Segala
sesuatu yang berbau rezim Orde Baru
tidak ubahnya bagaikan virus penyakit menular bagi sebagian eksponen bangsa
ini, sehingga segala sesuatu yang ada kaitannya dengan orde baru dianggap tidak
baik, dan perlu untuk disingkirkan bahkan dibumu hanguskan. Ironisnya yang
menunjukkan sikap antipati terhadap yang dianggap anasir-anasir orde baru ini
justru orang yang hidup dan bertumbuh dari asinnya garam kehidupan orde baru.
Tanpa ada
niat untuk membela, apalagi untuk mendukung orde baru sebagai suatu era
kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik, kritik ini justru ingin menggugat
para kalangan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan degan rezim orde
baru tetapi sekarang bagaikan orang suci yang menjadi penggawa menyerang balik
rezim orde baru.
Sikap tidak
konsisten dan gampang ber-metamorfosis menjadi bentuk baru yang sebenarnya hanya
sebatas lapis luar saja ini menjadi
salah satu sikap yang banyak mengemuka dan dipertontonkan oleh para pendekar
politik nasional saat ini. Sikap yang cenderung hanya ingin membangun citra ini
menjadi sumber utama perdebatan tidak produktif serta menimbulkan persaingan
tidak sehat, bahkan menjurus kearah kompetisi menghalalkan segala cara dan
pragmatis.
Ironisnya wacana yang dikemukakan untuk membenci orde
baru dan menjadikan rezim orde baru sebagai biang kerok persoalan justru muncul
ketika kepentingan diri dan kelompoknya terancam tidak terpenuhi. Misalnya
peraturan perundang-undangan yang dilahirkan di era reformasi diklaim sarat
dengan aroma paradigma orde baru ketika konstitusi tersebut dianggap sebagai
rintangan terhadap keinginan pribadi dan kelompok.
Salah satu
wacana paling anyar dan masih hangat dalam atmosfir kehidupan politik nasional
saat ini adalah menggugat kembali penerapan system pemilihan langsung kepala
daerah, baik itu pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Sekarang muncul kembali
perbincangan yang mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada system
pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena pemilihan
langsung dinilai membutuhkan biaya tinggi, melahirkan politik uang (money politik) dan hanya melestarikan
Oligarki politik.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa pemilihan langsung kepala daerah merupakan anak kandung
reformasi dan lahir dari rahim reformasi yang menginginkan terjadinya proses
perubahan dan demokratisasi kehidupan polotik, berbangsa dan bernegara. Namun
ketika system pemilihan langsung ini ditenggarai sarat dengan politik uang
apakah menggantinya kembali kepada system semula merupakan satu-satunya jawaban
yang paling tepat serta dianggap menjadi solusi paling efektif ?
Jangan-jangan
ususl yang mengemuka ini hanya merupakan indikasi dan gambaran tengah
terjadinya keadaan frustrasi dan kehilangan akal sehat di dalam diri
orang-orang yang mengemukakannya ? Karena sudah kehilangan cara untuk
melestarikan akses kepentingannya maka tidak sadar untuk melakukan tindakan trial and error terhadap system kehidupan
politik nasional. Jika dugaan ini memang benar-benar yang terjadi, alangkah naif-nya,
dan betapa mahalnya nilai yang mesti disia-siakan hanya demi kepentingan
sebagian kecil pihak tertentu.
Munculnya
keinginan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD merupakan
wacana tidak terpuji, dan hanya akan menjadikan bangsa ini asik dengan diri
sendiri melakukan eksprimen terhadap system kehidupan politik, dan akan selalu
melakukan gugatan demi gugatan hanya untuk melampiaskan libido politik liar dan tidak terkendali.
Kalau memang
money politik sebagai alasan utama
menilai pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah tidak efesien dan efektif,
bukankah mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD justru akan hanya memindahkan budaya money politik tersebut ke ruang
kekuasaan DPRD ? Secara kasat mata dapat kita lihat bahwa institusi DPRD juga
bukan merupakan sebuah lembaga yang sangat bersih dari praktek politik uang,
bahkan menurut data KPK justru kalangan DPR / DPRD merupakan oknum yang
terbanyak menjadi sasaran tembak KPK dibandingan dengan oknum dari lembaga
lain.
Dan sejarah
masa lalu juga penuh dengan kasus politik uang ketika pemilihan kepala daerah masih
dilakukan melalui DPRD, dan tidak dapat ditutup-tutupi bahwa karena maraknya
politik uang pada pemilihan kepala daerah yang dilakukan kalangan DPRD tersebut
menjadi salah satu sumber semangat melahirkan pemilihan kepala daerah dilakukan
secara langsung pada era reformasi. Jadi jika masih ada keinginan untuk
mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD berarti niat tersebut tidak
ubahnya bagaikan menyemai persoalan baru yang ujung dan pangkalnya tidak jelas
dimana.
Mencermati
semakin maraknya keinginan untuk mengusulkan pemilihan kepala daerah dikembalikan
kepada pangkuan tangan DPRD, salah satu pertanyaan dan bahan permenungan yang
sangat menarik untuk dikemukakan adalah, ” Apa
sebenarnya yang telah lama hilang dari kerangka berpikir anak bangsa ini ? “
Jika kita
masih berkenan melakukan penziarahan untuk menyelusuri sejarah kehidupan
berbangsa dan bernegara, ada salah satu ciri khas yang sering menyelimuti cara
berpikir para elit penguasa di negeri ini, yaitu menjadi bangsa pelupa dan asik
menarik garis untuk memilih siapa kawan serta siapa lawan. Ironisnya yang
dijadikan menjadi lawan atau musuh bersama tersebut justru sesame anak bangsa
sendiri, sehingga dengan menggumpalnya rasa perlawanan tersebut maka budaya melupakan
apa yang baik dari pihak lawan juga semakin terakumulasi. Bahkan adakalanya
timbul pemikiran yang menganggap bahwa segala sesuatu yang memiliki kaitan
dengan rezim masa lalu semuanya tidak benar dan dianggap bagaikan sebuah virus
penyakit menular yang mesti dihindarkan, bahkan bila perlu dihancurkan.
Dengan lahirnya
orde baru tidak dapat disangkal bahwa rezim ini telah melakukan diferensiasi pemikiran
terhadap orde lama, dan berupaya dengan segala cara mengeliminir buah pemikiran
yang sebelumnya dilahirkan oleh The Founding Father, bahkan menjadikan buah pemikiran
pejuang bangsa ini yang sebenarnya masih layak menjadi virus menakutkan - misalnya buah pemikiran Bung Karno dan Bung
Hatta-, dan memformulasikan pemikiran baru hanya untuk kepentingan pribadi dan
kelompok berdasarkan interpretasi sendiri demi melanggengkan kekuasaan dan
akses terhadap eksploitasi politik dan ekonomi.
Demikian
juga kelahiran era reformasi tidak terlepas dari sikap yang menginginkan
munculnya tindakan untuk membenci semua yang dianggap memiliki kaitan dengan
orde baru, segala sesuatu yang ada hubungannya dengan orde baru dijadikan
sebagai musuh bersama. Padahal pada kenyataannya oknum-oknum yang paling getol
menyebarkan kebencian kepada rezim orde baru tersebut justru orang yang tidak
dapat dipisahkan dari kejayaan orde baru. Sulit rasanya membuat kriteria siapa
diantara para elit politik dewasa ini yang benar-benar bias dianggap tidak
memiliki kaitan dengan elit politik orde baru, bahkan banyak diantaranya justru
tokoh-tokoh penting yang ikut berkiprah dan menikmati lezatnya kue racikan orde
baru.
Justru yang
membuat hati semakin miris dan pilu, para elit politik era reformasi yang saat
ini masih bercokol dan menari-nari di tengah-tengah lingkaran kekuasaan
eksekutif, legislative maupun yudikatif justru terjebak kedalam sikap yang sama
untuk menjadikan sesamanya yang mengaku sebagai pejuang reformasi menjadi lawan
dan musuh. Lengkaplah sudah bentuk permusuhan yang terpelihara dengan baik
ditengah – tengah para elit politik dewasa ini sehingga semakin larut dan
terjerumus semakin dalam ke ruang bangsa pelupa.
Karena
keasikan dengan ritme kehidupan politik yang sarat dengan permusuhan yang tidak
sehat maka anak bangsa ini juga banyak yang ikut larut kedalam sikap melupakan
sejarah, terutama melupakan karakter.
Karakter
Bangsa Indonesia telah lama kehilangan wujud aslinya karena para anak bangsa
larut dalam permusuhan diantara sesama. Maka jangan menyesal jika atmosfir
kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya system kehidupan politik dewasa
ini sarat dengan karakter bangsa lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan
politik dewasa ini telah dijangkiti oleh politik liberal, dan tidak ubahnya
seperti system ekonomi pasar yang mengandalkan mekanisme pasar berkarakter hukum
suplay and demand atau hukum penawaran dan permintaan.
Ketika
kehidupan politik didominasi oleh aliran pemikiran yang menganut system liberalisasi
tanpa karakter yang jelas, maka tidak mengherankan jika dalam setiap pemilihan
umum yang sering terjadi adalah money politik, bukankah dalam system ekonomi
pasar semuanya dihitung berdasarkan keuntungan atau kerugian, serta segala
sesuatunya dinilai berdasarkan nilai-nilai nominal uang.
Masyarakat
juga dinilai berdasarkan kebutuhan material, oleh karena itu para politisi
ketika ingin mendapatkan dukungan atau pilihan dari masyarakat maka politisi
juga harus mampu memenuhi kebutuhan materi calon pemilihnya.
Berbeda
halnya jika kehidupan politik diwarnai oleh budaya pengembangan karakter (Character Building), dalam system pengembangan karakter yang
menjadi dominan dalam menentukan sikap dan tindakan seseorang adalah kerangka
berpikirnya (mindset) dan keyakinan (belief).
Karena kerangka berpikir yang mempengaruhi cara menentukan pilihan maka
untuk menggeser atau merubah tindakannya juga harus melalui pergeseran cara
berpikir dan keyakinannya, oleh karena itu berlaku indoktrinisai wacana
pemikiran, idiologi maupun visi dan
misi, dan uang atau materi bukan menjadi sebuah ukuran.
Oleh karena
itu jika masih ada keinginan untuk mengutak-atik pemilihan langsung kepala
daerah dengan alasan hanya karena dituduh penuh dengan praktek money politik, itu terlalu naïf dan
tidak proporsional, dan perlu direnungkan
kembali relevansinya, dan bukan hanya money
politik yang mesti dijadikan sebagai akar persoalan satu-satunya, dan persoalannya
bukan hanya sebatas karena suka tidak suka, tetapi persoalan terbesar yang
tengah terjadi dalam kehidupan sosial politik nasional adalah kehilangan
karakter.
Dalam kasus
pemilihan Gubernur Jakarta yang akan berlangsung memasuki putaran kedua, issu
money politik juga masih saja ada yang mengemuka, walaupun sampai hari ini
belum bias dibuktikan. Namun ditengah-tengah semaraknya perbincangan tentang
pemilihan kepala daerah yang umumnya sarat dengan praktek politik uang,
sebenarnya ada sebuah harapan terhadap pemilihan Gubernur Jakarta memberikan
pembelajaran berharga bahwa tidak selamanya factor uang yang dominan menentukan
keberhasilan seorang calon kepala daerah untuk memenangkan pemilihan umum.
Secara
sederhana dapat kita amati bahwa pasangan Jokowi dalam pertarungan menuju
Gubernur Jakarta, sejak awal pencalonan telah memulai menunjukkan suasana baru
dalam mendapatkan dukungan dan kampanye, yaitu dalam mengatasi kebutuhan biaya
kampanye yang sangat besar, pasangan ini menciftakan system jaringan berantai
atau system sel untuk mengumpulkan dana kampanye. Salah sat contohnya adalah
membuat baju kotak-kotak sebagai cirri khas atau brand image, dan kemudian menjual produk baju tersebut ke
konstituennya, bahkan menurut informasi terakhir malahan baju tersebut laku
dijual ke berbagai pelosok daerah diluar Jakarta.
Cara ini
selain merupakan strategi untuk mengumpulkan dana, secara inplisit sebenarnya
memuat nilai-nilai pembelajaran yang berkaitan dengan sikap gotong royong dan
pembangunan karakter untuk saling membantu satu sama lain. Dan yang terpenting
dari proses penjualan baju dan diperolehnya dana bantuan dari konstituren
pasangan Jokowi menunjukkan sikap bahwa mereka akan dibebankan tanggungjawab
untuk tidak melakukan praktek korupsi jika nantinya terpilih menjadi Gubernur
Jakarta.
Demikian
juga sebaliknya, masyarakat pemilih Jokowi secara tidak langsung dengan membeli
baju kotak-kotak menunjukkan bahwa jika ingin mendapatkan seorang pepimpin yang
sesuai dengan harapan dibutuhkan kerjasama yang baik serta kemauan untuk
bergotongroyong untuk mewujudkannya, dengan memberi bantuan dana kepada sang
calon maka secara philosopis tersirat
pesan khusus kepada calon tersebut untuk tidak melakukan pencurian terhadap
uang yang seharusnya dialokasikan kepada rakyat, karena terpilihnya sang calon
tersebut sudah ditunjukkan karena memang rakyat yang membantunya.
Apa yang
dilakukan oleh pasangan Joko Widodo dalam proses pemilihan Gubernur Jakarta
hanya sebagian dari contoh yang bisa dijadikan proses pengembangan karakter
untuk melahirkan pemilihan umum yang berkarakter sesuai dengan jiwa bangsa
Indonesia. Dan contoh kasus ini menjadi
sebuah indikator bahwa ternyata masih terbuka kesempatan untuk melakukan
pemilihan kepala daerah tidak hanya harus dilakukan dengan mengandalkan uang
atau materi.
Dan yang
membanggakan, ternyata masyarakat kita, khususnya di Jakarta, ternyata masih
banyak yang tidak menjadikan uang atau materi sebagai satu-satunya ukuran untuk
menentukan pilihan dan dating ke TPS (Tempat Pemungutan Suara). Kenyataan ini
menjadi sebuah pukulan balik terhadap pihak-pihak yang selama ini menganggap
bahwa rakyat itu dapat dibeli dengan kekuatan uang. Belajar dari pengalaman
pasangan Jokowi yang telah berhasil menggerakkan pemilihnya untuk ikut
berpartisipasi menyumbangkan dananya secara sukarela maka wajar jika kita
memberikan rasa hormat kepada Pasangan Jokowi dan masyarakat Jakarta yang telah
mampu memberikan pelajaran berharga bagi seluruh masyarakat Indonesia. Khususnya
kepada para politisi yang selama ini hanya mengandalkan kekuatan uang untuk
terpilih dalam pemilihan umum fenomena ini menjadi sebuah cermin bening untuk
menilai diri.
Dan semoga
realita ini menjadi virus yang baik dalam kehidupan politik nasional kedepan,
dan menjadi pola anutan bagi pemilihan kepala daerah diwilayah lain, serta
menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia dan pertanda bahwa masih
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kehidupan social politik yang tidak
mengandalkan money politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar