http://www.fotosearch.com/illustration/americana.html |
Dalam hegemoni,
kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk
menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan atau
kelompok yang berkuasa. Hegemoni berasal dari bahasa Yunani “Hegeisthai” yang
dalam bahasa Inggris berarti “to lead”.
Menurut Antonio
Gramsci – tokoh yang menggagas hegemoni-, hegemoni merupakan sebuah upaya pihak
elite penguasa yang mendominasi untuk menggiring cara berpikir, bersikap, dan
menilai masyarakat agar sesuai dengan kehendaknya. Proses indoktrinisasi dan
penerimaan ide-ide tersebut berlangsung dengan cara berlahan-lahan, lembut dan tanpa
terasa, sehingga masyarakat atau kelompok kemudian menerima hegemoni tersebut
dan mengadopsinya dengan perasaan senang
dan suka rela menjalankannya.
Proses hegemoni
dapat terjadi melalui media massa, sekolah-sekolah, khotbah kaum religious,
maupun indoktrinasi. Menurut Gramsci
proses perubahan sosial tersebut tidak semata-mata diartikan sebagai perebutan
kekuasaan politik, melainkan suatu perebutan kekuasaan budaya dan ideology,
yaitu dengan cara merubah pandangan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat
sipil.
Jika budaya dan
ideology masyarakat sipil sudah dapat dipengaruhi dan direbut (di-hegemoni)
maka kekuasaan dianggap telah direbut,
dan terjadi revolusi sosial, kepemimpinan politik bisa diambil alih secara
mudah.
Hegemoni erat
kaitannya dengan kepemimpinan budaya, dimana cara hidup dan kerangka pemikiran
tertentu ditanamkan ke benak masyarakat, sehingga masyarakat tersebut
menganggapnya menjadi aliran pemikiran yang paling benar, dan mengikuti dan
menjalankannya dengan sukarela, seluruh bidang kehidupan masyarakat
terpengaruh, baik itu bidang sosial,
politik, ekonomi, budaya, keagamaan, seni, dan pendidikan.
Menurut Gramsci, untuk melakukan hegemoni dilakukan
melalui dua cara yaitu melalui “war of position” (perang posisi), dan “war of
movement” (perang pergerakan). Perang posisi dilakukan dengan cara
memperoleh dukungan melalui propaganda media massa, membangun aliansi strategis
dengan barisan sakit hati, pendidikan pembebasan yang bermuara untuk
meningkatkan kesadaran diri.
Dalam kehidupan
global, khususnya dalam atmosfir kehidupan politik internasional, hegemoni sering
ditafsirkan sebagai bentuk baru dari imperialisme (neo-imperialism), yaitu
dimana peradaban barat merupakan sebuah hegemoni, dan menjadikan bangsa-bangsa
Asia, Amerika Latin, dan Afrika dalam banyak hal “terkuasai” dan mengalami
“ketergantungan” dengan kekuatan-kekuatan yang berasal dari peradaban barat.
Sebenarnya
kepentingan utama Negara Barat dalam kehidupan global adalah dominasi ekonomi,
dan untuk merealisasikan dan mendukung keinginan tersebut selanjutnya dilakukan
usaha dominasi terhadap politik melalui cara yang halus, misalnya melalui “rezim pengetahuan”. Rezim pengetahuan
yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain
untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian
rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara
berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.
Hegemoni
pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang
dengan setia menyebarkan dan membela
nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak
asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai
universal yang merupakan produk peradaban terbaik.
Amerika Serikat
merupakan salah satu Negara yang dipandang memiliki kekuatan hegemoni di seluruh
belahan dunia ini, hal itu telah dimulai sejak berakhirnya perang dunia kedua,
dan semakin terkristalisasi dan mapan
setelah berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat versus Uni Soviet.
Ambruknya Uni Soviet banyak dipandang
sebagai sebuah monument lahirnya suatu era baru kehidupan global, terutama
dipandang sebagai sebuah zaman baru kehidupan politik internasional. Perang
dingin yang diwakili oleh Amerika Serikat versus Uni Soviet yang sengit terjadi
paska perang dunia kedua merupakan perang ideologis yang banyak menyita
perhatian dan energy, sehingga dengan berakhirnya perang dingin ini banyak yang
menganggap hal itu sebagai suatu kesempatan munculnya atmosfir baru politik
internasional.
Pada tahun 1989, Francis Fukuyama
melahirkan sebuah esai yang membicarakan arah politik internasional paska
perang dingin dengan judul “Akhir Sejarah”, pada intinya Fukuyuma mengatakan
bahwa “telah tiba akhir sejarah”, yaitu ditandai oleh terjadinya evolusi ideologis
umat manusia dengan mengasumsikan “Demokrasi Liberal” merupakan pilihan paling
tepat dalam kehidupan politik di seluruh belahan dunia, dan komunisme sebagai
pilihan alternative dianggap telah mati, sehingga perdebatan tentang bentuk
ideal pemerintahan dianggap telah selesai (paripurna) – sebagai pertanda
berakhirnya sejarah-, kemenangan penuh liberalisme ekonomi dan politik.
Berakhirnya perang dingin ini diklaim
sebagai sebuah momentum yang menunjukkan kemenangan barat ,“keunggulan ide barat”,
dan merupakan bukti telah pudarnya semua
system alternative selain liberalisme ala barat. Kemenangan ide barat ini
menurut Fukuyama dapat dilihat secara kasat mata melalui tersebar luasnya
budaya barat diberbagai belahan dunia yang ditandai oleh semakin meningkatnya
budaya konsumerisme barat dalam berbagai konteks kehidupan seperti pasar
pertanian yang liberal, produk barat yang telah familiar diseluruh belahan
dunia – bahkan di Negara komunis - , maraknya toko waralaba (franchise) barat
dimana-mana, dan menggemanya suara Beethoven dan music rock di berbagai penjuru
dunia.
Fenomena ini menurut Fukuyama bukan
sekedar akhir perang dingin, tetapi merupakan akhir sejarah: yakni, titik akhir
evolusi ideology umat manusia dan makin universalnya demokrasi liberal barat
sebagai bentuk final pemerintahan umat manusia, namun Fukuyama juga
mengingatkan bahwa kemenangan liberalisme tersebut baru terjadi di tataran idea
atau kesadaran, dan belum genap dalam dunia nyata atau materiil, tetapi
selanjutnya Fukuyama meyakinkan bahwa yang ideal pada akhirnya akan mengatur
dunia materi.
Pada tahun 1993 Samuel P. Huntington
melalui esainya “ Benturan Peradaban”, mengatakan bahwa jalur genting selanjutnya
bukanlah bersifat ideologis, ekonomi atau politik, melainkan bersifat budaya, yaitu
ketika peradaban-peradaban dunia saling berbenturan. Budayalah yang akan
menjadi factor pemecah-belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan.
Negara-bangsa masih menjadi actor dominan dalam percaturan dunia, namun konflik
utama dari politik global akan terjadi antara Negara dan kelompok dari
peradaban yang berbeda. Benturan peradaban akan mendominasi politik global.
Kemudian Huntington mengemukakan,
Selama perang dingin dunia terbagi menjadi dunia pertama, dunia kedua dan dunia
ketiga, pembagian ini dianggap tidak relevan lagi, karena pengelompokkan negara-negara
bukan lagi berdasarkan system politik atau ekonomi tetapi berdasarkan budaya
dan peradaban. Dengan melihat peradaban sebagai sebuah entitas budaya, maka
peradaban adalah pengelompokan budaya tertinggi dari sekelompok orang lewat unsur-unsur
bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi maupun melalui identifikasi diri.
Mencermati isi ringkas esai yang
dikemukan Fukuyama dan Hutington diatas, era paska perang dingin saat ini,
bentuk hegemoni yang masih akan mengemuka dalam percaturan politik
internasional atau kehidupan global masih akan diwarnai oleh infiltrasi ide-ide
dari negara besar secara volume ekonomi terhadap negara-negara lain, hal ini
dilakukan sebagai salah satu cara mempertahankan hegemoni-nya, dan tujuan
akhirnya tetap untuk kepentingan dominasi ekonomi, semuanya itu sebagai bentuk
baru penjajahan atau imperialis baru (Neo-Imperialism).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar