Oleh: Dian Su
http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8354355162375900794#editor/target=post;postID=3803778691209144941
Peristiwa pembunuhan tahun 1965, pembasmian komunis dan kaum kiri di
Indonesia bukanlah kejadian pembantaian manusia satu-satunya dalam
sejarah. Tahun 1950, gerilya anti Jepang yang seusai Perang Dunia kedua
berkembang jadi gerilya bersenjata di bawah pimpinan Huk Balahap di
Filipina dibasmi liwat pembantaian, kekerasan bersenjata di bawah
pimpinan CIA. Dari penyimpulan pengalamannya membasmi gerilya di
Filipina, CIA merumuskan gagasan OPERASI PHOENIX. Operasi ini dijalankan
di Vietnam untuk membasmi gerilya di bawah pimpinan Partai Komunis
Vietnam liwat pembunuhan besar-besaran. Cara-cara pembasmian komunis dan
kaum kiri ini menjadi bahan pendidikan di akademi militer Fort
Leavenworth yang mendidik perwira-perwira Vietnam Selatan dan Indonesia.
Dari Indonesia terdapat antara lain, Jenderal Ahmad Yani, Brigjen
Soewarto, Sarwo Edhie dll. Pada tahun 1965 di Indonesia sudah terdapat
dua ribu perwira hasil didikan akademi-akademi militer Amerika.
William Colby, mantan Direktur CIA menyatakan, bahwa program
pembunuhan besar-besaran di Indonesia adalah sama dengan Program
Phoenix. Para pembunuh, teroris-teroris ini dididik dan dilatih di
sekolah-sekolah Western Hemisphere Institute For Security Cooperation,
yang dulunya The School of The Americas, Ft. Benning, Georgia dan The
Counter-Insurgency Training Center, Ft. Bragg, Fayetville, N.C. [Baca
The REAL Phoenix Program, Posted By: tenavision Date: Friday, 6-Jan-2006
12:38:49]:
Program Phoenix diramu oleh Kepala Divisi Timur Jauh CIA, William
Colby, dilaksanakan oleh Kepala Kantor CIA, William Casey. Tom Ridge,
Oliver North dan Bob Kerry adalah diantara mata-mata pelaksana Program
Phoenix. Di sekitar tahun enampuluhan, beberapa orang pengajar masalah
kontra-pemberontakan datang di Indonesia memberi latihan. Latihan
militer Amerika Serikat ini dilakukan dengan rahasia karena Washington
menganggap pemimpin negeri ini yang netralis, Sukarno adalah dicurigai
secara politik. Latihan hanya diperbolehkan, agar Amerika Serikat
mendapat pengaruh dalam militer Indonesia yang dianggap dapat disadari.
Bantuan dan latihan yang diberikan Amerika secara rahasia, yang
bagian terbesarnya diberi nama yang tidak menakutkan “civic action”,
yang umumnya diperkirakan berarti untuk membangun jalan, memberi tenaga
untuk klinik-klinik kesehatan dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya dengan
pekerja sivil berupa kegiatan-kegiatan saling-bantu. Tetapi “civic
action” juga memberi syarat untuk kerja rahasia di Indonesia, demikian
pula di Filipina dan Vietnam, yaitu untuk perang syaraf.
Untuk menangkal Partai Komunis Indonesia yang kuat, Beret Merah
Angkatan Darat melancarkan pembunuhan ratusan ribu manusia, priya dan
wanita serta kanak-kanak. Begitu banyak mayat dilemparkan masuk
sungai-sungai di Jawa Timur hingga airnya menjadi merah oleh darah.
Dalam taktik perang syaraf klasik, mayat-mayat yang telanjang juga
mengabdi untuk peringatan bagi para penduduk di desa-desa di hilir
sungai.
“Supaya tidak tenggelam, mayat-mayat itu secara sembarangan diikatkan
pada pancang-pancang bambu”, tulis saksi mata Pipit Rochijat. “Dan
hanyutnya mayat-mayat itu dari daerah Kediri ke daerah hilir Kali
Brantas mencapai tujuan pentingnya dengan mayat-mayat itu ditumpuk di
atas rakit berhiaskan panji-panji PKI berkibar dengan bangga” [Baca
Rochijat: “Am I PKI or Non-PKI?”, Indonesia, Oct. 1985]
Sementara penulis sejarah, menghubungkan kekerasan yang luarbiasa ini
dengan sikap tentara yang keterlaluan kegila-gilaan yang bertindak
dengan “kekejaman yang tak direncanakan” atau “histeria massa” yang
menyebabkan berlangsungnya pembunuhan sampai hampir setengah juta orang
Indonesia, banyak di antaranya adalah turunan Tionghoa.
Tetapi taktik yang berulang-kali menempatkan mayat secara menakutkan
itu adalah cocok dengan doktrin perang syaraf militer, yang menurut
seorang perwira pimpinan para pembunuh, itu adalah satu bentuk isyarat
tuntutan untuk pembasmian PKI.
Sarwo Edhie, komandan para komando yang terkenal dengan pasukan Baret
Merah, memberi peringatan, bahwa perlawanan komunis “jangan diberi
kesempatan untuk berkonsentrasi atau mengkonsolidasi diri. Secara
sistimatik harus dipukul mundur dengan segala cara, termasuk perang
syaraf” [Baca The Revolt of the G30S/PKI and Its Suppression,
diterjemahkan oleh Robert Cribb dalam The Indonesian Killings.] Sarwo
Edhie sudah dikenal sebagai seorang penghubung CIA, ketika dia bertugas
di Kedutaan Indonesia di Australia. [Baca Pacific, May-June 1968]
Dalam The Very Dark Side of U.S. History, Consortium News / By Peter
Dale Scott and Robert Parry, Oct. 8, 2010, dipaparkan bahwa dalam
memoirnya, Lansdale membual mengenai salah satu trick perang syaraf yang
legendaris, yang dipergunakan melawan gerilya Huk, melawan mereka yang
dianggap percaya akan tahayul dan takut pada makhluk seperti vampir
penghisap darah, yang disebut dalam bahasa penduduk setempat asuang.
“Pasukan psy-war melakukan penghadangan di jalan yang biasanya
ditempuh oleh rombongan gerilya Huk,” tulis Lansdale. “Ketika rombongan
patroli Huk itu liwat di tempat penghadangan, pasukan psy-war dengan
diam-diam menangkap orang yang paling belakang dari rombongan patroli
Huk itu. Karena malam gelap, peristiwa ini tak diketahui oleh rombongan
patroli itu. Orang yang ditangkap itu dibunuh, dengan diberi dua lobang
di lehernya, sepertinya bekas gigitan vampir penghisap darah, ditegakkan
mayat itu diatas tumitnya, dikeringkan darahnya, dan dibawa kembali
mayat itu ke jalan semula.
Ketika rombongan gerilya Huk itu kembali mencari temannya yang
hilang, menemukan mayat kawan mereka tanpa darah, maka setiap anggota
patroli Huk itu akan percaya, bahwa asuang sudah menghisap darah nya”
[Baca Lansdale: In the Midst of Wars ] Inilah operasi perang syaraf
untuk menakut-nakuti gerilya Huk.
“Taktik khusus dari pasukan adalah mengepung suatu daerah; semua yang
ada dalam daerah kepungan itu dianggap sebagai musuh” , kata seorang
kolonel Filipina yang pro Amerika. “Hampir setiap hari didapati mayat
mengapung di sungai, banyak diantara mereka adalah korban dari kesatuan
Nenita dari pasukan mayor Napoleon Valeriano [Baca Benedict J.
Kerkvliet, The Huk Rebellion: A Study of Peasant Revolt in the
Philippines.]
Kurt Nimmo menulis dalam: CIA Assassination Program Revealed: Nothing
New Under the Sun, bahwa Program pembunuhan besar-besaran di Indonesia
adalah didasarkan pada pengalaman-pengalaman CIA di Filipina. Para
penasehat militer Amerika dari Joint US Military Advisory Group (JUSMAG)
dan Kantor CIA di Manila merencanakan dan memimpin penindasan berdarah
terhadap kekuatan nasionalis Hukbong Mapagpalaya ng Bayan [Catatan
Roland G Simbulan: Operasi Rahasia dan CIA, Hidden History in the
Philipines]
Sebuah petunjuk perintah CIA mengenai pembunuhan menyatakan, bahwa
adalah perlu membunuh seorang pemimpin politik yang karirnya jelas
menunjukkan bahaya bagi usaha kemerdekaan. CIA tidak memilih-milih
ketika melakukan pembunuhan sejumlah besar orang di Indonesia. Sesudah
membasmi komunis di tahun 1965, perwira-perwira militer Indonesia
memimpin pasukan mereka melikwidasi Partai Komunis Indonesia dan
akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno.
Peter Dale Scott menulis, bahwa tugas terbesar membasmi PKI dan
pendukungnya yang berlumuran darah yang sekarang diakui oleh para
sahabat Suharto sudah mengorbankan lebih dari setengah juta jiwa. Untuk
pertama kalinya pejabat-pejabat Amerika mengakui bahwa tahun 1965 secara
sistimatik mereka telah menghimpun daftar nama pimpinan komunis dari
pimpinan atasan sampai kader-kader desa. Sebanyak 5.000 nama diserahkan
kepada Tentara Indonesia, dan kemudian diperiksa oleh pejabat Amerika
nama-nama mereka yang ditangkap dan dibunuh, menurut pejabat-pejabat
Amerika. [Kathy Kadane menulis untuk South Carolina’s Herald Journal on
May, 1990]
Semua program CIA semenjak Perang Vietnam, sesungguhnya adalah
kelanjutan dari PROGRAM PHOENIX. Ke dalamnya termasuk operasi
penyeludupan senjata dan narkotik di Iran; operasi di Nicaragua yang
dikendalikan oleh William Casey dan Oliver North; serangan atas Panama
yang mengakibatkan 20.000 orang mati. Masih dapat disebutkan tentang
kejadian-kejadian di Amerika Selatan dan Tengah, Irlandia, Kroatia,
Serbia, Kosovo, Makedonia, Montenegro, Afganistan, Indonesia yang selama
empat bulan dengan 500.000 terbunuh, nama-nama orang yang akan dibasmi
dikumpulkan pejabat Kedutaan Besar AS dan diserahkan pada Suharto yang
naik berkuasa liwat kup CIA, pasukan Suharto mendapat bimbingan dan
diberi bantuan jeep, senjata, radio-radio lapangan. Sinyal siaran
pesan-pesan radio single side band. KWM-2s dapat dimonitor National
Security Agency.
Para penasehat militer dari Joint US Military Advisory Group (JUSMAG)
dan kantor CIA di Manila merencanakan dan memimpin penindasan berdarah
terhadap gerakan nasionalis Hukbong Mapagpalaya ng Bayan (HMB) yang
seusai Perang Dunia kedua menentang dengan keras amendemen Parity Rights
dan persetujuan militer yang berat sebelah dengan Amerika Serikat.
Berhasilnya CIA mematahkan pemberontakan Huk yang berlandaskan kaum tani
di tahun 1950, menjadikan operasi ini satu model untuk operasi-operasi
kontra pemberontakan di masa depan di Vietnam dan Amerika Latin. Kolonel
Lansdale dan koleganya kolonel Napoleon Valeriano kemudian menggunakan
pengalaman kontra-gerilyanya di Filipina ini untuk mendidik mata-mata
para pekerja rahasia di Vietnam dan di sekolah yang diselenggarakan
Amerika, yang melatih pembunuh-pembunuh kontra-gerilya di Amerika Latin.
Jadi, Filipina sudah menjadi prototipe contoh operasi-operasi rahasia
yang sukses dan perang syaraf. [Baca Covert Operations and the CIA’s
Hidden History in the Philippines, By Roland G. Simbulan,
Convenor/Coordinator, Manila Studies Program University of the
Philippines, Lecture at the University of the Philippines-Manila, Rizal
Hall, Padre Faura, Manila, August 18, 2000.]
Pada akhir tahun limapuluhan, CIA juga aktif menggunakan daerah
Filipina, terutama pangkalan udara Clark Air Base, untuk latihan dan
melancarkan operasi mata-mata dan logistik, dimana Amerika Serikat
secara rahasia mendukung para kolonel yang memberontak di Indonesia
(PRRI-Permesta), tapi gagal menggulingkan Presiden Sukarno. Waktu itu
CIA memberi bantuan suplai, latihan dan pangkalan logistik di beberapa
pulau Filipina, termasuk landasan udara di pulau Tiwi-Tiwi, Sanga-Sanga.
Sebuah maskapai milik CIA, the Civil Air Transport, secara aktif
dipergunakan oleh CIA dari daerah Filipina untuk memberikan bantuan
langsung bagi grup pemberontakan militer yang berusaha menggulingkan
Presiden Sukarno di ujung tahun limapuluhan. [Ibid]
Sekali lagi, dalam hubungan dengan ini, keunggulan-keunggulan dari
model Indonesia menunjukkan dengan jelas, bahwa di masa selanjutnya,
Amerika akan mencari kesempatan-kesempatan untuk sasaran-sasaran
pembunuhan besar-besaran dan bila terjadi bisa direkayasa secara rahasia
dengan lebih baik. Ini bisa berarti menggunakan mereka sebanyak mungkin
untuk berjuang membasmi musuh atas dasar apapun. “Mantan Direktur CIA,
William Colby, dalam satu wawancara, menyatakan bahwa kegiatan Kedutaan
Besar AS di Indonesia menyiapkan daftar nama pemimpin-pemimpin PKI
adalah sama dengan pelaksanaan Program Phoenix CIA di Vietnam. Tahun
1965, Colby adalah Direktur Divisi Timur Jauh dari CIA yang bertanggung
jawab untuk memimpin strategi rahasia Amerika di Asia” [San Fancisco
Examiner, 20/5/90]. Ketika di tahun 1962 dia mengambil jabatan ini,
Colby mengatakan “dia mendapati bahwa Amerika tidak mempunyai daftar
lengkap para aktivis PKI” di Indonesia, dan dia berpendapat bahwa “ini
adalah satu celah dalam sistim intelijen” [Ibid]. Maka tak pelak lagi
dia pun mengambil langkah untuk mengatasi keadaan ini.
OPERASI PHOENIX pada dasarnya adalah proyek pembunuhan yang dikelola
Amerika dengan menggunakan Pasukan Khusus, dan ditujukan pada
kader-kader Front Pembebasan Nasional Vietnam. Perang Vietnam yang
berkembang sampai sedemikian jauh, walaupun liwat saringan politik dan
media pers, terhitung juga bahwa Operasi Phoenix telah menyebabkan
41.000 rakyat Vietnam mati [“The CIA: A Forgotten History”, p145]
Dengan OPERASI PHOENIX yang tak berperi kemanusiaan, diiringi dengan
pemboman besar-besaran hingga bom-bom yang dijatuhkan di Vietnam
melebihi jumlah bom dalam Perang Dunia kedua, walaupun menggunakan semua
senjata termodern pada waktu itu, Amerika tidak berhasil membasmi
komunis Vietnam dan menundukkan Republik Demokrasi Vietnam.
CIA tidak hanya melakukan pembasmian komunis dengan pembunuhan-
pembunuhan yang tak berperi kemanusiaan. Di samping operasi pembasmian
secara fisik, CIA menggalakkan operasi-operasi psikhis. Operasi di
bidang propaganda anti-komunis juga merupakan kegiatan sangat penting
dari CIA. Untuk itu, dibangun dan digalakkan siaran Radio Svoboda, Radio
Free Europe dengan berbagai bahasa yang ditujukan ke daerah Uni Sovyet
dan negara-negara sosialis Eropa Timur. Di Asia digalakkan Radio Free
Asia, yang terutama ditujukan ke daerah Republik Rakyat Tiongkok. Isi
siarannya adalah berpropaganda anti-komunis, mendiskreditkan sistim
sosialis. Seiring dengan propaganda anti-komunis CIA dengan siaran radio
ini, terdapat kegiatan internet yang menggunakan berbagai Website,
terutama website World Socialist Web Site (WSWS), jaringan
Internasionale Ke-IV Trotskis. Tidak kalah dengan kampanye CIA, Website
ini sangat tangguh dalam berpropaganda anti Partai Komunis Tiongkok,
anti sistim sosialis yang dibangun di Tiongkok.
Dengan dananya yang melimpah ruah, Ford Foundation sangat intensif
bergerak di bidang penerbitan mengabdi propaganda anti-komunis. Para
penulis yang kehausan dana akan mendapat fasilitas dari Ford Foundation
untuk menerbitkan karya-karya yang anti komunis. Praeger Publishers,
yang dibangun Frederick A. Praeger tahun 1949, adalah salah satu Badan
Penerbit penting yang memenuhi pesan CIA telah menerbitkan banyak karya
tentang komunisme, yang sebenarnya mengabdi pada propaganda anti
komunisme. Church Committee Senat Amerika tahun 1976 menyatakan, bahwa
selama tiga puluh tahun atas permintaan dan subsidi CIA telah
diterbitkan lebih dari seribu judul buku proganda anti komunisme.
Dengan dukungan CIA, Penerbit Praeger sudah menerbitkan buku-buku
anti-komunisme antara lain “The Dynamic of Soviet Society” oleh Walt
Rostow; “The New Class” oleh Milovan Djilas; “Concise History of the
Communist Party” oleh Robert A.Burton; “The Foreign Aid Programs of the
Soviet Bloc and Communist China” oleh Kust Muller; “In Pursuit of World
Order” oleh Richard N. Gardner; “Peking and People’s Wars” oleh Jenderal
Mayor Sam Griffith; “The Yenan Way” oleh Eudocio Ravines”; “Life and
Death in Soviet Russia” oleh Valentin Gonzales; “The Anthill” oleh
Suzanne Labin; “The Politics of Struggle: The Communist Front and
Political Warfare” oleh James D.Atkinson; “From Colonialism to
Communism” oleh Hoang Van Chi; “Why Vietnam” oleh Frank Trager; dan
“Terror in Vietnam” oleh Jay Malin.
Bekerjasama dengan berbagai Penerbit, memberi dana bagi penerbitan
karya-karya tulis yang anti komunis adalah salah satu kegiatan CIA liwat
Ford Foundation. Kegiatan ini sudah memainkan peranan penting dalam
melaksanakan the policy of containment di semua benua,.. termasuk
Indonesia. Buku Negara Madiun? yang terbit dengan dana Ford Foundation,
bermanfaat menyalahkan PKI dalam Peristiwa Madiun adalah sejenis buku
yang dideretkan di atas.
Kenapa di Vietnam, Operasi Phoenix membunuh, memenjarakan, menyiksa
jutaan rakyat, gagal membasmi Partai Komunis Vietnam dan gagal
mengalahkan Republik Demokrasi Vietnam, tapi di Indonesia berhasil
menghancurkan PKI dan menggulingkan Pemerintah Bung Karno? Sebabnya
adalah: di Indonesia, semenjak tahun 1949 di bawah rekayasa CIA, Ford
Foundation dengan program duapuluh tahunnya berkolaborasi dengan RAND
Corporation, Rockefeller Foundation, menggunakan berbagai akademi
militer AS Fort Leavenworth, Fort Benning, Fort Bragg mendidik sejumlah
besar perwira Angkatan Darat, mendidik sejumlah besar intelektual hingga
terbentuknya kelompok “Berkeley Mafia”, dengan dukungan partai-partai
kanan anti komunis Masjumi, kaum sosial demokrat PSI dan penganut aliran
Trotskis, semuanya menjadi kekuatan anti-komunis anti Bung karno.
Inilah yang dikerahkan Grup Suharto-CIA membasmi kaum komunis dan kaum
kiri serta berhasil menggulingkan Pemerintah Presiden Sukarno. Walaupun
terdapat Partai Komunis yang besar, yang gigih mengangkat semboyan anti
imperialisme Amerika, tapi PKI tidak memimpin kekuatan bersenjata
seperti Partai Komunis Vietnam, PKI menempuh jalan damai dalam
berrevolusi, tidak dipersiapkan untuk menghadapi musuh biadab yang
demikian perkasa, yang semenjak bertahun-tahun secara berencana dengan
teliti mempersiapkan pembasmian kaum komunis dan kaum kiri Indonesia
dengan tujuan menggulingkan Bung Karno.
Operasi PROGRAM PHOENIX yang dilancarkan CIA adalah sumber malapetaka
yang mengorbankan banyak jiwa. Rezim fasis orba Suharto yang anti
komunis ditegakkan dengan memanipulasi G30S, adalah hasil dari Operasi
ini. Rezim ini memusatkan tuduhannya, bahwa PKI lah dalang G30S, adalah
bertanggungjawab atas terjadinya korban pembunuhan besar-besaran itu.
Sesudah rezim Suharto digulingkan, para pakar sejarah Indonesia
memusatkan perhatian pada mencari sumber dan sebab musabab bencana ini.
Di antara sekian banyak pakar sejarah, Pak Asvi Warman Adam adalah salah
seorang yang berusaha keras secara objektif meninjau dan menulis
kembali sejarah. Membantah versi tunggal Pemerintah Orba Suharto yang
menyatakan PKI adalah dalang G30S. Tapi tak sedikit yang menulis dengan
haluan melemparkan tanggungjawab kesalahan pada pimpinan PKI atau Bung
Karno. Ini adalah pemalsuan sejarah. Hal ini dilakukan oleh Victor
Miroslav Fic, Jung Chang, C.J.A.Dake, Noegroho Notosoesanto dll. Mereka
dengan segala jalan, termasuk dengan pemalsuan-pemalsuan sejarah,
berusaha membuktikan bahwa PKI adalah dalang dalam peristiwa G30S yang
bermuara pada peristiwa pembantaian manusia yang berlumuran darah ini.
Di kalangan generasi muda yang menjadi korban peristiwa berdarah ini,
terdapat usaha untuk mempelajari dan memahami masa lampau, belajar
sejarah, mencari sumber malapetaka yang telah menimpa bangsa. Ada yang
disesatkan oleh pandangan, bahwa malapetaka itu disebabkan oleh
kesalahan pimpinan PKI. Pandangan demikian bisa ditunggangi oleh usaha
membangkitkan komunisto-fobi yang selalu dikobarkan CIA. Kalau ini
berkembang, maka akan menghasilkan lahirnya generasi muda yang
anti-komunis di Indonesia. Inilah yang jadi idaman penguasa Amerika
Serikat.