Bahan
diskusi dalam Dialog Wawasan Kebangsaan dalam rangka Peringatan Hari Lahirnya
Pancasila yang diselenggarakan oleh Gerakan Indonesia Bersatu Purbalingga bekerja sama dengan Komunitas Rakyat Marhaen
Semarjati Purbalingga tanggal 31 Mei 2007, di Wisma
Sejahtera, Purbalingga
PENGANTAR
Reformasi sebagai bagian dari pendalaman dan percepatan
proses globalisasi di Indonesia membawa serta masuknya nilai-nilai universal
seperti demokrasi dan hak asasi manusia yang kemudian
menguasai opini publik dalam atmosfir politik nasional. Wacana publik tentang demokrasi dan hak
asasi manusia itu menjadi menonjol dan menenggelamkan wacana tentang Pancasila
dan Undang Undang Dasar 1945 yang mewarnai “dunia bunyi-bunyian” pada masa Orde
Baru. Lenyapnya Pancasila dari dunia tuturan sejak reformasi menimbulkan
keprihatinan yang cukup dalam, baik dalam kalangan elite politik maupun
masyarakat luas. Keprihatinan itu ditunjukkan melalui berbagai pernyataan di
media massa maupun kegiatan-kegiatan lainnya seperti seminar, simposium, dan
sarasehan mengenai Pancasila dan eksistensinya setelah reformasi. Bahkan
Lembaga Ketahaman Nasional (Lemhanas) telah membentuk deputi khusus untuk
menangani masalah “makin menipisnya kesadaran dan penghayatan akan pentingnya
Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa”.
Forum malam hari ini, yang diselenggarakan oleh GIB
Purbalingga bekerja sama dengan Komunitas Rakyat Marhaen Semarjati
Purbalingga, disamping untuk memperingati hari lahirnya Pancasila, tentunya juga
merupakan ungkapan keprihatinan penyelenggaranya terhadap eksistensi Pancasila
di tengah-tengah arus globalisasi sekarang ini. Sekarang banyak orang bertanya,
apakah Republik Indonesia masih berdiri kokoh di atas prinsip-prinsip Pancasila,
ataukah sudah larut dalam arus deras globalisme yang banyak
memabukkan pikiran para pejabat, politisi, ekonom, maupun cendikiawan. Hal ini perlu
saya kemukakan, karena memang tidak banyak yang mau memahami bahwa globalisasi
adalah bentuk baru dari perkembangan kapitalisme.
FENOMENA
GLOBALISASI
Globalisasi adalah proses memudar atau menghilangnya
batas antarnegara menuju terbentuknya “desa mondial” dalam pergaulan hidup
umat manusia, dengan berbagai implikasinya. Di bidang ekonomi, makin kita
sadari bahwa uang tidak lagi mempunyai tanahair dan makin sulit bagi suatu
negara untuk mempertahankan kebijakan ekonomi yang merdeka, karena secara
faktual kegiatan ekonomi telah berada di luar batas teritorial negara. Di
bidang ekologi, suatu negara tidak mungkin lagi mengabaikan tuntutan internasional
atas masalah lingkungan hidup karena makin disadari bahwa kerusakan lingkungan
di suatu wilayah akan berpengaruh di wilayah lainnya di muka bumi. Di bidang
kebudayaan, suatu bangsa tidak mungkin lagi menghindarkan diri dari pengaruh
peradaban global karena makin intensifnya interaksi antarbangsa melalui
berbagai media komunikasi yang makin murah dan tersebar luas ke seluruh pelosok
desa. Di bidang politik, makin berkurang kemampuan negara untuk mengontrol
kepatuhan warganya karena globalisasi bukan saja mengakibatkan
internasionalisasi produksi barang dan jasa, melainkan juga internasionalisasi
nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, serta meningkatkan intensitas
kontak dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses globalisasi.
Situasi yang digambarkan tadi sering kali menimbulkan
situasi panas dingin yang diliputi ketegangan-ketegangan. Untuk mengatasi
masalah ini diperlukan adaptasi dan inovasi pranata-pranata yang mendukung
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar secara elastis dapat
menyiasati tantangan perubahan yang terjadi. Kegagalan dalam melakukan
adaptasi dan inovasi pranata politik dan pranata ekonomi bukan saja akan
menimbulkan kesulitan-kesulitan, melainkan juga mengandung resiko terjadinya
khaos dan kehancuran. Runtuhnya Orde Baru melalui reformasi beberapa tahun
yang lalu adalah akibat kegagalannya untuk melakukan adaptasi dan inovasi
pranata-pranata pendukungnya.
Proses globalisasi yang melanda suatu bangsa juga
mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat untuk membentuk kembali ideologi
partai-partai dengan menyusupnya “globalisme” ke dalam ideologi asli mereka.
Pembentukan kembali ideologi partai-partai ini akhirnya juga mendefinisikan
ulang kesadaran para pemimpinnya. Oligarkhi yang terbangun dalam partai-partai
itu lebih dekat dengan ideologi “globalisme” dan dengan mudah dapat mematahkan
semangat perjuangan para pendukungnya yang kurang pengalaman dan kurang
pendidikan.
ORDE
REFORMASI DAN GLOBALISASI
Untuk meninjau lebih jauh pengaruh globalisasi terhadap
masa depan Indonesia, perkenankan saya menyampaikan pandangan saya mengenai
hakikat orde reformasi dibandingkan dengan Orde Baru. Dilihat dari kacamata
ekspansi kapitalisme internasional, Orde Baru dan orde reformasi sebenarnya
masih berada dalam satu perahu, meskipun berbeda keranjang, yaitu perahu yang
akan membawa Indonesia terintegrasi lebih jauh ke dalam sistem kapitalisme
internasional. Orde Baru dan orde reformasi lahir di tengah-tengah kekacauan
ekonomi yang parah dan kemudian melakukan rehabilitasi ekonomi dengan dana
pinjaman luar negeri berdasarkan resep-resep Dana Moneter Internasional (IMF).
Keduanya menjalankan politik pintu terbuka, Orde Baru yang mendobrak pintunya
dan orde reformasi melanjutkan prosesnya. Perbedaan penting antara politik
pintu terbuka yang dijalankan oleh Orde Baru dan politik pintu terbuka yang
dijalankan oleh orde reformasi dapat dijelaskan sebagai berikut : politik pintu
terbuka Orde Baru dimaksudkan untuk mengintegrasikan Indonesia ke dalam
kerangka kerja dunia bebas melawan komunisme, sedangkan politik
pintu terbuka orde reformasi dimaksudkan untuk mengintegrasikan Indonesia ke
dalam masyarakat dunia paska perang dingin. Frasa dunia bebas dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk menggabungkan
sekutu-sekutunya melawan komunisme selama perang dingin ; sedangkan frasa masyarakat dunia juga
dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk menyatakan bahwa setelah usainya
perang dingin hanya tinggal satu dunia, yaitu dunia yang dipimpin oleh Amerika
Serikat. Dalam kerangka kerja dunia bebas Amerika
Serikat memberikan kebebasan kepada sekutu-sekutunya untuk memilih sistem
pemerintahan dan kebijaksanaan dalam negerinya sendiri, sedangkan dalam
kerangka kerja masyarakat
dunia
sekutu-sekutunya itu harus menyesuaikan diri dengan “nilai-nilai universal”
seperti pasar bebas, liberalisasi perdagangan, demokrasi, dan hak asasi
manusia. Perubahan kebijakan Amerika Serikat ini mengikuti kecenderungan
kapitalisme sebagai sistem dunia yang terus-menerus memperbesar keuntungannya
melalui cara yang seefisien mungkin.
Melalui reformasi, ketidakpuasan rakyat dan kegelisahan
elite politik diarahkan untuk berlangsungnya transisi politik dari kekuasaan
militer ke pemilihan umum yang bebas dan demokratis. Meskipun dalam reformasi
sempat bergema semangat untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan, tetapi rezim yang
terbentuk melalui pemilihan umum yang bebas dan demokratis itu justru
memperdalam dan memperluas kebijakan pasar bebas yang sudah diperkenalkan oleh
Orde Baru, melalui agenda privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi ekonomi di
mana-mana. Hal ini terjadi karena intervensi lembaga keuangan internasional
seperti IMF dan Bank Dunia, yang didukung oleh kepentingan oligarkhi, baik
oligarkhi dalam birokrasi negara maupun oligarkhi dalam kepemimpinan
partai-partai.
PANCASILA
DAN GLOBALISASI
Dalam konteks seperti yang digambarkan di atas,
globalisasi sebagai proyek ideologis kapitalime internasional untuk memperluas
kekuasaannya atas negara berdaulat haruslah diwaspadai sebagai musuh utama
Pancasila saat ini. Usahanya yang gencar untuk terus memperlemah peran negara
melalui agenda privatisasi, liberalisasi, dan deregulai ekonomi di mana-mana
serta kampanye besar-besaran mengenai pasar bebas adalah merupakan tantangan yang sangat
nyata terhadap Pancasila. Melawan pandangan liberal yang berusaha meyakinkan
umat manusia bahwa pasar dengan sendirinya akan dapat memecahkan semua
persoalan masyarakat, Pancasila justru menghendaki peranan aktif negara untuk
membuat regulasi yang efektif atas kapital (asing maupun domestik) untuk
melindungi kepentingan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial. Pancasila
menghendaki dicegahnya free fight
competition and survival of the fittest yang akan menghancurkan
perusahaan-perusahaan yang lemah melalui sentralisasi kapital pada
perusahaan-perusahaan transnasional.
Pembelaan kita terhadap peranan negara untuk memperkuat
kontrol sosial terhadap kapital tidak berlaku untuk negara yang dikuasai oleh
koruptor dan pemburu rente. Prioritas, praktek, dan kebiasaan bertindak rezim
yang korup hanya akan menggunakan negara sebagai alat struktural dan
instrumental segelintir kelas penguasa untuk memperkaya diri dan mempertahankan
hak-hak istimewanya. Negara yang kita bela adalah negara yang secara cerdas
dapat mengimplementasikan Pancasila di tengah-tengah gelombang globalisasi,
melalui regulasi yang kompeten untuk melindungi rakyat Indonesia dari gempuran free fight liberalism.
Globalisasi telah digunakan sebagai ideologi untuk
membenarkan berkembangnya ketidakadilan sosial, polarisasi sosial yang lebih
besar, dan beralihnya sumber daya yang dimiliki negara ke kapital. Globalisasi
memberikan rasionalisasi ideologis tumbuhnya ketidakadilan sosial yang secara
diametral berlawanan dengan Pancasila yang menghendaki terwujudnya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perkembangan global memang memaksa kita untuk mengakui
bahwa pasar adalah pusat kegiatan dan kemajuan ekonomi, tetapi pengalaman
bangsa-bangsa di dunia juga menunjukkan bahwa pemerintah tetap memiliki peranan
penting, bukan saja untuk menciptakan pemerataan yang lebih baik, tetapi juga
untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi
lebih tinggi. Catatan statistik menunjukkan bahwa negara-negara dengan
tingkat pemerataan pendapatan yang lebih lebih baik, pada tingkat pendapatan
per kapita yang sama, akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
PANCASILA
SEBAGAI BINTANG PENUNTUN
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan
pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), yang kemudian dikenal sebagai Lahirnya Pancasila. Dalam pidato tersebut Bung Karno
mengusulkan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka, atau dalam
istilah beliau sendiri “dasar-dasar”, “philosophische grondslag”, “Weltanschauung” di atas mana didirikan negara Indonesia.
Atau mengutip dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Badan itu, dalam kata
pengantar buku Lahirnya
Pancasila, merupakan
“suatu Beginsel yang menjadi dasar negara kita, yang menjadi Rechtideologie negara kita, suatu beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar
dalam jiwa Bung Karno”.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai akar langsung
pada kehendak sejarah bangsa Indonesia sendiri, yang diterima sebagai
konsensus atau keputusan politik yang diambil oleh para pendiri negara. Mengapa
founding
fathers negara Republik
Indonesia dengan sepakat bulat menerima Pancasila sebagai konsensus dasar
berdirinya negara ? Kalau kita ikuti “suasana kebatinan” yang terungkap dalam
sidang-sidang BPUPKI dan PPKI nampak jelas bahwa founding fathers kita berupaya dengan semangat yang
gigih untuk menetapkan dasar negara yang dirumuskan sedemikian rupa hingga
tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan menerima
Pancasila sebagai dasar negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan
kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri,
tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing.
Pancasila diterima sebagai dasar negara karena nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya mencerminkan cita-cita moral bersama sebagai bangsa. Atau dengan kata
lain, prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pancasila itu mengungkapkan
pendirian dan pandangan hidup bersama bangsa Indonesia.
Cita-cita moral bangsa atau pendirian dan pandangan hidup
bangsa adalah konstruksi pikiran suatu bangsa yang berisi preskripsi atau
perintah moral bagi bangsa tersebut untuk mencapai cita-cita yang diinginkan
bersama. Dengan
demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa berfungsi sebagai “bintang
penuntun” untuk tercapainya cita-cita bersama. Meskipun Leitsteren itu merupakan titik akhir yang sangat
jauh dan tidak mungkin dicapai sepenuhnya, tetapi Leitsteren itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji atau
melakukan kontrol atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
pelaksanaannya, serta menjadi pedoman dalam mengambil keputusan praktis atas
problematik yang dihadapi.
MEMBASISKAN
PANCASILA
Masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian
norma dasar Pancasila melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan, yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara
kekuasaan negara memang benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip dasar yang
terkandung dalam Pancasila. Kontrol masyarakat terhadap pembuatan dan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan sangat diperlukan agar praktek dan
kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara selalu mencerminkan norma
dasar Pancasila itu. Kontrol masyarakat itu perlu untuk mencegah para pemburu
rente menggunakan negara sebagai alat untuk memperkaya diri di tengah-tengah
arus globalisasi (yang sarat dengan kepentingan ekspansi kapitalime global)
yang melanda Indonesia sekarang ini.
Untuk memperkokoh eksistensi Pancasila sebagai dasar
negara dan cita-cita moral bangsa perlu dilancarkan gerakan untuk membasiskan
Pancasila. Gerakan ini didasarkan pada adagium bahwa ketahanan ideologi suatu
bangsa terletak pada kekuatan sosial yang mendukungnya. Dengan gerakan pembasisan
ini, kita mengajak masyarakat untuk memperkokoh konsensus nasional tentang
Pancasila sebagai dasar negara, memahami dan menghayati implementasi Pancasila
di tengah-tengah arus globalisasi, dan membiasakan diri untuk menggunakan
Pancasila sebagai “bintang penuntun” dalam menyelesaikan masalah bangsa di
tengah-tengah arus globalisasi. Pembasisan Pancasila bukanlah sekedar transfer of knowledge, melainkan
harus merupakan usaha raksasa untuk membangun kembali ethos kebangsaan, seperti yang
pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia pada masa pergerakan kemerdekaan dulu.
***