Film Soegija
yang telah tayang di beberapa bioskop Indonesia mendapat sambutan yang hangat,
baik dilihat dari jumlah penonton yang menikmati tayangan ini dan bentuk
tanggapan yang mengemuka tentang film tersebut. Disatu sisi, tingginya jumlah peminat film ini menjadi indikator
bahwa Mgr Albertus Soegijapranata SJ memiliki peranan dan nama yang telah
melekat di mata masyarakat, namun disisi lain pemutaran film Soegija tenyata
tidak sepi dari tanggapan negatif,salah persepsi dan apriori yaitu munculnya
anggapan bahwa film tersebut bernuansa gerakan “kristenisasi”.
Tanggapan
miring ini membuat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku
Buwono X menanggapi bahwa film Soegija mengangkat sosok Uskup Soegijapranata yang
menggambarkan nasionalisme seorang pemimpin umat katolik, bukan media
kristenisasi, dan menggambarkan peran Uskup Soegijapranata dalam perjuangan
bangsa.
Ungkapan Sri
Sultan Hamengku Buwono X ini merupakan salah satu hembusan angin sejuk yang
mengajak kita agar menempatkan posisi film Soegija dalam tempat yang
selayaknya, dan menjauhkan kita dari prasangka yang tidak konstruktif.
Berdasarkan alur ceritera dalam film tersebut, sebenarnya film Soegija ini
sarat dengan sejarah kehidupan, sikaf atau karakter dan peranan Uskup Soegijapranata dalam
menghadapi zaman penjajahan, dan pandangan pribadinya tentang rasa nasionalisme
serta kemerdekaan Indonesia. Sehingga film ini tidak ubahnya sebagai sebuah film
drama efik sejarah dan tidak ubahnya seperti sebuah biografi.
Bagi umat Katolik di Indonesia keberadaan
Mgr. Soegijapranata memiliki peranan
sangat penting dalam sejarah agama Katolik di Indonesia, Soegijapranata adalah
uskup pertama di Indonesia yang berasal dari warga pribumi. Mengingat kondisi
saat itu dimana wilayah Hindia Belanda atau Indonesia sekarang sedang dalam
suasana pendudukan penjajah dan mayoritas imam Katolik saat itu berasal dari
Barat maka pentahbisan menjadi Uskup bagi Soegijapranata merupakan sebuah
catatan sejarah menarik bagi umat Katolik.
Mgr. Albertus Soegiyopranoto.SJ lahir di
Surakarta pada tanggal 25 November 1896, Lahir dari keluarga sederhana kejawen
abdi dalem Keraton Surakata dengan nama kecil Soegiyo.Pada awalnya pandangannya
tentang Katolik sangat buruk karena dianggapnya sebagai agama penjajah. Akan
tetapi, lewat pendidikan beliau menemukan pengenalan Kristus lebih mendalam
lewat Gereja Katolik, ia pun bersedia dibabtis dengan mengambil pelindung
babtisnya Albertus Magnus. Bahkan setamat dari pendidikan Kolose Xaverius,
beliau melanjutkan pendidikannya sebagai imam dan ditakbiskan pada 15
Agustus 1931.
Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, SJ,
Vikaris Apostolik Batavia, menerima telegram dari Roma yang isinya mengangkat
Albert Soegijapranata, SJ sebagai
pemimpin wilayah Semarang dengan gelar Uskup tanpa wilayah Keuskupan (=Vikaris
Apostolik, karena pada saat itu belum dibentuk Keuskupan Agung Semarang). Surat tersebut ditandatangani oleh Cardinal Montini yang kelak menjadi
Paus Paulus VI.
Selain karena faktor latar belakang sejarah
kehidupan dan panggilannya menjadi imam Katolik dan kemudian menjadi Uskup,
perjalanan kehidupan yang menarik dalam diri Soegijapranata adalah peranannya
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga kemudian hari diangkat sebagai
salah seorang Pahlawan Nasional.
Kisah
kepahlawanan beliau inilah yang diangkat ke layar lebar dengan film Soegija,
yang pada intinya cerita tentang perjuangan berdasarkan cerita dari catatan harian Mgr. Soegijapranata, SJ., dengan latar belakang perang kemerdekaan Indonesia, dan pendirian Republik Indonesia Serikat pada periode
tahun 1947 - 1949.
Film ini mengambil latar daerah Yogyakarta dan Semarang.
Film Soegija pada intinya, menggambarkan peran Uskup
Soegijopranoto dalam perjuangan bangsa Pendudukan Jepang (1942-1945).___ *)
” Ini adalah tempat yang suci.
Saya tidak akan memberi izin. Penggal dahulu kepala saya, maka Tuan baru boleh
memakainya.”
Itulah jawaban heroik Rama Kanjeng saat
Gereja Randusari ingin disita oleh tentara Jepang untuk dijadikan Markas
tentara.
Masuknya tentara Jepang dalam kancah
peperangan menjadikan Perang Dunia ke-2 semakin memanas. Tanggal 8 Desember
1941 tentara Jepang menyerang sebuah Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl
Harbour dan juga mengobarkan Perang Pacific termasuk Hindia Belanda dan
berhasil merebut wilayah Hindia Belanda dari kekuasaan Belanda.
Salib berat Rama Kanjeng Soegijapun mulai
dipikul. Semua yang berbau Belanda disita oleh Pemerintah Jepang.
Para imam, suster dan tenaga-tenaga Gereja
ditangkap dan dimasukkan ke interniran.
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para imam
dan suster disita, tidak terkecuali seminari menengah.
Anak-anak jawa dipulangkan, para seminaris
dititipkan di pastoran-pastoran untuk melanjutkan pendidikan calon imam dalam
diaspora. Tinggallah Rama Kanjeng bersama beberapa imam Jawa yang merawat iman
umat di wilayah Vikariat Semarang.
Pada kesempatan lain, Gereja Atmodirono
akan disita tentara Jepang.
Segera Rama Kanjeng meminta orang-orang untuk
mengisi ruangan-ruangan yang kosong dan supaya pintu-pintu itu diberi nama
Romo-Romo supaya semua ruangan terlihat ada penghuninya.
Dengan cara-cara seperti inilah Rama Kanjeng
berhasil untuk menyelamatkan Harta Gereja.
Peralihan Kekuasaan Jepang.
Serangan balik bom atom Amerika atas Hirosima
dan Nagasaki mengakhiri ekspansi Jepang di wilayah Asia Pasifik.
Dalam kondisi kekosongan pemerintahan ini,
Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pemerintahan Jepang diambil alih oleh Sekutu
yang dipimpin oleh Inggris menjadi ancaman berat bagi bangsa Indonesia yang
baru saja merdeka ini adalah penyusupan Belanda dengan maksud ingin menguasai
kembali wilayah Indonesia.
Pada masa-masa peralihan antara pemerintahan
Jepang dengan Sekutu yang diboncengi oleh Belanda dan sekaligus masa berdirinya
Indonesia sebagai bangsa inilah peran Rama Kanjeng juga cukup besar sebagai
Pimpinan Gereja Katolik sekaligus sebagai warga negara Indonesia.
Pertempuran 5 hari di Semarang.
Hari itu adalah hari kedatangan tentara
sekutu di kota Semarang.
Kota Semarang telah diblokade oleh tentara
Jepang karena kemarahan mereka atas penyerangan pemuda-pemuda Semarang sebelum
hari-hari mencekam itu. Kedatangan tentara sekutu dimanfaatkan oleh Rama
Kanjeng untuk kembali mengekspresikan keunggulannya dalam berdiplomasi. Rama
Kanjeng mendesak pimpinan tentara sekutu untuk mengadakan perundingan dengan
pimpinan tentara Jepang dan berhasil mempertemukan dua pimpinan itu di Pastoran
Gedangan. Dari Perundingan itu Rama Kanjeng juga mendapatkan info dari Pimpinan
Tentara Jepang bahwa malam tanggal 20 Oktober 1945 itu tentara Jepang akan
menjebak pemuda-pemuda Semarang dan menghabisi mereka di daerah Karang Tempel.
Rama Kanjeng tidak hanya berhasil
menyelamatkan pemuda-pemuda pejuang itu, tetapi juga berhasil membuka blokade
tentara Jepang atas kota Semarang. Pertempuran itu pun berhasil digagalkan oleh
keunggulan diplomasi Rama Kanjeng pada kedua pimpinan tentara Jepang dan
Inggris.
Keadaan Rakyat.
Perang 5 hari di Semarang menjadi kondisi
rakyat Semarang sangat menderita.
Kelaparan terjadi dimana-mana, listrik dan
air mati, harga beras dan bahan makanan yang tersisa naik dan tidak terjangkau
oleh rakyat.
Penyambutan Presiden Sukarno di Yogyakarta.
Kondisi ini mengakibatkan kerusuhan besar di
Semarang, perampokan dan penjarahan terjadi dimana-mana.
Jam malam mulai diberlakukan lagi. Kondisi
yang semakin parah ini menumbuhkan keprihatinan bagi tokoh-tokoh masyarakat
kota Semarang termasuk Rama Kanjeng. Oleh karena itu pada tanggal 20 November
1945 dibentuklah Komite Penolong Rakyat yang diketuai R.S Dwijosewoyo (Katolik)
dan RM. Sadat Kadarisman (Islam).
Kerja keras KPR ini dirasa sungguh-sungguh
membantu memulihkan kembali kondisi masyarakat Semarang.
Rama Kanjeng juga ikut membantu berdiplomasi
dengan cara mengutus utusan ke Jakarta untuk bertemu dengan Perdana Menteri
saat itu Sutan Syahrir.
Pemerintah Pusat segera mengutus Mr.
Wongsonegoro untuk meninjau kota Semarang serta pengiriman beras dan bahan
makanan untuk rakyat.
Untuk mendukung perjuangan Indonesia yang
masih muda, Rama Kanjeng memindahkan pusat pelayanan dari Semarang ke
Yogyakarta pada 13 Februari 1947, yang saat itu juga pemerintahan Indonesia
berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Agresi Belanda I
Malam hari tanggal 21 Juli 1947, hari itu
Rama Kanjeng ada di Gereja Purbayan Solo dalam rangka menjalani retret pribadi,
suara sirine meraung dimana-mana, jam malam mulai diberlakukan.
Terdengar bahwa Belanda sudah menduduki banyak
kota, korban-korban berjatuhan.
Suasana yang makin genting ini membuat
kementrian penerangan dan Rama Kanjeng untuk membuat pidato diplomasi yang
disiarkan melalui Radio RRI Surakarta yang dibacakan pada tanggal 1 Agustus
1947, di RRI Surakarta pada pukul 20.00 malam.
Pada kesempatan pidato itu Rama Kanjeng juga
membacakannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.
Isi pidato itu adalah:
- Desakan untuk gencatan senjata demi kehormatan kedua belah pihak.
- Pernyataan sikap umat Katolik di Indonesia yang akan berpihak dan berjuang bersama seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan masyarakat.
- Pidato ini juga ditujukan untuk umat Katolik Belanda yang seharusnya berterima kasih atas pembangunan Negeri Belanda diatas penderitaan bangsa Indonesia dan himbauan agar ikut mendukung gerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Agresi Belanda II
Usaha-usaha gencatan senjata dilakukan
melalui dukungan beberapa negara anggota PBB sampai ditandatanganinya
Perjanjian Renville.
Akan tetapi pada pagi hari pukul 05.30
pada tanggal 19 Desember 1948 kembali Belanda menyerang ibukota Indonesia,
yaitu Yogyakarta. Inilah Agresi militer Belanda II dimana Kota Yogyakarta
diblokade Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta ditangkap.
Dalam kondisi sulit ini, Rama Kanjeng ikut
merawat keluarga Soekarno.
Dan dalam rangka perjuangan bangsa, Rama
Kanjeng juga selalu berkontak di Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberikan
dukungan terhadap perjuangan Sri Sultan.
Pada masa blokade ini Rama Kanjeng juga tetap
didatangi imam-imam dan umatnya.
Disetiap kesempatan Romo Kanjeng selalu
berpesan agar umat Katolik ikut prihatin dengan situasi bangsa serta meminta
supaya natal dirayakan dengan sederhana.
Suatu hari beliau juga dikunjungi
pemuda-pemuda Katolik.
Mereka bertanya, sebagai umat Katolik apakah
mereka juga harus ikut berjuang.
Pertanyaan itu membuat Rama Kanjeng marah.
Dengan nada marah Rama Kanjeng meminta pemuda-pemuda itu untuk pergi berjuang
dan kembali kalau sudah mati.
Walaupun demikian, Beliau juga dengan berani
menghadap kedua kubu-kubu yang bertikai untuk mengusahakan perdamaian dan
pembicaraan diantara keduanya.
Sementara Rama Kanjeng ini sendiri dengan
kepiawaiannya berdiplomasi, beliau berhasil menembus blokade Belanda dengan
tulisan-tulisannya di majalah Commonwealth untuk pembaca di Amerika Serikat.
“… aksi militer tersebut untuk
merebut yang telah hilang,
dilakukan untuk membalas semua
kekalahan,
mencoba menghidupkan kembali
apa yang sudah mati,
mencoba memperbaiki dengan
kekerasan senjata,
dengan menunjukan semua noda
dan menghina yang menderita.”
kritikan atas serangan Agresi Belanda I di
Majalah ANP 16 Mei 1949 yang terbit di Amsterdam.
Tulisan-tulisan ini membuka mata dunia
tentang situasi yang terjadi di Indonesia, tentang ketidakadilan bangsa Belanda
terhadap rakyat Indonesia.
Belanda memang berhasil memblokade Pusat
pemerintahan, tetapi gagasan-gagasan dari Rama Kanjeng tidak bisa diblokade
dimana pikiran-pikirannya menembus batas diplomasi yang ikut mewarnai
perjuangan bangsa Indonesia untuk sungguh-sungguh merdeka.
Akhir Perang Kemerdekaan,
Berhadapan Dengan Komunis
Belanda pun akhirnya mengakui kedaulatan RI
melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani tanggal 27 Desember
1949 Rama Kanjeng kembali pindah ke Semarang dan mulailah berkarya sebagai
Uskup pada jaman kemerdekaan.
Salah satu yang masih menjadi perhatiannya
adalah serangan ideologi komunis yang mulai berkembang di Indonesia pada jaman
itu dan sudah ia waspadai sejak muda.
Pada masa itu Rama Kanjeng dengan dibantu
Rama Djikstra mulai bekerja di bidang sosial dan ekonomi.
Saat itu mulai dibentuklah serikat-serikat
buruh, petani, dan nelayan yang diberi nama Panca Sila. Maka mulailah dikenal Buruh Panca
Sila, Petani Panca Sila, dan Nelayan Panca Sila untuk menghadapi ideologi
komunis yang mulai merebak.
Akhir Hidupnya
Pada tahun 1963, di lingkungan Gereja sendiri
pada masa itu terjadi Konsili Vatikan II.
Dalam kondisi sakit, Rama Kanjeng harus
banyak melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka konsili.
Dalam perjalanan Konsili dan berobat, beliau
singgah di Belanda untuk mengunjungi keluarga-keluarga misionaris Belanda
yang bekerja di Indonesia dan ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka.
Kelelahan ini tidak dirasakan lagi, sampai
pada malam hari pukul 22.20 tanggal 22 Juli 1963 beliau meninggal dunia di
negeri Belanda.
Berita meninggalnya Rama Kanjeng langsung
tersebar dan sampai juga ke telinga Soekarno dan atas perintah Presiden
Soekarno, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang, dalam
upacara kemiliteran.
Sebagai Uskup ABRI yang pertama, ia diberi
pangkat Jenderal (Anumerta) dan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional.
___*).Disadur dari tulisan FX. MURTI
HADI WIJAYANTO SJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar