Facebook 14 Juni 2012 pukul 19:45
Asia Tenggara, Wilayah Paling Stabil di Dunia selama 30 tahun (Sumber Photo : Piala Suzuki 2010)
Ya memang Singapura adalah pokok, mile stone di dalam life line of imperialism (Letjen Ahmad Yani, mengenai ancaman Nekolim).
Ada
berita yang sayup-sayup terdengar minggu lalu dan kalah gegap
gempitanya ketimbang siaran Sepakbola Eropa 2012, kalah mengilapnya
dengan pemeriksaan ulang Angelina Sondakh, atau kalah seru daripada
ancam-ancaman gebuk Yani-Ruhut. Berita itu adalah ‘Rencana Pembentukan
Pangkalan Militer ASEAN’ walaupun agak mendapat sambutan dari para
mahasiswa di Makassar yang marah besar mendengar rumor ini dan melakukan
demonstrasi penolakan rencana ini, namun dibalik sunyinya berita
rencana Pangkalan militer ini terdapat pengaruh besar bagi perkembangan
politik Indonesia baik didalam negeri ataupun luar negeri.
Pasukan Marinir AS ditempatkan di Darwin (Sumber Photo : Okezone.com)
Diterjunkannya
ribuan pasukan Marinir AS ke Darwin yang hanya 3.000 km dari Jakarta,
datangnya kapal USNS Mercy yang merupakan kapal kesehatan terbesar di
Teluk Manado dan rencana latihan gabungan dengan nama sandi CARAT (
Cooperation Afloat Readiness and Training)
mengundang banyak kernyit orang yang memperhatikan geopolitik
Indonesia dewasa ini, ada apa dengan geopolitik Indonesia dan ASEAN?
Beberapa
tahun yang lalu tepatnya di tahun 2004, ada isu yang pernah ditanggapi
serius Departemen Luar Negeri RI, yaitu : munculnya proposal
permintaan pembangunan Pangkalan Militer di Selat Malaka yang kemudian
isu itu ditanggapi positif oleh tiga negara ASEAN : Singapura, Thailand
dan Filipina kemudian datang penolakan keras dari Indonesia dan
Malaysia. Proposal pembangunan Pangkalan Militer ini berkaitan erat
dengan alasan terjadinya banyak perompakan di Laut Cina Selatan dan
perairan selat Malaka, namun yang menjadi pertanyaan : ancaman
perompakan itu bukan merupakan ancaman negara, tapi ancaman
kriminalitas yang merupakan tanggungjawab negara yang bersangkutan,
pangkalan militer bisa diadakan bila kemudian menjadi persoalan
geopolitik serius yang melibatkan banyak negara dan harus memperhatikan
kesejarahan dari watak kedaulatan suatu negara. Singapura misalnya
yang merasa selalu terancam, Thailand yang sepanjang sejarahnya tidak
mengalami perang penjajahan karena memang menjadi
‘buffer state’
atau ‘daerah penyangga jajahan Perancis di Vietnam dan Jajahan Inggris
di Malaya sementara Filipina memiliki hubungan dekat dengan Amerika
Serikat. – Yang paling getol jelas Singapura, karena selama ini
Singapura merupakan wilayah kantong ekonomi paling maju bagi
kepentingan Inggris-Amerika Serikat sejak kejatuhan Sukarno 1967.
Penolakan
yang keras dari Indonesia membuat Amerika Serikat mengurungkan
rencananya, namun tiba-tiba di akhir tahun 2011 datang penempatan
pangkalan militer di Australia yang menempatkan ribuan marinir,
penempatan pesawat mata-mata dan tentunya jaringan intelijen, sementara
Indonesia memiliki kerapuhan rawan konflik separatis di Indonesia
Timur. Terlebih permasalahan kepualauan Spratly yang menjadi ajang
sengketa banyak negara. Indonesia sendiri masih rawan konflik
perbatasan dengan Malaysia, namun yang jelas beberapa kali Presiden SBY
secara lihai walaupun agak memalukan, menghindari konflik itu untuk
menjauhi jebakan ‘permintaan’ Singapura kepada Amerika Serikat agar
negara-nya aman dari konflik Malaysia-Indonesia.
Ada dua
negara di ASEAN yang mengalami sejarah kelam akibat konflik geopolitik
dan konflik global, Vietnam dan Indonesia. Kedua negara memiliki
kesejarahan yang amat mirip : -Merebut Kemerdekaannya sendiri dengan
kekerasan senjata-. Vietnam yang awalnya lepas dengan Perancis lewat
perang Dien Bien Phu 1954 kemudian diserbu Amerika Serikat yang
memancing Sovjet Uni untuk menjadikan ASEAN
sebagai Proxy War
dalam ‘Perang Dingin 1960-1975’ Pembantaian besar terjadi di Vietnam,
Sukarno yang saat itu ingin menjaga wilayahnya juga tak ingin Sarawak,
Sabah dan Brunei menjadi mainan politik Inggris, karena rakyat di
Kalimantan Utara telah mengirim telegram resmi pada Bung Karno untuk
meminta kemerdekaannya sendiri, tapi suara itu kemudian diredam dengan
pembentukan Federasi Malaysia, Bung Karno yang awalnya tidak ingin ikut
campur malah sengaja dipancing –ujung dari kisah konflik Sukarno dan
Federasi Malaysia justru terjadi di Djakarta sendiri saat enam Jenderal
berhasil diculik dan dibunuh oleh Perwira Menengah yang kemudian justru
menyeret Sukarno dalam pusaran tuduhan terhadap pembunuhan ini,
Sukarno jatuh pada tahun 1967. Dalam kejatuhannya itu 3 juta nyawa
terbantai pada konflik kelam ditengah masyarakat Oktober-Desember 1965.
Juga ratusan ribu orang dipenjara dan dikirim ke kamp-kamp kerja paksa
sebagai usaha penggantian total rezim.
Jelas melihat
kesejarahan geopolitik ini, kenangan akan sejarah buruk itu amat
sensitif bagi Indonesia, lalu bagaimana membaca sejarah wilayah zona
aman ASEAN dalam melihat bangunan geopolitik ASEAN dan memeriksa sejauh
mana sensitifitas rasa keamanan Indonesia ditilik dari kesejarahan
pertahanan keamanan di Asia Tenggara, maka kita bisa memeriksa ini
dalam sejarah Indonesia modern 1950-1977.
Doktrin Geopolitik Sukarno
Dalam
pembentukan cara pandang politik Indonesia modern ada tiga pemikiran
besar yang berebutan tempat dalam mempengaruh fase-fase kemerdekaan,
pertama Pemikiran Tan Malaka yang menitikberatkan pada Revolusi Sosial,
Kedua Pemikiran Sukarno yang selalu mempersoalkan Geopolitik sebagai
landasan modal dalam pembentukan bangsa dan yang ketiga Sjahrir yang
menempatkan humanisme universal, politik tanpa batas wilayah dan
internasionalisme kemanusiaan sebagai landasan berpikir perjuangan
Indonesia.
Dalam perseteruan ini Sukarno merupakan
primus inter pares (yang
terunggul dari yang unggul). Ia memilih geopolitik sebagai tahapan
awal pembentukan sebuah bangsa, geopolitik sebagai alat modal kekayaan
wilayah serta menjadikan geopolitik sekaligus sebagai modal sosial
dalam membentuk perubahan total terhadap sejarah perkembangan
masyarakat.
Sukarno mendasarkan pemahaman geopolitiknya
pada pemikir politik Perancis, Ernest Renan (1823-1892) yang selalu
disebut-sebut Bung Karno dalam pidato politiknya jika menyinggung
sebuah bangsa.
“
Ce qui constitue une nation, ce n’est
pas de parler la même langue, ou d’appartenir à un groupe
ethnographique commun, c’est d’avoir fait ensemble de grandes choses
dans le passé et de vouloir en faire encore dans l’avenir” (”Apa
yang membuat satu bangsa, bukanlah menutur bahasa yang sama, atau
menjadi bagian dari kelompok etnografis yang sama, tapi sempat membuat
hal-hal besar pada masa lampau dan ingin membuat lagi hal-hal besar pada
masa depan”) – inilah kutipan pidato Sukarno yang selalu menyebutkan
Renan dalam keabsahan suatu negara, Sukarno juga mampu menjadikan
Indonesia sebagai kesatuan imajinasi yang utuh dan seakan-akan menjadi
suci, ini juga didasarkan pada pemikiran Ernest Renan : -
Man makes holy what he believes. (manusia akan membentuk kesucian terhadap apa yang ia percayai).
Bung Karno Dan Mao Tse Tung,
Peletak Landasan Dasar Garis Jakarta-Peking,
Geopolitik Dominan di Asia (Sumber Photo : Antara)
Gagasan
nasionalisme yang sakral dan penuh dengan gairah sejarah membuat
Sukarno perlu melindungi Indonesia dari ancaman potensial, ancaman
terbesar Indonesia di awal berdirinya Republik Indonesia memang ancaman
ekspansi militer negara asing, kedatangan NICA pada dalam dua kali
operasi militer 1947 dan 1948 membuat Sukarno amat sensitif atas
geopolitik wilayah, namun Sukarno menyerahkan kebijakan politik yang
umumnya bernada diplomasi kepada Sutan Sjahrir, Sukarno mengabaikan
gagasan ‘Merdeka 100%’ ala Tan Malaka dengan alasan ‘memperpendek
perang’ sekaligus sebagai strategi Sukarno untuk mengeliminir kekuatan
kiri yang akan menjegal dia. Sukarno menginginkan kekuatan kiri
dikendalikan oleh dia sendiri dalam kerangka yang ia susun kemudian dan
tanpa perlu korban dalam menghadapi perang dengan negara asing.
Sukarno memerlukan politik diplomasi sebagai tahap awal dalam
pembentukan kesatuan wilayah nasional.
Bung Karno menerima Peta Asia Centris dari Adinegoro yang diterbitkan
oleh Djambatan, 1952 (Sumber Photo Djambatan)
Bung
Karno sendiri dengan imajinasinya sudah memproyeksikan Indonesia
sebagai ‘Kekuatan Asia’ gagasan ini merupakan kelanjutan dari alam bawah
pikir Sukarno yang sudah terpola pada masa pendudukan militer Jepang
1942-1945 dimana Sukarno amat terpengaruh dengan doktrin-doktrin
geopolitik Jepang dalam penguasaan wilayah. –Pada tahun 1952 Sukarno
memberi order kepada wartawan senior, Adinegoro untuk membuat peta
dengan ‘Indonesia sebagai pusat Asia’. –Walaupun memang lazim saja
sebuah negara menjadikannya sebagai pusat dalam gambar PETA, namun peta
yang diinginkan Sukarno adalah Indonesia dan Asia Pasifik diletakkan
ditengah, Sukarno sudah menilai kelak dikemudian waktu, Asia Pasifik
akan jadi pusat dunia paling maju, paling kaya dan paling fenomenal
dalam perjalanan sejarah peradaban modern manusia.
Hasil
Konferensi Medja Bundar 1949 yang menyisakan ruang konflik yaitu tidak
dilepasnya Irian Barat membuat Sukarno memiliki keuntungan politik
menghidupkan kembali kekuatan kiri ekstrim dalam hal ini PKI. Saat itu
PKI sudah mengalami kehancuran politiknya sejak ikut-ikutan dalam Front
Demokrasi Rakyat 1948 buatan Amir Sjarifuddin dan tokoh tua PKI Muso,
lalu PKI juga dihancurkan lewat ‘Operasi 17 Agustus 1951’ dimana Perdana
Menteri Sukiman Wirjosandjojo yang menyepakati perjanjian rahasia
dengan Amerika Serikat dalam pembersihan unsur kiri. –Kehancuran ini
menjadikan momentum arah politik Sukarno dalam perebutan Irian Barat
menjadi amat penting bagi revitalisasi PKI dan penentuan dalam kongres
IV PKI untuk mendekat pada Sukarno yang selama ini dinilai PKI sebagai
bagian dari Borjuis Nasional.
DN
Aidit digunakan Sukarno untuk menyuarakan penantangan pada Politik
Intervensi AS di Asia Tenggara (Sumber Photo : Harian Rakjat, 1964)
Sukarno
sendiri dengan taktis menutupi rencana tujuannya dalam menghidupkan
kembali gugatan terhadap Irian Barat dengan memperalat PKI sebagai
kekuatan radikal dan omongan-omongan tentang perebutan Irian Barat tidak
didengar dari suara langsung Sukarno sendiri untuk menghindari
perdebatan dan serangan Belanda serta kelompok pro KMB 1949. Adalah DN
Aidit ketua CC PKI pada tahun 1953 sebagai bentuk pemicu awal untuk
Indonesia memperhatikan faktor geopolitik, DN Aidit berpidato “Rakyat
bersatu membubarkan Uni Indonesia-Belanda dan memasukkan Irian Barat ke
wilayah Indonesia”. Ucapan ini seakan-akan jadi mantera pembuka kemauan
Sukarno dan politisi lain membubarkan perjanjian KMB serta mempercepat
penguasaan Irian Barat, adanya pakta militer di Asia Tenggara juga
merupakan bagian dari ancaman perang di Indonesia, Sukarno mendiamkan
saja aksi Aidit ini sekaligus menilai keadaan, sementara dari pihak
politisi lain kelompok Murba menyerang terus parlemen untuk membatalkan
secara sepihak perjanjian KMB. Irian Barat setidak-tidaknya adalah
katalisator terpenting dalam pemanasan situasi di wilayah Asia Tenggara.
Konflik
geopolitik di Asia Tenggara menjadi rentan ketika Amerika Serikat di
tahun 1952 meletakkan landasan doktrin kebijakan luar negeri baru yang
anti komunis dan mengoreksi landasan Truman untuk ‘tidak saling
mengganggu’ menjadi landasan Eisenhower “Netralitas adalah sebuah
kesalahan”. Eisenhower menginginkan bahwa ‘seluruh wilayah di dunia
harus masuk ke dalam barisan
‘free world’ (dunia bebas)’,
barisan ini juga akan menentukan kemenangan Eisenhower dalam melawan
komunisme, taktik pembiaran Truman terhadap Cina dan lebih menginginkan
Cina yang satu daripada terpecah-pecah menjadi bumerang sendiri untuk
Eisenhower Presiden AS yang menggantikan Truman, karena setelah Cina
bersatu dibawah kendali Komunisme Mao, RRC jadi amat sulit dikendalikan
dan menjadi wilayah terkuat di Asia, kemenangan RRC atas Nasionalis di
tahun 1949 juga menjadikan Asia terancam bukan lagi secara ideologi
dengan komunisme tapi juga sudah menjadi realitas militer.
Dibalik
aksi Eisenhower yang amat anti komunis dan mendapatkan keuntungan
politik atas kesalahan Truman di RRC ada sebuah ‘keinginan terselubung’
untuk menggantikan dominasi Inggris, Perancis dan Belanda di wilayah
Asia Tenggara, inilah yang menyebabkan kenapa AS separuh hati membantu
Perancis di perang Vietnam-Perancis 1954 tapi mengerahkan ratusan ribu
tentaranya secara serius dalam menghadapi Vietnam dengan alasan mencegah
Vietnam Utara masuk ke Selatan. –Hasrat keinginan dominasi Amerika
Serikat di wilayah Asia Tenggaran inilah yang kemudian dibaca Sukarno
pada tahun 1953.
Politik Liberalisme di Indonesia pada
era demokrasi parlementer tidak tanggap terhadap perkembangan
geopolitik mereka masih ribut soal pembagian kursi kekuasaan di
kabinet, soal-soal pembangunan ekonomi dan persoalan yang bagi Sukarno
‘tidak mengundang gairah saya sebagai patriotis’. Perkembangan menjadi
semakin menguntungkan bagi Amerika Serikat ketika sejumlah Kolonel
membangkang di Sumatera dan meminta Sukarno mengoreksi kebijakannya
terhadap Komunis serta memberikan keleluasaan yang besar bagi para
perwira di luar Jawa. – CIA menanggapinya ini dengan senang hati dan
menjadi alat sekutu bagi mereka, bahkan CIA mengedrop bantuan senjata
lewat ‘Operasi Hance’. Bantuan ini tidak begitu digubris oleh PRRI
sebagai pemberontak terhadap kekuasaan Sukarno, karena mereka lebih
menginginkan bantuan ekonomi, dan lebih mengherankannya lagi ketika
agen CIA berhadapan dengan Simbolon, pemimpin pemberontak, foto Sukarno
masih tergantung di markas Simbolon, ketika ditanya, Simbolon menjawab
“dia masih Presiden kami”.
Sikap mendua ini jelas
membingungkan Amerika Serikat, mereka masih belum pasti dalam menguasai
wilayah Indonesia lewat intervensi militer dan persekutuan politik,
apalagi persoalan Vietnam sudah amat memanas, bila ini dilakukan dua
front : Jakarta dan Hanoi maka akan berbiaya tinggi, sementara Eropa
belum pulih benar keuangannya. –Amerika Serikat rupanya melakukan
politik pembagian wilayah sementara di Asia Tenggara, di Vietnam ia
cebur langsung ke dalam pertempuran sementara di wilayah lebih selatan,
Amerika Serikat menyerahkan kepada Inggris.
Kegagalannya
dalam operasi militer bersama PRRI yang separuh memalukan membuat AS
harus mundur teratur sebelum matangnya operasi intelijen, keputusan
lebih mementingkan operasi intelijen ketimbang operasi militer menjadi
keputusan AS sampai Eisenhower digantikan J.F Kennedy.
Sukarno
menanggapi kemunduran aksi militer AS ini dengan menyerang sisa-sisa
imperialisme di Belanda, serta memanfaatkan keraguan JF Kennedy terhadap
politik intervensi militer di Asia Tenggara, yang juga membuat JFK
menekan Belanda.
Sampai saat ini belum ada bukti ilmiah, bahwa apa
yang dilakukan JFK merupakan bagian terencana dalam –pengusiran
diam-diam Belanda, lalu membiarkan Irian Barat dikuasai Indonesia,
sehingga AS tidak akan rikuh lagi menguasai Sumber Daya Alam Irian Barat
tanpa harus berhadapan dengan Belanda sebagai ‘sekutu terkuat di
Eropa’. –Bila Irian Barat tetapdikuasai Belanda, tentu Belanda tidak
akan memberikan konsesi Sumber Daya Alam dengan mudah kepada Amerika
Serikat, semudah ketika kelak AS mendapatkan konsesi sumber daya alam
pada jaman Orde Baru.
Sukarno bisa dikatakan amat mudah
merebut Irian Barat, namun Sukarno mudah terjebak pada konflik dengan
Federasi Malaysia yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat diperhatikan,
apa yang terjadi pada Malaysia merupakan bagian internal negara yang
bersangkutan, dan Kalimantan Utara wilayah yang dicaplok Malaysia
bukanlah bagian dari negara 17 Agustus 1945, dimana kesepakatan politik
bersama saat itu bahwa : “Hanya negara bekas Hindia Belanda yang
berubah menjadi Republik Indonesia”. Kesepakatan ini menjadi komitmen
kuat untuk Indonesia tidak mengganggu wilayah lain di Asia Tenggara
ataupun wilayah Asia Pasifik lainnya. Namun Sukarno masih mengenakan
doktrin yang ia ciptakan sendiri yaitu : “Membantu kemerdekaan bagi
negara-negara terjajah” sementara bagi Sukarno Sarawak dan Sabah
menghendaki Kemerdekaan.
Konflik yang tidak penting ini
menjadi amat penting ketika harga diri Sukarno terusik dengan kabar
diinjak-injaknya lambang Garuda Indonesia di Istana Perdana Menteri Tun
Abdulrachman.
Di titik konflik dengan Malaysia inilah
wilayah zona Asia Tenggara memanas, sementara di Vietnam masih dengan
pertempuran hebat, di Kamboja terancam pembantaian karena
ketidaktegasan kepemimpinan dan di Birma mulai muncul gerakan barisan
yang dekat dengan RRC. Inggris dengan cantik memainkan operasi
Intelijennya di Indonesia dan dibantu dengan CIA, sepanjang tahun
1964-1965 perang data intelijen meningkat, salah satu akibat perang
data intelijen itu adalah timbulnya gerakan aneh Letkol Untung dalam
menculik enam Jenderal, bisa dikatakan aneh karena seakan-akan ‘gerakan
ini dibuat secara sengaja untuk gagal’. Pasukan penculik yang kemudian
setelah membunuhi para Jenderal tidak memiliki alur komando yang
jelas, lari ke jalan-jalan ibukota dan tidak mendapatkan makanan,
menjadikan pasukan ini seperti tanpa induk semang dan dengan mudah
diburu pasukan yang kemudian memihak kepada Mayjen Suharto.
Setelah
perburuan dan peringkusan pasukan Untung, di Indonesia terjadi eforia
besar yaitu saling bunuhnya antar warga, -banyak kalangan menilai
peristiwa saling bunuh Oktober-Desember 1965 ini merupakan tenggang
waktu tawar menawar antara Presiden Sukarno dengan Jenderalnya, Mayjen
Suharto yang secara de facto sudah mendapatkan realitas kekuaaan ketika
menolak perintah pemanggilan Sukarno ke Halim Perdanakusumah 1 Oktober
1965.
Apa yang diinginkan Sukarno dalam geopolitik di
Asia Tenggara yaitu menjadikan wilayah Asia Tenggara sebagai ‘pasar
tersendiri’ yang bebas dari intervensi pasar asing. Sukarno melihat
potensi Asia Tenggara sebagai pemain terkuat sedunia dalam soal
ekonomi, dan soal ini bisa terlaksana bila Asia Tenggara memiliki
kedaulatannya, sementara itu juga Sukarno percaya Indonesia akan jadi
kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan menjadi kekuatan nomor dua di
Asia setelah RRC. –Sukarno juga menolak pembentukan Pangkalan Militer
Asing di Asia Tenggara, ia sendiri mendirikan KIAPMA (Konferensi Anti
Pangkalan Militer Asing) tahun 1966 dimana Utami Surjadarma dan Arudji
Kartawinata memiliki peran penting dalam menjalin komunikasi antar
negara yang menentang penempatan pangkalan militer asing, tapi kemudian
sejarah mencatat Sukarno dijatuhkan dengan korban pembantaian yang
mengerikan sebanyak 3 juta nyawa.
Letjen
Suharto, Pemain Penting Politik Asia Tenggara Selama 32 Tahun (Sumber
Photo : LIFE)
ca. 1966, Djakarta, Indonesia --- This is a close up of the fifth Deputy
Premiere, Lt. General Soeharto. --- Image by © Bettmann/CORBIS ©
Corbis. All Rights Reserved.
Setelah
kejatuhan Sukarno, muncul kekuatan baru yaitu : -Kekuatan Para Jenderal
Angkatan Darat, dibawah pengaruh kuat Letjen Suharto, orang yang
ditunjuk Sukarno sebagai penertib keamanan tapi dengan licin mampu
mentransformasi surat perintah pengamanan, menjadi surat perintah
transfer kekuasaan.
Suharto agak longgar dalam soal politik konsesi sumber daya alam tapi ia memiliki kesamaan persis dengan Sukarno yaitu : -
harga
mati bahwa tidak boleh ada pangkalan militer asing di wilayah Asia
Tenggara apalagi di Indonesia, dalam soal Nasionalisme, Suharto lebih
kolot dan konservatif ketimbang Sukarno.
Awalnya
ada
desakan dari Amerika Serikat dan ditanggapi beberapa perwira intelijen
yang senang bahwa Indonesia akan masuk dalam Pakta Militer Asia
Tenggara, namun yang terjadi kemudian Suharto mendiamkan pengajuan
proposal Pakta Militer itu, Suharto kuatir ikut campurnya pangkalan
militer asing akan menjadikan wilayah Asia Tenggara tidak stabil,
Suharto yang merasa bisa menghantam Komunis balik menekan pihak Amerika
Serikat untuk menjadikan wilayah Asia Tenggara sebagai wilayah zona
aman, bebas pangkalan militer asing dan tidak boleh terjadi intervensi
antar negara : -
Stabilitas adalah ‘kepentingan diatas kepentingan’.
Keinginan Suharto yang kuat dan tidak boleh ditawar itu kemudian
didukung oleh Malaysia, Suharto saat itu juga masih marah pada Lee Kuan
Yew, karena permintaannya lewat utusan Jenderal Soemitro untuk
membatalkan penggantungan dua prajurit KKO di Singapura sama sekali tak
digubris, bila kemudian Singapura menjadi kuat secara militer dan
menjadi basis pangkalan militer maka Singapura adalah ancaman terbesar
Indonesia.
LB Moerdani, Penebar Jaringan
Lobi Awal di ASEAN
(Sumber Photo : Antara)
Pada
tahun 1969 lobi-lobi LB Moerdani di Malaysia, perwira intelijen
andalan Suharto dan Ali Moertopo melanjutkan jalur lobi yang sudah
dibentuk sejak tahun 1967, lobi LB Moerdani ini meluas ke berbagai
negara yang menanggapi secara positif permintaan Suharto untuk
menjadikan Asia Tenggara sebagai zona aman.
Hanya saja kemudian
Malaysia-lah yang buka suara, Malaysia paling getol mendukung Suharto,
karena pengalaman buruknya ketika negara ini terancam diserang Sukarno.
Lalu pada tanggal 27 November 1971 terbentuklah apa yang disebut
ZOPFAN (
Zone of Peace Freedom And Neutrality) Pada tahun 1984 kesepakatan lebih maju yaitu menyatakan wilayah ASEAN harus bebas nuklir.
Konsepsi
damai yang ditawarkan Suharto berhasil menciptakan wilayah ASEAN
paling stabil di dunia, sepanjang 40 tahun dari kesepakatan itu tidak
ada perang sama sekali di wilayah ASEAN kecuali sisa-sisa perang AS dan
konflik ideologi di negara Indocina.
Bangkitnya Kekuatan Cina di ASEAN
Kebangkitan
ekonomi Cina sudah terjadi lebih dari satu dekade lalu, namun
pengakuan secara resmi dari pihak barat nampaknya bermula pada pidato
Kevin Rudd di London yang berjudul pada 24 Januari 2012. :
Fault Lines in the 21st Century Global Order: Asia Rising, Europe Declining and the Future of ‘The West.’ Ramalan kebangkitan ekonomi Cina dan mundurnya kekuatan ekonomi barat tentunya akan berdampak pada masalah geopolitik.
Pengaruh
Cina akan amat terasa di ASEAN apalagi banyak negara ASEAN yang
memiliki hubungan historis kuat dengan Cina, dua negara terbesar di
ASEAN, Indonesia dan Vietnam memiliki kenangan manis terhadap RRC. Dan
kemungkinan besar dari dua negara inilah ditarik garis ASEAN-RRC sebagai
garis ekonomi baru yang akan menghancurkan pasar barat di ASEAN.
Penempatan
pasukan AS di ASEAN jelas akan mengganggu rencana besar dibentuknya
garis ASEAN-RRC serta menghambat stabilitas ASEAN, sementara ada juga
yang terancam bila Jakarta dan Ho Chi Minh maju yaitu : Singapura.
Selama ini Singapura menikmati kemajuan ekonomi yang pesat
ditengah-tengah Asia Tenggara dibawah perlindungan AS dan Inggris.
Munculnya Garis Sukarno dalam Politik Indonesia
Ada
yang diperhatikan amat serius dalam konstelasi politik nasional
Indonesia oleh CIA dan pihak-pihak yang berkepentingan yaitu :
-munculnya kekuatan garis Sukarnois dalam menentukan keputusan
konsesi-konsesi atas kontrak pertambangan-. Mereka sudah muncul sebagai
gerakan politik, ormas dan masuk ke dalam jaringan kekuatan oposisi,
pembicaraan-pembicaraan soal perebutan konsesi yang merugikan Indonesia
dalam kontrak-kontrak energi seperti minyak dan gas menjadi permainan
politik penting di Indonesia dalam waktu dekat ini, bahkan dua stasiun
berita besar di Indonesia : TV One dan Metro TV secara lugas
menyampaikan debat-debat soal perebutan konsesi kontrak energi yang
dinilai merugikan dan mencaplok kedaulatan bangsa Indonesia. Basis
pemikiran mereka adalah keputusan Presiden Sukarno tahun 1960, usulan
Chaerul Saleh Juni 1960 dan Keputusan MPRS soal kontrak energi tahun
1960.
Kurtubi,
Analis Perminyakan Nasional Yang Kerap Mengeritik Soal Konsesi dan Pemikirannya Dekat dengan Garis Sukarno (Sumber Photo :
Beritabatavia.com)
Bila garis Sukarno
memenangkan politik di Indonesia bukan tak mungkin garis Sukarno akan
menghidupkan kembali –garis geopolitik : Jakarta-Beijing mengingat
bahwa dalam cakupan wilayah garis ini tersimpan kekayaan alam dan
kekayaan jumlah manusia yang amat luar biasa, dua kekayaan inilah yang
membentuk : Pasar.
Amerika Serikat akan keblingsatan bila
garis Sukarno mengajukan usulan penghapusan konsesi padahal sudah
berapa trilyun AS, menikmati kekayaan alam Indonesia seperti ucapan
Nixon saat menggambarkan kejatuhan Sukarno dan hancurnya komunisme di
Indonesia “Indonesia adalah hadiah terbesar (the greatest prize) di
wilayah Asia Tenggara.
-Apakah hadiah itu harus lepas? –
maka
pendirian pangkalan militer Amerika Serikat di ASEAN untuk mengontrol
agar jangan sampai terbentuk poros ekonomi ASEAN-RRC adalah perlu agar
dominasi AS di ASEAN tidak jatuh ke tangan RRC.
Sampai
saat ini persoalan rencana pangkalan militer ASEAN tidak menjadi agenda
utama kerja Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, yang merupakan
menteri paling buruk kinerjanya sepanjang sejarah Kementerian Luar
Negeri Indonesia sejak Indonesia merdeka, tidak seperti Subandrio yang
amat lihai memainkan politik diplomasi Internasional sehingga
menguntungkan geopolitik Indonesia, atau Mochtar Kusumahatmadja yang
mampu mengatur irama perkembangan diplomasi antara Indonesia dengan
negara besar secara cerdik dan Alex Alatas yang dengan kemampuan
diplomasinya mampu mengulur-ulur waktu soal Timtim agar Suharto tidak
kehilangan muka, tampaknya kerja Marty hanya menunggu perkembangan
persoalan dan menanggapinya dengan agak malas-malasan, seharusnya Marty
mampu menjelaskan kepada masyarakat luas baik pihak DPR atau pers
tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat soal rencana pendirian
pangkalan militer AS di wilayah ASEAN.
Persoalan
pangkalan militer di ASEAN ini juga harus menjadi bahan perhatian
serius anggota DPR Komisi I DPR dan jangan hanya memperhatikan soal jual
beli senjata saja yang rawan fee makelar, persoalan-persoalan
strategis menjadi sangat penting dalam memahami perkembangan geopolitik
di Asia Tenggara seiring memanasnya persaingan Amerika Serikat dan RRC
dalam lomba kekuatan pengaruh di Asia Tenggara ini.
-Hari Priyantoro-
(*bila ingin mengutip artikel diatas sebagai bahan referensi, sertakan credit title untuk penulis artikel ini).
Bahan Bacaan :
-Tan Malaka : Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, Harry Poeze
-Catatan-Catatan Arsip Pidato DN Aidit, 1952-1965
-United States in World Affair, Richard F. Stebbins, (New York : Council on Foreign Relations).
-Ernest Renan : Kutipan Pidato Sukarno, 1952
-Intervention : How American became involved in Vietnam (New York, Doubleday, 1986)
-Biografi Sukarno, Cindy Adams, 1966.
-‘Semua bisa diatur, Adam Malik, 1983
- ASEAN and the Problem of Regional Order (Politics in Asia) by Amitav Acharya
-Asian Drama : An Inquiry into the Poverty of Nations., Gunnar Myrdal, Twentieth Century Fund, 1968
-Awakening Giants, Feet of Clay: Assessing the Economic Rise of China and India, Pranab Bardhan