rakyat mereka bahkan dapat menguras kekayaan negara untuk dinikmati
sendiri atau bersama kelompoknya. Perilaku para elit yang sangat merusak
tatanan tersebut kalau tidak segera dihentikan akan menggerogoti modal sosial (social capital) bangsa ini yang selama satu dekade ini dapat dijadikan aset dalam
melakukan transisi politik. Modal sosial yang disumbangkan masyarakat dalam
masa transisi adalah kesanggupan rakyat melakukan kompetisi politik secara
relatif jujur dan adil secara maraton sejak tahun 1999. Konstribusi tersebut
lebih fenomenal lagi karena rakyat Indonesia sejak pertengah tahun 2005 sampai
dengan bulan Desember 2008 telah melakukan pemilihan kepala daerah hampir 500
kali. Bahkan pemilihan kepala daerah apat dilakukan di Aceh, dimana wilayah
tersebut pernah mengalami perang saudara lebih dari dua puluh tahun, pilkada
dapat dilakukan dengan damai dan adil. Hal yang sama terjadi di Papua. Provinsi
di ujung timur yang sebelum pilkada Irjabar diwarnai dengan ketegangan yang
sangat tinggi, terutama berkenaan dengan eksistensi Irjabar, akhirnya pilkada
di provinsi tersebut dapat dilakukan dengan damai pula.
Makna
penting yang dapat dipetik bahwa meskipun transisi politik dilakukan dengan
sangat cepat, tetapi kontestasi politik yang dilakukan dalam skala yang masif
dapat dilakukan dengan aman. Hal itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
mempunyai peradaban yang cukup tinggi sebagai landasan untuk menjadi bangsa
yang besar. Pertarungan politik yang rawan konflik komunal karena keragaman
bangsa Indonesia disebabkan ikatan-ikatan primordial kesukuan, ras,bahasa,
agama serta pengelompokkan ekskulif lainnya ternyata tidak membawa ekses yang
destruktif dalam masyarakat. Oleh sebab itu banyak kalangan baik dalam negeri
maupun luar negeri yang memberikan apresiasi terhadap keberhasilan pemilihan
umum di Indonesia3.
Salah satunya adalah dalam tajuk majalah The Ecomomist, tahun 20044.
Mencermati
perkembangan tersebut, proses transisi politik memberikan makna bahwa meskipun
masa-masa kritikal telah dilewati, namun reformasi politik harus segera
dibenahi. Legimasi politik prosedural harus segera ditingkatkan menjadi
legitimasi poltik yang bermartabat mendesak untuk dilakukan. Membiarkan
demokrasi prosedural dimanipulasi oleh elit politik hanya akan memberikan
pembenaran bagi merasa mendapat mandat rakyat untuk merusak tatanan demokrasi.
Membiarkan demokrasi prosedural dijadikan alat legitimasi juga akan
mengakibatkan bayi demokrasi tumbuh menjadi demokrasi kunthet. Perpolitikan secam itu jelas lebih banyak mudaratnya dari pada
manfaatnya bagi masyarakat. Reformasi masih jauh dari pembentukan sikap
dan perilaku yang santun, yakni mengutamakan kepentingan umum serta berpolitik
yang didasarkan atas komitmen lahir batin untuk mewujudkan kehidupan bersama
yang sejahtera.
Pemilu 2009
Poses transformasi politik harus terus
disempurnakan. Agenda yang sangat penting melaklukan penyempurnaan terhadap
bergagai regulasi politik yang sistem pemerintahan, sistem pemilihan umum dan
sistem kepartaian. Beberapa prinsip mendasar yang harus dijadikan acuan dalam
menyusun penyempurnaan regulasi politik adalah sebagai berikut. Pertama, proses demokratisasi yang sedang berlangsung dewasa perlu
dipertahankan, bahkan secara gradual proses demokratisasi juga harus dapat
melembaga dan terkonsolidasi. Kedua, sementara
itu pada saat yang sama diperlukan pemerintahan yang efektif agar rakyat dapat
menikmati secara konkrit hasil dari proses demokrasi dalam wujud kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik. Hal itu harus menjadi pilihan mengingat demokrasi
dalam dirinya selalu mengandung kontradiksi antara governability (pemerintahan yang efektif) disatu pihak, representativeness (keterwakilan) dipihak lain.
Secara lebih
rinci prinsip-prinsip tersebut harus dituangkan dalam peraturan perundangan
sebagai berikut.Pertama, dalam UU Pemilihan umum, prinsip-prinsi tersebut
adalah: (1) meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat dengan pemilihnya; (2)
demokratisasi dalam mekanisme pencalonan kandidat anggota lembaga perwakilan;
(3) penguatan dan perluasan basis keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah; (4)
mempertegas sistem auditing dan pengelolaan dana-dana politik yang digunakan
dalam proses Pemilu. Sementara itu UU pemilihan presiden disempurnakan dengan
persyaratan partai-partai yang mencalonkan presiden harus memenuhi komitmen setidak-tidaknya
selama lima tahun tetap konsisten menjadi pendukung pemerintah.
Kedua, kehidupan kepartaian harus didukung oleh
suatu regulasi yang mempunyai paradigma sbb: (1) pengkaderan partai politik;
(2) mendorong kepemimpinan partai yang demokratis; (3) mendorong penggabungan
partai-partai kecil dan partai-partai yang gagal mendapatkan
Parliamentary Thershold (PT) berdasarkan persamaan kepentingan maupun
idelogi kepemihakan; (4) mendorong proses institusional partai dengan
mempunyai sumberdaya yang independen; serta (5) larangan merangkap jabatan bagi
pengurus partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Ketiga, prinsip penyempurnaan UU Susunan dan kedudukan MPR dan Lembaga
Perwakilan Rakyat adalah sebagai berikut: (1) peningkatan kemampuan dan akuntabilitas lembaga dan anggota DPR; (2)
pertanggungjawaban yang jelas bagi setiap anggota DPR yang melakukan reses; (3)
meningkatkan hubungan antara anggota DPR dan DPD perlu pembentukan kantor DPD
dan DPR di daerah agar terjadi komunikasi politik yang intensif antara wakil
rakyat dan konstituensinya; (4) peningkatan efektifitas lembaga DPR dilakukan
dengan penciutan jumlah pengelompokkan politik (fraksi) di DPR dengan
menentukan jumlah minimal anggota fraksi di DPR sama dengan jumlah komisi; (5) harmonisasi hubungan DPR dan DPD dengan membentuk panitia bersama (joint committee) DPR–DPD untuk mengatur mekanisme pembahasaan RUU yang menjadi
kewenangan DPD&DPR; (6)memperjelas fungsi MPR. Hal itu dapat dilalakukan
dengan merobah lembaga pimpinan MR permanen menjadi fungsional, yaitu
memimpin sidang gabungan DPR-DPD. Selain itu memberikan kewenangan MPR
membentuk Joint committee dan peraturan tentang sidang gabungan (joint session) serta membentuk komisi konstitusi membantu MPR menyiapkan bahan
amandemen UUD 1945.
Dewasa ini
sedang berlangsung pembahasan di DPR beberapa rencana undang-undang PILPRES dan
SUSDUK. Tidak mustahil dalam pembahasan tersbeut akan terjadi kompromi-kompromi
politik yang tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu,
seandainya beberapa paradigma tersebut telah dikalahkan dengan kompromi politik
yang oportunistik, tidak berarti masyarakat harus menyerah dan menjadi tidak
peduli. Justru sebaliknya, masyarakat justru harus membangun kekuatan agar
dapat mengontrol perilaku anggota parlemen yang telah memanipulasi mandat
rakyat. Masyarakat harus disadarkan pula bahwa kedaulatan yang dimikinya tidak
tersedot habis, terabsorsi, oleh lembaga perwakilan raklyat. Dalam Negara
demokrasi rakyat berdaulat sehari dua puluh empat jam. Oleh sebab sudah pada
tempatnya rakyat selalu mengontrol wakil-wakilnya yang tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Dengan
melakukan penyempurnaan tersebut diharapkan dalam menapak masa depan,
transformasi politik berjalan berdasarkan paradigma serta landasan pemikiran
yang jelas dan benar. Kurun waktu sepuluh tahun proses demokrasi, harus dapat
dijadikan tonggak penyempurnaan kehidupan politik di masa depan. Mudah-mudahan
sementara kalangan yang merasa cemas dengan proses transisi dewasa ini tidak
perlu terlalu kuatir bahwa transformasi politik di Indonesia menuju kearah
kegagalan. Berbagai pengalaman selama sepuluh tahun reformasi, telah
membuktikan bahwa bangsa Indonesia mempunyai akar peradaban yang dapat
dijadikan modal bangsa ini melanjutkan reformasi menuju suatu kehidupan politik
yang demokratis untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
PENUTUP
Renungan
diatas diharapkan dapat mendorong MASYARAKAT memikirkan secara cerdas agenda
apakah yang paling mendesak dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun yang
akan datang agar dapat menyelamatkan bayi demokrasi. Dalam
menentukan agenda tersebut yang harus diperhatikan adalah tuntutan rakyat yang
semakin keras agar demokrasi segera dapat menghasilkan tingkat kesejahteraan
yang dibutuhkan rakyat. Untuk itu dua hal yang harus dipertimbangkan secara
matang. Pertama, adalah kepemimpinan nasional lima tahun
mendatang. Kedua,mengenai agenda yang menjadi prioritas, adalah
membengun pemerintahan yang efektif tetapi tetasp dikontrol rakyat. Sementara
itu modal bangsa ini tidak perlu dikuatirkan. Sangat melimpah untuk dijadikan
modal agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang, makmur dan modern. Karena
selain memiliki sumberdaya alam yang melimpah, demokrasi yang stabil; tetapi
yang lebih penting lagi, bangsa Indonesia mempunyai modal sosial yaitu
peradaban bangsa yang menghargai nilai-nilai kemanusian
Jakarta, 17 Februari 2009
J. Kristiadi, peneliti CSIS
(Tulisan ini disampaikan pada Konperensi Studi pada Rakernas II Pergerakan Kebangsaan di Surabaya pada 22 Pebruari 2009)
1 Snyder, Jack, Dari Pemungutan Suara Ke Pertumpahan Darah, terjemahan dari buku From Voting to Violence,penterjemah: Martin Aleida & Parakitri T. Simbolon, Penerbit Gramedia, November 2003.2 “Many forms of Government have been tried and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time”.3 Bandingkan dengan pemilu di Timor Leste, negara berpenduduk lebih kurang satu juta, pemilihan umum diancam kurusah atau bahaya konflik yang berkepanjangan (Harian Kompas, Selasa, 10 April 2007, halaman 6). Serta pemilu di Zimbabwe bulan desember 2007 yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dan meninggalkan negara karena situasi yang kaotik. Baru bulan Februari 2009 perpolitikan di negara tersebut akan mulai mengalami kemajuan setelah dilanda inflasi duaratus enapuluh juta persen, dan nilai satu triliun dollar Zimbabwe sama dengan satu US dollar.4 The Economist, edisi Bulan 10-16 Juli, 2004 : “But perhaps there is a lesson in Indonesia’s experience not just for Islamic countries, but for one of Asia’s other giants too. The party men who run China like to argue that democracy that democracy is unsuited to a poor, sprawling country that has no experience of it : chaos is what China’s leaders say the fearabove all. But it does now seem that Indonesia-a polyglot rag-bag of islands that emerged as anation only through the accident of having been collectively administered by the Dutch-has given the world a powerful counter –example”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar