http://www.antaranews.com |
Paska berakhirnya perang dingin blok Timur Versus Blok Barat yang
ditandai oleh runtuhnya Uni Soviet musuh bebuyutan Amerika Serikat membuat konfigurasi
politik global mengalami pergeseran. Euforia kemenangan blok Barat yang identik
dengan faham liberalisme dan kapitalisme menjadi wacana menarik dan menjadi
monumen kemenangan hegemoni Amerika Serikat dalam percaturan politik
Internasional.
Antonio Gramsci mengatakan
hegemoni merupakan upaya pihak
elite penguasa yang mendominasi untuk menggiring cara berpikir, bersikap, dan
menilai masyarakat agar sesuai dengan kehendaknya. Proses indoktrinisasi dan
penerimaan ide-ide tersebut berlangsung dengan cara berlahan-lahan, lembut dan
tanpa terasa, sehingga masyarakat atau kelompok tertentu menerima hegemoni
tersebut dengan senang dan suka rela. Proses internalisasi aliran pemikiran
yang bermuara menjadikan Amerika Serikat sebagai pola anutan system kehidupan
politik, ekonomi dan budaya modern berlangsung secara massif, dan seakan ideology
lain dianggap telah mati. Francis Fukuyama mengatakan berakhirnya perang dingin merupakan akhir sejarah, yakni titik akhir
evolusi ideology umat manusia yang menjadikan demokrasi liberal barat semakin universal.
Samuel
P. Huntington kemudian mengatakan jalur genting selanjutnya bukan bersifat
ideologis, ekonomi atau politik, melainkan bersifat budaya, yaitu ketika
peradaban-peradaban dunia saling berbenturan. Budayalah yang akan menjadi faktor
pemecah-belah umat manusia dan sumber konflik. Negara-bangsa masih menjadi aktor
dominan, namun konflik utama politik
global akan terjadi antara Negara dan kelompok peradaban yang berbeda. Selama
perang dingin dunia terbagi menjadi dunia pertama, dunia kedua dan dunia
ketiga, pembagian ini dianggap tidak relevan lagi, karena pengelompokkan
negara-negara bukan lagi berdasarkan system politik atau ekonomi tetapi
berdasarkan budaya dan peradaban.
Wacana
yang dikemukakan Fukuyama dan Hutington tersebut akhirnya menjadi bahan perbincangan
hangat seluruh dunia, sehingga kedua
esai itu sangat legendaris. Banyak pihak meyakini dan turut membenarkan bahwa
masa depan umat manusia berjalan lebih
baik dibandingkan ketika terjadi perang dingin. Thesis Fukuyama dan Hutington
ini kemudian bagaikan obat penenang (sedatifa), atau obat tidur (hipnotika) yang membuat orang lupa terhadap inti persoalan sesungguhnya,
misalnya kerjasama ekonomi yang tidak adil dan hegemoni AS terhadap Negara lain.
Paska
berakhirnya perang dingin pertarungan ideology tidak begitu kentara lagi, namun
secara fenomena dapat dilihat penampakan gejala
negatif praktek konfigurasi politik global kontemporer. Yaitu semakin
menguatnya cenkeraman kepentingan Negara adi daya terhadap perekonomian Negara lain, kebijakan dan konsensus yang tercifta hanya berpihak kepada Negara besar. Sifat
eksploitasi terhadap pihak lemah muncul dengan gaya baru (neo-imperialism). Negara besar semakin berkuasa sedangkan negara
pinggiran terkoptasi dan terbelit ketergantungan. Keadilan yang sesungguhnya
hanya sebatas retorika belaka karena cengkeraman hegemoni telah menusuk ke
seluruh dimensi.
Indonesia
sebagai entitas politik global, tidak luput dari cengkeraman dampak negatif interaksi
ekonomi internasional, dan khususnya dampak geliat asimetris Amerika Serikat
dalam Trans Pasific Partnership. Di dalam dokumen Project for The New
American Century and Its Implications 2002 (PNAC) Pentagon memprediksi akan
muncul persaingan sengit antara AS dan
Cina dalam bidang ekonomi. Tahun 2004 dokumen senada diterbitkan Dewan
Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council)
bertajuk Mapping The Global Future yang meramal kebangkitan Asia dengan
Cina dan India menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia pada dekade
2020-an.
AS gencar mengembangkan asymmetric
strategy (non militer) untuk mengantisipasi perubahan geopolitik. Kendati
manuver simetris (militer) masih eksis, dalam pelaksanaannya lebih mengutamakan
strategi asimetris , karena
perang terbuka dirasakan hanya melahirkan sikap benci kepada AS,butuh dana
besar dan merusak reputasi. Pola asimetris dikembangkan selain lebih murah dianggap
cukup handal, hanya melalui diplomasi mampu mengacak-acak sistem informasi
negara lain, menggerakkan massa, dan mengadu-domba elemen bangsa lain, dan
menghancurkan ekonomi suatu bangsa melalui aturan serta system.
Trans Pasific Partnership dalam bentuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC (Asia-Pacific
Economic Cooperation)
salah satu wadah persemaian cengkeraman hegemoni AS. APEC beranggotakan
lintas benua, ada Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapore,
Brunei, Peru, Chile dan Indonesia. Kerjasama
ini dirasuki agenda terselubung untuk membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik.
AS didalamnya memiliki kepentingan terselubung untuk mempertahankan hegemoninya
dan mengantisipasi kebangkitan Ekonomi
China yang diprediksi akan melampaui volume ekonomi AS pada tahun 2016. Gerakan
asimetris AS dilakukan dengan mendesak pemberlakuan undang-undangan hak paten, pembukaan akses produk perusahaan
multinasional. Peraturan pada skema APEC
diupayakan menguntungkan perusahaan multinasional, dan sekaligus
memperlemah dan menghancurkan perusahaan lokal. Negara penghasil bahan mentah (raw material) ditegaskan kembali
posisinya hanya sekedar penghasil bahan
mentah (the country of origin should be the state-producer of raw materials).
Lebih memprihatinkan lagi, selain
gagasan tersebut bersifat proteksionis bagi ekonomi AS, selalu mengaitkan kerjasama
ekonomi dengan isu-isu demokrasi, lingkungan hidup dan HAM. Berdasarkan
pengalaman Indonesia dalam ekspor Kelapa Sawit ke berbagai negara, termasuk AS,
skema tersebut digunakan untuk membendung ekspor Kelapa Sawit Indonesia ke Amerika.
Dalih yang digunakan mengatakan kelapa sawit Indonesia tidak ramah lingkungan,
merusak habitat alam dan menimbulkan pemanasan global, padahal agenda
tersembunyi AS ingin melindungi pertanian domestiknya dan ekspor kedelai.
Awal tahun 2012 AS menolak produk sawit Indonesia dengan alasan
tingkat emisi karbon yang tidak sesuai dengan standar. Hal ini menjadi tangtangan
bagi Indonesia yang memiliki luas lahan sawit sekitar 9 juta hektar dan hasil
produksi CPO mencapai lebih dari 22 juta
ton per tahun, yang menempatkannya sebagai negara yang memproduksi minyak sawit
terbesar di dunia. Tekanan yang dilakukan AS sangat ambinguitas karena alasan
kelestarian lingkungan yang dikemukanan tidak proporsional. Berbicara tentang emisi gas rumah kaca, AS
merupakan negara penyebab emisi karbon terbesar di dunia. Jika dilihat dari
faktor penggunaan lahan, dan dibandingkan dengan tumbuhan penghasil minyak
nabati lain seperti kedelai, bunga matahari, dan rap seed yang ditanam besar-besaran di Amerika, kelapa sawit hanya
memerlukan 0,26 hektare lahan untuk memproduksi satu ton minyak. Sedangkan
kedelai memerlukan luas lahan 2,22 hektare, bunga matahari 2 hektare, dan rap seed memerlukan 1,52 hektare.
Pada bulan Oktober 2013, di Bali,
Indonesia akan menjadi tuan rumah
Konferensi Tingkat Tinggi APEC, disatu sisi kita harus memberi apresiasi
atas kesempatan yang diberikan kepada Indonesia, namun disisi lain muncul
pertanyaan dan gugatan, sejauh mana substansi pertemuan tersebut memberi
manfaat kepada perekonomian Indonesia, terutama manfaatnya kepada stake holder atau pemangku kepentingan
ekonomi nasional, termasuk didalamnya petani dan industry kelapa sawit.
KTT APEC tahun 2013 memiliki nilai strategis bagi Indonesia, selain Indonesia menjadi tuan rumah sekaligus menjadi
ketua forum kerja sama ekonomi negara-negara Asia Pasifik. Sebagai salah
satu negara pendiri, Indonesia semestinya mendukung kelangsungan forum APEC,
tetapi jauh lebih penting adalah
keberadaan Indonesia di APEC harus diperhitungkan, dan kepentingan
Indonesia diperjuangkan. Indonesia harus tetap menjadi motor penggerak di dalam
dan menjadikan KTT APEC di Bali tahun 2013 sebagai momentum kebangkitan politik
luar negeri Indonesia.
Harapan ini kita sampaikan kepada pemerintah, terutama untuk
menunjukkan kehadirannya ditengah himpitan dinamika perekonomian global yang
menjadikan para petani kita merasa terasing di ladangnya sendiri. Kelapa sawit
sudah merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia, dan merupakan
produk yang memiliki keunggulan komperatif bagi Bangsa Indonesia, oleh karena
itu sangat mengharapkan kehadiran pemerintah untuk membela dan memberi stimulus
melalui regulasi maupun perjuangan diplomasi di forum Internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar