(Naskah Kerja yang
dibawakan dalam Forum Studi Sanggar Kebangsaan di Toba, Sumatera Utara)
“Sebelum kita mempertimbangkan satu
pertanyaan yang selalu tampil seolah-olah sebagai satu-satunya pertanyaan yang
paling penting dan mendesak: ‘apakah yang harus kita perbuat?’, terlebih dahulu
kita perlu mempertimbangkan pertanyaan ini: ‘bagaimanakah kita harus berpikir?’
Sebab, berpikir adalah perbuatan/tindakan yang sejati dan sesungguhnya.”[i][i]
“Manusia tidak lagi dapat mencari dan
mengarahkan diri sebab ia tidak lagi dapat berpikir.”[ii][ii]
[Martin Heidegger]
Jika
kita mencoba sejenak mengamati gerak sejarah pemikiran politik di masa modern,
sejak abad ke-19 hingga abad ke-21 ini, kita akan segera melihat bahwa kata Kedaulatan
tidak lagi menjadi kosakata
pokok-utama dalam diskursus teori politik. Politik dalam bentuk ekspresinya
yang modern lebih menekankan pada tema seputar kesahihan-kesempurnaan sistem
politik, kesetaraan partisipasi politik, dan kecanggihan aparatus
legal-birokratis. Tentu tidak ada yang keliru dengan pendekatan politik modern
ini, bahkan baik adanya. Persoalan muncul saat pendekatan politik modern
tersebut mengorbankan kedaulatan politik atas nama kesahihan sistem politik, memisahkan dua hal yang sebenarnya saling mengandaikan.
Persis relasi yang saling menegasi, saling memisahkan dan saling mengorbankan
inilah yang pada kenyataannya terjadi dalam realitas politik kontemporer,
realitas yang di dalamnya setiap orang dapat berbicara mengenai ‘politik’ dan
‘demokrasi’ secara gampang-gampangan tanpa pernah mempertanyakan syarat-syarat
kemungkinan paling pokok yang niscaya menopang ideal demokrasi.[iii][iii]
Kita
tidak lagi mempertanyakan “apakah itu politik?” dan “apakah itu demokrasi?”
sebab kita menerima begitu saja seluruh pengandaian teori politik modern tanpa
mempertanyakannya lebih lanjut. Kita tidak lagi terbiasa untuk membongkar
secara kritis pengandaian-pengandaian tersembunyi di balik suatu cara-pandang
dunia (Welt-anschauung) yang
menggerakkan jalannya sejarah. Padahal, realitas politik yang konkret dan
praktis itu (yang terbatas / partikular) akan selalu digerakkan oleh – dan terkait erat dengan –
cara-pandang dunia yang melatarbelakanginya (yang menyeluruh / universal) berikut segala pengandaian-pengandaian dasar yang
menopangnya.
Tema
kedaulatan politik selalu terkait erat dengan persoalan seputar pergulatan-diri
serta pemahaman-diri manusia (Self-Understanding) sebagai darah dan daging yang hidup dan mati di dalam
suatu sistem kekuasaan politik tertentu. Sementara tema kesahihan-kesempurnaan
sistem politik selalu terkait erat dengan persoalan seputar kecukupan-diri (Self-Sufficiency) serta kesempurnaan bentuk sistem politik yang terbaik yang
dapat berguna secara efektif-efisien bagi para manusia yang
menjalankan/menggunakannya. Jika problem kedaulatan berbicara mengenai keutuhan
manusia sebagai subjek/pelaku/dasar dari
segala aktivitas politik dalam segala dimensinya, maka problem kesempurnaan
sistem politik berbicara mengenai keutuhan bangunan sistem politik sebagai objek kajian yang paling penting
dari seluruh aktivitas politik. Jika pembicaraan mengenai kedaulatan langsung
menelisik pada aspek eksistensial-subjektif manusia dalam politik, maka pembicaraan mengenai
kesempurnaan sistem langsung menekankan pada dimensi netral-objektif
sistem politik.
Lebih
spesifik lagi, tema kedaulatan politik mengangkat problem subjektivitas dan individualitas manusia sebagai subjek politik yang khas, dan kekhasan ini
akan selalu menentukan perbedaan corak dan perbedaan karakter politik dalam
komunitas-komunitas politik yang berbeda-beda, di dalam konteks ruang-waktu
yang berbeda-beda pula. Sementara tema kesempurnaan-kesahihan sistem politik
mengangkat problem rasionalitas dan objektivitas sistem yang berlaku sahih di manapun dan kapanpun tanpa
tergantung pada para manusia di dalam ruang-waktu yang tertentu. Singkatnya,
problem kedaulatan akan selalu mengarah pada otentisitas dan eksistensialitas manusia sebagai penggerak seluruh aktivitas politik.
Sementara problem kesempurnaan-kesahihan sistem akan selalu mengarah pada netralitas dan teknisitas sistem politik di hadapan manusia yang sekadar
menjalankannya.
Lewat
naskah ini saya akan mencoba masuk lebih jauh ke dalam beberapa problem dasar (Grundprobleme) filsafat politik kontemporer. Satu problem pokok yang
terus menjadi poros pergulatan filsafat politik kontemporer dapat dirumuskan
sebagai berikut: di dalam sistem tatanan politik-sosial yang semakin modern dan
canggih manusia modern justru semakin mengalami kecenderungan dekadensi yang
tertampakkan dalam gejala teknologisasi, ekonomisasi, privatisasi,
depolitisasi, dan dehumanisasi manusia dalam segala dimensinya. Pertanyaannya: bagaimana
pendekatan cara-pandang modern yang awalnya bermotif mulia, yaitu untuk
mewujudkan kebebasan manusia yang semakin paripurna (libertas,
liberté, to liberalize), ternyata pada
gilirannya justru mengekang, melumpuhkan, dan mengasingkan manusia dari dirinya
sendiri, dari sesamanya, dan dari dunianya (a.l., dunia sosial, dunia politik,
dunia psikis-batin jiwa, dunia gagasan, dll). Dengan kata lain, bagaimana
mungkin cara-pandang yang awalnya bermotif mulia itu justru akhirnya
mengasingkan-melumpuhkan manusia dari kemampuannya untuk bersikap otentik,
mengambil keputusan, dan mewujudkan kebebasannya. Di wilayah filsafat politik
dan teori politik, pertanyaan ini membawa kita masuk lebih jauh ke dalam
problem krisis legitimasi (1),
problem depolitisasi hidup
politik (2), dan problem kedaulatan subjek politik (3).[v][iv]
Tiga hal ini merupakan problem-dasar (Grundprobleme) yang dihadapi oleh seluruh bentuk tatanan
sosial-politik-ekonomi modern hingga saat ini. Fenomenologi Husserl dan
Heidegger, dan khususnya fenomenologi politik Carl Schmitt, akan kita gunakan
sebagai ‘alat baca’ untuk membaca, mengkonfrontasi, dan membongkar
problem-problem dasar ini.
Zuruck zu den Sachen selbst (back to the things themselves) merupakan salah satu konsep kunci dalam fenomenologi
Husserl. Konsep ini menjadi titik tolak metode reduksi fenomenologis Husserl
yang disebut juga sebagai metode epochē.[vi][v]
Secara sederhana, metode fenomenologis ini merupakan suatu metode
kritis-meditatif yang hendak masuk ke dalam lapisan dasar kesadaran (noesis) untuk kemudian mencoba menunda/menangguhkan segala
pra-paham, pra-sangkaan, dan pra-dugaan, yang telah selalu membentuk
cara-berpikir manusia. Dari ruang noesis-meditatif itulah metode fenomenologi
kemudian mencoba melihat ‘sesuatu’ sebagai sesuatu itu sendiri, menyingkapkan
dasar yang mendasari ‘sesuatu’ itu, serta menarik saling-keterkaitan (zusammengehörigkeit) antara sesuatu itu dengan keseluruhan realitas (horizon)
yang melatarinya. Secara sederhana, metode reduksi fenomenologis bermaksud untuk
membongkar segala artifisialitas konstruksi sistem untuk kembali kepada primordialitas
dunia-kehidupan yang mendasarinya. Melalui
‘pembongkaran metodologis’ ini segala klaim kebenaran dan penilaian
ditangguhkan validitasnya, dibekukan keberlakuannya. Lewat
‘penangguhan/pembekuan fenomenologis ini (Einklammerung) kita dapat sejenak melepaskan-membebaskan diri dari segala
jerat kungkungan metode dan ideologi sehingga dapat ‘melihat’ dasar dari segala
sesuatu dengan lebih jernih dan terang-benderang.[vii][vi]
‘Sesuatu’ itu, sebagai pengandaian formal-konseptual, bisa diisi oleh apa saja,
mulai dari ‘manusia’, ‘uang’, ‘hasrat’, ‘jiwa’, ‘kuasa’, sampai dengan
‘masyarakat’ dan ‘politik’.
Jika
metode yang sama diterapkan dalam ruang politik (ruang kesadaran politik), maka
hasilnya adalah penelanjangan atau penyingkapan tanpa tedeng aling-aling
terhadap pengandaian-pengandaian dasar yang problematis dalam teori maupun
praktik politik modern. Pengandaian dasar yang problematis itu dapat dirumuskan
secara sederhana sebagai kerancuan cara-berpikir atau kekeliruan kategoris (kategorien
Miβdeutung)[viii][vii]
yang termuat dalam cara-pandang filsafat modern yang kemudian mendefinisikan
dan mendominasi seluruh teori dan praktik politik modern. Kekeliruan kategoris
atau kerancuan cara-berpikir itu pada pokoknya berkenaan dengan ketidakmampuan
dalam membedakan perbedaan ontologis (ontologische
Differenz)[ix][viii]
antara: 1) sesuatu yang mendasar/primer dan hal-hal turunan/sekunder yang muncul sebagai konsekuensinya, 2) antara keseluruhan
(the Whole) dan bagian-bagian (Parts) yang terdapat dalam keseluruhan itu, 3) antara universalitas yang menyeluruh dan partikularitas yang terbatas, 4) antara faktisitas-ontologis yang mendasar dan faktualitas-ontis yang sementara/empiris.
Kerancuan
kategoris inilah yang kemudian mengakibatkan konsekuensi yang serba
salah-kaprah dalam memutlakkan apa yang sebetulnya partikular menjadi sesuatu
yang universal, memutlakkan hal-hal sekunder menjadi sesuatu yang primer,
memutlakkan kategori empiris-ontis menjadi prinsip ontologis-fundamental.
Singkatnya, kekeliruan dalam menguniversalisasikan sesuatu yang secara
kategoris/mendasar tidaklah universal. Dalam teori dan praktik politik modern,
kerancuan kategoris inilah yang menyebabkan mengapa misalnya dalam praktik
demokrasi (yang secara ide sebetulnya baik) penekanan pada prosedur-prosedur
formal demokrasi justru menginjak atau mengesampingkan kepentingan rakyat yang
sesungguhnya. Demikian juga penekanan pada rasionalitas-netralitas sistem hukum
(legalitas) justru menekuk-melipat kapasitas partisipatif suatu komunitas
politik yang hidup di dalamnya (legitimitas). Atau penekanan pada formalitas
prosedural kenegaraan (birokrasi politik dan administrasi ruang publik) justru
memasung-melumpuhkan identitas serta otoritas subjek-subjek politik yang
seharusnya meniupkan ruh/karakter yang khas dari suatu Negara.
Kerancuan
atau sesat kategoris inilah yang oleh Carl Schmitt disebut sebagai ‘sesat
penyalahgunaan metonymik’ (metonymic abuse) dalam teori dan praktik politik modern (dalam konteks
Schmitt berarti juga meliputi sistem liberalisme maupun komunisme).[x][ix]
Kerancuan kategoris dan sesat berpikir dalam memahami kesejatian dari politik
inilah yang menurut Schmitt menjadi sebab-musabab dari seluruh proses
de-politisasi dunia politik modern. De-politisasi ini dimulai dari motif yang
bukan saja manusiawi, tetapi sebenarnya juga mulia, yaitu hasrat untuk menyusun
tatanan (Ordnung) sosial-politik
yang stabil dan dapat menjadi arah hidup kolektif (Ortung).[xi][x]
Hasrat untuk menyusun tatanan itulah yang mengawali segala kontrak sosial,
kontrak politik, dan kontrak dagang-ekonomi. Tetapi bersamaan dengan
berjalannya proses modernisasi dan teknologisasi, tatanan sistem yang awalnya
bermula dari kontrak kolektif itu kemudian lepas-landas semakin jauh
meninggalkan pergulatan-diri dan kepentingan manusia-manusia konkret yang
hidup-mati di dalamnya. Dinamika sistem tidak lagi berjalan bersamaan dengan dinamika
pergulatan-diri konkret setiap manusia di dalamnya.
Akibatnya
dari kesenjangan ini adalah perkembangan sistem sosial-politik, sebagaimana
juga perkembangan teknologi, justru menciptakan relasi
ketergantungan a-simetris yang tidak setara
antara tuntutan objektivitas sistem yang satu-dimensi dan tuntutan subjektivitas manusia sebagai makhluk multi-dimensi. Relasi ketergantungan asimetris yang
tidak setara inilah yang menjadi sasaran kritik
Schmitt jika ia mengritik proses domestifikasi, ekonomisasi, depolitisasi, dan
dehumanisasi yang terjadi dengan semakin brutal di dalam sistem ekonomi
kapitalistik dan sistem politik demokrasi liberal-konstitusional. Sistem
politik demokrasi liberal-konstitusional, dalam bahasa Schmitt, menciptakan
makhluk-makhluk politik yang anonim dan terasingkan satu sama lain.
Makhluk-makhluk politik ini sekadar menjadi massa anonim yang tanpa identitas
sebab rasionalitas serta netralitas sistem birokrasi-konstitusi modern memang
dimaksudkan untuk mensterilkan ruang-publik dari faktor subjektif. Akibatnya,
dalam sistem seperti ini seluruh pertanyaan tentang legitimasi (legitimitas) direduksi ke dalam rumusan-rumusan birokratis-prosedural (legalitas).[xii][xi]
Kecenderungan ini berjalan sejajar dengan kepercayaan naif sains (ilmu-ilmu
alam) yang naturalistik bahwa alam bekerja secara objektif-netral-rasional
terlepas dari intensi manusia-manusia yang ada di dalamnya. Dalam sistem
ekonomi kapitalistik juga terjadi kenaifan dan kerancuan yang sama, yaitu bahwa
sistem pasar diandaikan bekerja menurut hukum-hukumnya sendiri yang berlaku
objektif-netral-rasional, sehingga manusia-manusia yang terlibat di dalam
mekanisme pasar itu diandaikan tidak mempunyai daya-kuasa atas sistem tersebut.
Maka
baik dalam wilayah politik maupun ekonomi manusia mengalami depolitisasi
dan dehumanisasi entah sebagai massa anonim yang tanpa karakter ataupun
sebagai objek komoditas yang tanpa arah. Bersama dengan depolitisasi dan
dehumanisasi itu manusia tidak mempunyai pilihan lain kecuali: 1) semakin
tersudutkan ke dalam ruang privatnya masing-masing yang terpisah dari ruang
publik, dan dengan itu semakin terasing dari keputusan-keputusan publik-politik
(mengalami de-politisasi), atau 2) semakin terlempar ke luar ke mekanisme ruang
publik (entah politik atau ekonomi) yang anonim di mana intensi-intensi
subjektifnya tidaklah relevan, dan dengan itu semakin mengalami keterasingan
dari dirinya sendiri (de-humanisasi). Apa yang semakin terkikis dari manusia
bersamaan dengan depolitisasi dan dehumanisasi ini adalah dua hal yang
sebetulnya telah selalu menjadi bagian dari diri manusia, yaitu: 1) kemampuannya
untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab, dan 2) kemampuannya untuk
mengarahkan diri ke masa depan. Inilah sebabnya mengapa sistem politik
demokrasi dan sistem ekonomi kapitalistik selalu ditandai oleh satu ciri umum
yang akan selalu menyertainya, yaitu: kerentanan terhadap krisis.
Menjadi
jelas bahwa depolitisasi dan dehumanisasi adalah sebuah konsekuensi dari suatu
sistem. Sebagai konsekuensi, keduanya tidaklah muncul karena demokrasi dan kapitalisme pada dirinya buruk
dan rancu. Kerancuan itu muncul lebih sebagai akibat dari pemahaman, penafsiran, dan penerapan cara-pandang modern saintifik-positivistik atas sistem itu
yang membuatnya rancu/salah-kaprah. Maka problemnya tidak terletak pada
demokrasi ataupun kapitalisme itu sendiri, melainkan lebih pada cara
bagaimana keduanya dipahami, ditafsirkan, dan
dijalankan.
Dalam
cara baca yang tidak jauh berbeda dengan Schmitt, Jürgen Habermas juga sampai
pada kesimpulan yang kurang lebih serupa dengan analisis Schmitt. Dalam naskah
kerja hasil penelitian yang dilakukan Habermas bersama dengan Max Planck
Institut pada 1970 (Max Planck Institut zur Erforschung
der Lebensbedingungen der wissenschaftlich-technischen Welt), ia sampai pada kesimpulan sebagai berikut: bahwa proses
integrasi sistem tidak selalu berjalan bersamaan dengan proses integrasi
sosial, bahkan integrasi sistem sering menafikkan pentingnya proses integrasi
sosial.[xiii][xii]
Artinya, suatu sistem (entah itu sistem nilai, sistem politik-ekonomi, dsb)
yang berproses menjadi semakin otonom seringkali membuat masyarakat yang hidup
di dalamnya menjadi semakin tergantung pada sistem itu dan membuat mereka
justru semakin tidak otonom. Otonomi sistem ternyata justru sering berlawanan
(kontradiktif) dengan otonomi sosial.
Salah
satu sebab utamanya adalah karena sistem selalu cenderung untuk membuat
subjek-subjek berdaulat di dalam sistem itu mengalami automatisasi
dan anonimisasi. Inilah sebabnya jika terjadi interupsi, diferensiasi, dan
distraksi terhadap sistem tersebut, maka identitas para manusia di dalamnya
juga ikut terganggu dan terancam. Ancaman terhadap integrasi sistem (yang
bersifat eksternal-struktural) yang secara langsung ikut mengancam integrasi
sosial para manusia di dalamnya (yang bersifat internal-eksistensial), inilah
yang disebut Habermas sebagai Krisis.[xiv][xiii]
Maka, jika mengikuti alur penelitian Habermas ini, krisis terjadi karena logika
sistem telah begitu jauh meresap ke dalam diri masing-masing manusia yang
membuatnya tidak lagi dapat berpikir dan bertindak di luar kerangka sistem
tersebut. Dengan kata lain, tercipta ketergantungan yang tidak setara/imbang
antara sistem dan manusia. Jika terjadi berbagai masalah menyangkut
keberlangsungan sistem tersebut, manusia-manusia di dalamnya juga ikut
terguncang karena tidak lagi dapat dipisahkan antara dirinya dengan sistem yang
menaunginya (terjadi identifikasi).[xv][xiv]
Maka terjadinya suatu krisis ekonomi (yang bekerja menurut logika sistem pasar)
secara langsung juga mengakibatkan krisis sosial bahkan krisis personal.[xvi][xv]
Cukup
menarik melihat bahwa Habermas mengatakan hal yang kurang lebih sama dengan
Schmitt, yaitu bahwa cara-kerja sistem yang mekanis-anonim itu telah
mendominasi dan merasuk sedemikian rupa ke dalam cara-berpikir manusia yang
seharusnya berproses secara komunikatif-hermeneutis. Oleh karena itu setiap
krisis sebetulnya merupakan krisis yang berkenaan dengan problem
legitimasi atas cara kerja suatu sistem. Mesin
tidak dapat dan tidak perlu melegitimasi dirinya. Problem legitimasi adalah
problem yang khas manusia dan hanya bisa terjadi pada manusia. Sebabnya tidak
lain karena tanggung jawab dan apropriasi (menjadikan sesuatu sebagai milik atau bagian dari diri
kita) hanya dapat muncul dari manusia sebagai subjek yang memiliki kesadaran.
Ketidakmampuan manusia untuk menanggapi/merespon (to respond/being
responsible) berbagai problem legitimasi yang
muncul dari suatu krisis menunjukkan bagaimana manusia sebagai subjek yang
sadar itu telah mengalami depolitisasi dan dehumanisasi yang sedemikian parah.
Pengandaian inilah yang berdiri di balik analisis Habermas saat ia menyebut
sistem politik-ekonomi modern yang kapitalistik itu sebagai “suatu proses
pertumbuhan yang akan selalu ditunggangi oleh krisis.” (a
crisis-ridden course of economic growth)[xvii][xvi]
Dalam
perspektif fenomenologi Husserlian-Schmittian, analisis tentang krisis
legitimasi, depolitisasi, dan dehumanisasi tidak tinggal begitu saja sebagai
perspektif teoretis. Sebaliknya, analisis itu sendiri muncul sebagai sebuah
bentuk ekspresi dari apa yang senyatanya terjadi dalam dunia-kehidupan konkret
manusia-manusia politik modern. Dari perspektif fenomenologi
Husserlian-Schmittian, analisis mengenai krisis ini semakin menegaskan kembali
dimensi terdalam tetapi juga tergelap dari diri dan hidup manusia, yaitu: dimensinya yang
tanpa-dasar (Grundlos / Groundless). Dari situasi ontologis-eksistensial yang tanpa-dasar
inilah manusia mulai membangun sistem (apapun) untuk melangsungkan hidup dan
merawat dirinya. Maka setiap sistem, apapun itu, akan selalu memuat kemungkinan
untuk kembali terjatuh ke dalam situasi yang tanpa-dasar. Apa yang menjadi awal
(alfa) dari segala
sesuatu dapat pula menjadi akhir dari segalanya itu (omega).
Untuk
manusia sebagai pribadi, situasi tanpa-dasar itu akan selalu mungkin dialaminya
melalui pengalaman-pengalaman kejatuhan eksistensial yang membuat seluruh normalitas hidupnya bergeser ke dalam ab-normalitas, seluruh kewarasan bergerak ke arah kegilaan, seluruh kenyamanan-diri bergeser menjadi pertanyaan/pergulatan-diri. Manusia seringkali mengalami kejatuhan
eksistensial ini dalam pengalaman-pengalaman
otentik yang seringkali juga traumatis, seperti misalnya dalam situasi perang,
konflik batin, situasi-situasi kritis, dll. Untuk dunia politik, situasi
tanpa-dasar yang selalu mengintai di ambang batas segala tatanan sosial-politik
adalah keadaan total chaos dan total disorder. Chaos dan ambruknya tatanan (disorder) menjadi extremus necessitatis casus (kasus-kasus ekstrem yang niscaya)
yang justru menentukan karater
otentik dari setiap aktivitas politik.[xviii][xvii]
Bagi Schmitt, normalitas tidaklah muncul dari normalitas itu sendiri layaknya
tautologi yang tidak bermakna. Seluruh normalitas dibangun di atas dasar
ab-normalitas, sebagaimana semua pendasaran (tatanan) dibangun di atas situasi
tanpa-dasar (tanpa-tatanan).
Dengan
menyingkapkan situasi ab-normal/tanpa-dasar dari seluruh sistem, Schmitt
memperlihatkan bahwa politik, sebagaimana hidup manusia sendiri, tidak akan
pernah dapat dilepaskan dari satu senyawanya yang paling penting, yaitu:
Kedaulatan. Hanya manusia yang sadar sajalah yang mampu menegaskan dirinya di
atas segala pengecualian, menegaskan dirinya di atas segala ab-normalitas dan
ketanpa-dasaran. Inilah sebab mengapa hanya manusia saja satu-satunya makhluk
yang dapat disebut sebagai subjek-berdaulat yang mampu mewujudkan kedaulatannya. Kedaulatan itu sendiri
bukanlah sebuah ruang kosong nihilistik, melainkan selalu memuat tiga dimensi
dasarnya: 1) keputusan, 2) tanggung jawab, 3) keterjangkaran pada tradisi (historisitas) dan keterarahan ke arah masa depan (temporalitas). Ketiganya merupakan faktor dasar yang mendefinisikan
karakter setiap orang dalam kekhasannya masing-masing, sebagaimana ketiganya
juga mendefinisikan karakter kolektivitas setiap bangsa dalam kekhasannya
masing-masing. Dimensi kedaulatan inilah yang kemudian terjinakkan bersama
dengan semakin meluasnya pengaruh ilmu-ilmu modern yang
saintifik-naturalistik-positivistik ke dalam wilayah politik. Proses
penjinakkan manusia (depolitisasi dan dehumanisasi) menjadi makhluk-makhluk yang
pasif, konsumtif, dan a-politis melalui sistem politik-ekonomi modern inilah
yang menyebabkan mengapa manusia-manusia modern lebih rentan terhadap krisis:
sejak awal ia telah terasing dari historisitasnya, terasing dari
temporalitasnya, asing dari pengertian tanggung jawab, dan asing dengan dimensi
eksistensial keputusan.
Dari
sudut pandang fenomenologi Husserlian-Schmittian, segala krisis, ancaman, dan
pengalaman negatif yang selalu menyertai manusia memperlihatkan bahwa tema
kedaulatan tidak akan pernah dapat dipinggirkan dari epicentrum pergerakan
tatanan sosial-politik. Tema kedaulatan menyingkapkan ciri dunia-kehidupan yang
tidak hanya bersifat pra-reflektif, tetapi juga extra-sistem, extra-legal,
extra-yuridis, dan extra-regular.[xix][xviii] Dimensi ‘extra’ ini tidak lain dari dimensi peristiwa (Ereignis
/ l’ événement) yang akan selalu luput dari
kapasitas rasional-prediktif-manipulatif manusia dan dapat selalu menyergap
manusia kapan saja di mana saja. Dimensi ‘extra’ ini menyingkapkan sisi lain
dunia-kehidupan yang melampaui segala rutinitas, regularitas, dan legalitas.
Dalam dimensi ‘extra’ inilah seluruh problematika politik yang
legalistik-proseduralistik kehilangan daya jangkaunya, dan beralih ke wilayah
keputusan politik di tangan subjek politik yang berdaulat. Lewat dimensi
‘extra’ ini setiap manusia, entah individu ataupun kolektif,
dihadapkan/dikonfrontasikan langsung dengan titik masa depannya yang paling
ekstrem, yaitu: kematiannya. Di hadapan kematian ini masa depan hadir sebagai
cakrawala kemungkinan yang tidak terbatas, dan di hadapan ketidakterbatasan
kemungkinan inilah manusia menegaskan-diri melalui pengambilan risiko dan
tanggung jawab.
Risiko
kematian dan tangung jawab tidak memungkinkan manusia untuk tinggal anonim,
sebab risiko kematian/masa depan yang berbeda-beda dalam situasi setiap orang
(juga setiap bangsa) menuntut penegasan-diri dan pengambilan tanggung jawab
yang berbeda-beda pula bagi setiap manusia. Dalam perbedaan situasi
eksistensial inilah ditegaskan otentisitas setiap manusia dan juga otentisitas
setiap bangsa. Maka risiko di hadapan kematian dan kapasitas tanggung jawab
mentransformasi manusia menjadi Subjek yang memiliki kesadaran, dan dengan
kesadaran itu menata diri (Ordnung) serta mengarahkan diri (Ortung).[xx][xix]
Pembahasan
mengenai dimensi ‘extra’ dari dunia-kehidupan dan dunia politik oleh Schmitt
dimaksudkan untuk mengembalikan problem otoritas (autoritas) dalam perdebatan teori politik. Pembahasan mengenai
otoritas akan selalu berkenaan dengan keputusan dan tanggung jawab. Dalam ruang
otoritas ini seluruh perdebatan mengenai legalitas berhenti dan beralih ke
dalam pertanyaan tentang legitimitas. Sebab hukum hanya dapat berfungsi secara
sah-legal jika keberlakuannya dapat dilegitimasikan, dan legitimasi hanya dapat
dituliskan/ditegaskan/disahkan (authorized) oleh manusia sebagai subjek (author).
Bertolak
dari pengandaian inilah maka Schmitt, dengan mengutip kembali Thomas Hobbes,
dapat mengatakan bahwa hukum tidak ditentukan oleh kebenaran, melainkan ditentukan oleh otoritas
(autoritas, non veritas facit legem).[xxi][xx]
Bagi Schmitt, bukan legalitas dan netralitas yang menjadi tulang punggung dari
politik, melainkan otoritas dan legitimitas. Otoritas, legitimitas, dan
bersamaan dengan itu juga otentisitas dan keberpihakan adalah syarat-syarat
pengandaian paling mendasar yang mendefinisikan politik sebagai politik.
Mendengar
penegasan Schmitt ini kita wajar saja merasa gelisah-khawatir, sebab penegasan
seperti ini bagaikan (seolah-olah) mau menghidupkan kembali ruh otoritarianisme,
militerisme, fasisme, kediktatoran proletariat à la Marxisme-Leninisme atau Maoisme dan semua jenis “isme-isme”
yang memang horor menakutkan itu. Tetapi kita akan mudah terjebak dalam
ketakutan serta kesempitan cara-berpikir seperti ini dalam membaca Schmitt jika
mengikuti tafsir gampang-gampangan yang umum terjadi di dalam kultur masyarakat
akademis yang serba instan, populer, dan dangkal.
Suara
dari para pemikir radikal seperti Schmitt, Leo Strauss, juga Husserl,
Heidegger, dan juga Jan Patočka adalah suara-suara “sumbang” yang hendak
menghentak kita yang terlena hanyut dalam alunan nada-nada musik yang terlalu
indah. Suara orang-orang seperti Schmitt adalah nada-nada minor yang
menginterupsi alunan simfoni yang terlalu melodik terlalu megah.[xxii][xxi]
Suara para pemikir seperti Schmitt adalah suara perlawanan, suara dissident,
suara lain yang mengajak kita untuk
berani mengkonfrontasi cara-pandang umum yang telah mendominasi dengan begitu
mutlaknya. Suara-suara dissident seperti ini adalah suara yang menarik kita untuk berani
melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam dimensi eksistensial manusia dalam segala
pergulatannya. Suara-suara dissident seperti Schmitt ini adalah suara ‘lain’ yang memanggil kita
di kejauhannya dan menarik kita untuk menyimaknya dalam segala keberlainannya.
Dan
pertanyaannya, mengapa pula pemikiran Schmitt harus diperlawankan dengan
demokrasi? Bukankah demokrasi berdiri tidak saja di atas gagasan dasar mengenai
kesetaraan, melainkan juga bahwa dengan kesetaraan itu setiap manusia dalam
demokrasi diandaikan mampu berpartisipasi dalam ruang publik-politik sebagai
subjek yang berdaulat, dan bukan sebagai objek-objek yang anonim?
Meniupkan
kembali ruh kedaulatan ke dalam tubuh politik (1), dan menghembuskan kembali
nafas subjek-eksistensial ke dalam tubuh mekanis manusia modern (2), dua hal
inilah yang menjadi poros pergerakan serta pergulatan pemikiran Carl Schmitt.
Dua hal inilah yang oleh Antonio Negri disebut sebagai dasar dari seluruh
pembicaraan mengenai demokrasi sebagai ruang-horizon terbuka yang memungkinkan
penegasan-diri/tindakan manusia sebagai makhluk politik, entah secara pribadi
ataupun secara kolektif.[xxiii][xxii]
Di titik akhir ini, melalui pembahasan mengenai eksistensialitas,
situasionaitas, dan otentisitas manusia politik yang
berkonfrontasi/berhadap-hadapan dengan depolitisasi dan dehumanisasi, menjadi
jelas bahwa fenomenologi politik akan selalu berjalan bersamaan dengan
fenomenologi eksistensial.***
* Tulisan ini merupakan naskah kerja untuk Sanggar Pembasisan Pancasila
bekerja sama dengan Lingkaran HUSSERL&Fenomenologi Terapan (LUFT), dan
naskah kerja ini adalah kelanjutan dari naskah sebelumnya: “Fenomenologi Politik – Dari Fenomenologi
Husserl dan Heidegger hingga ke Teori Politik Carl Schmitt,” yang
ketika itu dibawakan dalam Konferensi Studi Pergerakan Kebangsaan pada 12 Mei
2012.
** Ito Prajna adalah dosen filsafat yang mengkhususkan
studinya dalam kajian-kajian filsafat fenomenologi khususnya fenomenologi
Husserl dan Heidegger.
[i][i] Martin Heidegger, “The Turning,” in Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, translated by William Lovitt (New York: Harper Colophon
Books, 1977), p. 40.
[iii][iii] Leo Strauss termasuk seorang filsuf politik yang secara tajam, kritis,
dan tanpa-kompromi berani mempertanyakan pengandaian-pengandaian politik
modern, khususnya ‘demokrasi liberal-konstitusional’, di saat semua kalangan
intelektual dan politisi modern sedang tenggelam dalam euforia demokrasi sejak
berakhirnya Perang Dunia II. Suara Leo Strauss yang mengagetkan dan
menggelisahkan itu mengingatkan kita pada suara Carl Schmitt yang di awal abad
ke-20 telah mendiagnosis berbagai patologi politik modern yang akan mendera manusia-manusia
politik di abad ke-20 dan 21. Suara Strauss dan Schmitt adalah suara ‘disiden’
(dissident), yaitu:
suara perlawanan, suara disensus, suara konfrontasi, suara keberlainan yang
menghentak diskursus politik yang tidak lagi dapat mendengar ‘Yang Lain’ di
dalam kecenderungan cara-pandang modern untuk mentotalisasi dan
menguniversalisasikan ruang publik. Lihat Leo Strauss, “Philosophy as Rigorous
Science and Political Philosophy,” in Journal of Political Philosophy, 2, no. 1 (1971), pp.
29-30. Lihat juga Thomas L. Pangle, Leo
Strauss: An Introduction to His Thought and Intellectual Legacy (Baltimore:
The John Hopkins University Press, 2006), pp. 1-3.
[v][iv] Bdk., Paul Ricoeur, “Jan Patočka: A Philosopher of Resistance,” in The Crane Bag, vol. 7, no. 1,
Socialism and Culture (1983), pp. 116-117. Diunduh dari JSTOR pada 13/10/2010,
09:00.
[vi][v] Mengenai penjabaran epochē
sebagai metode reduksi fenomenologis dapat dibaca tulisan saya: Ito
Prajna-Nugroho, “Kebenaran dalam Tegangan antara Intensionalitas Kesadaran dan
Kepenuhan Makna – Sketsa Awal Tesis-tesis Dasar Fenomenologi Husserl,” Jurnal Filsafat Driyarkara (Jurnal Ilmiah Nasional), Th.
XXIX, no. 2 / 2007, hlm. 11-38.
[vii][vi] Maurice Merleau-Ponty merumuskan metode fenomenologi Husserl ini dengan
bagus sebagai: “A philosophy which
puts essences back into existence, and does not expect to arrive at an
understanding of man and the world from any starting point other than that of
their Facticity. It is the search for a philosophy as a rigorous science, but
it also offers an account of space, time, and the world as we ‘live’ them”.
Lihat Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, translated by Colin Smith (New York: The Humanities
Press, 1974), p. vii.
[viii][vii] Edmund Husserl, Logical
Investigations – Volume I, translated by J. N. Findlay (New York:
The Humanities Press, 1970), § 2, § 22, pp. 55, 104.
[ix][viii] Martin Heidegger, The
Basic Problems of Phenomenology, translated by Albert Hofstadter
(Bloomington: Indiana University Press, 1982), pp. 318-324.
[x][ix] Michael Marder, Groundless
Existence – The Political Ontology of Carl Schmitt (London: The
Continuum International Publishing Group Ltd, 2012), pp. 104-105.
[xi][x] Bdk., William Hooker, Carl
Schmitt’s International Thought – Order and Orientation (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), pp. 105-122.
[xii][xi] Michael Marder, Groundless
Existence – The Political Ontology of Carl Schmitt, pp. 107-108.
[xiii][xii] Juergen Habermas, Legitimation
Crisis, translated by Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1973),
pp. 4-5.
[xxi][xx] Carl Schmitt, Political
Theology – Four Chapters on the Concept of Sovereignty, translated
by George Schwab (Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 1988), pp. 33-35.
Bandingkan juga: Thomas Hobbes, Leviathan,
edited by C. B. McPherson (Penguin Books, 1974), § 26, pp. 322-333.
[xxiii][xxii] Antonio Negri, “Reliqua
Desiderantur: A Conjecture for a Definition of the Concept of
Democracy in the Final Spinoza,” in The
New Spinoza, edited by Warren Montag and Ted Stolze (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1997), pp. 225-231.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar